Tiga Puluh Empat: Spark

5.7K 1.2K 219
                                    

Now Playing: Smile Flower - Seventeen

***

"Suka ataupun tidak, kamu harus mengakui kalau perasaanmu sudah jatuh padanya."

***

Sejujurnya Alwan tak pernah menyangka, akan ada masa dimana ia mendatangi makam sang ayah bukan untuk mengeluh. Diam-diam Alwan melirik Hanan yang berjalan di sebelahnya seraya memeluk sebuket besar bunga Lily putih dengan senyum yang tak pernah surut dari wajahnya. Beberapa meter di depan mereka, Aldi dan Naya berhati-hati menyusuri makam satu persatu dengan tangan saling tertaut. Ya, hari ini Alwan datang untuk menyapa sang ayah sekaligus meminta izin agar ia bergabung dengan keluarga Om Aldi.

Selalu sama, meski sudah lewat bertahun-tahun semenjak kepergian sang ayah. Makamnya akan tetap sama, bersih dan asri. Seolah memberi tau siapapun, bahwa dalam tidur panjangnya Indra tetap dalam kedamaian. Alwan memalingkan wajah, ketika sang Mama menunduk mengecup batu nisan sang Ayah. Menyadari meski ia akan menautkan hati kembali kepada orang lain, perasaannya untuk sang Ayah akan selalu sama. Tak pernah padam.

Alwan dan Hanan sama-sama tau diri untuk menjaga jarak, membiarkan orang tua mereka berbincang sejenak. Jelas mengutarakan niat mereka kemari, setelah mereka memanjatkan doa. Alwan melirik pemuda yang kini menunduk, seraya memainkan kelopak bunga dalam pelukannya. "Kenapa bunga lily?"

Kepala Hanan sontak tertoleh ketika Alwan bertanya padanya, tatapan sang calon kakaknya itu nampak penasaran dengan arti bunga dalam pelukannya. "Soalnya bunga ini punya arti kesetiaan. Aku mau nunjukkin ke Om Indra, walaupun Tante Naya bakal nikah sama Pipu. Cinta dia buat Om Indra akan tetap sama."

Penjelasan Hanan, sukses membuat Alwan menarik senyum tipis memalingkan wajah ke arah makam. "Lo harusnya mulai manggil Mama," ucap Alwan menggoda Hanan yang masih takut-takut memanggil Naya dengan sebutan Mama tiap di dekat Alwan. Padahal Alwan jelas tau beberapa kali pemuda itu keceplosan memanggil Mama tiap bercerita dengan sepupunya.

"Kalau gitu, Kak Alwan juga harus ikutan manggil Pipu ya?" balas Hanan tersenyum lebar, langsung bergerak maju ketika ayahnya menyuruh ia untuk mendekat. Meninggalkan Alwan yang tercenung sendiri akan perkataan Hanan.

Alwan menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal, sebelum akhirnnya ikut mendekat. Ia menatap makam ayahnya dengan perasaan campur aduk. Tak seperti yang lain, ia memilih bungkam namun matanya tersirat jelas sedang bercerita. Sesekali pemuda itu mengigit bibir larut akan emosinya sendiri sebelum akhirnya menarik senyum yang teramat tipis. Seolah mengerti bahwa putranya sedang 'bercerita', Naya memilih untuk menepuk pundak Alwan berkali-kali seolah menenangkannya.

"Aku pastiin mulai sekarang, Mama akan terus bahagia sampai nanti dia ketemu Ayah lagi," bisik Alwan teramat pelan seolah berbicara pada angin. Ia menghela napas, lantas beranjak berdiri. "Yuk pulang."

"Loh udah? Biasanya kamu lama kalau kesini. " Om Aldi mengernyitkan dahi ketika Alwan sudah mengajak mereka untuk pergi.

"Ayah pasti tau, apa aja  yang aku lakuin Pi."

Langkah Aldi sontak berhenti, tersentak akan kalimat terakhir Alwan. Ia yang berjalan terlebih dahulu bersama Naya, lantas berbalik menatap Alwan yang kini memandanginya dengan ekspresi tak mengerti. Naya lebih terkejut lagi, takut salah dengar.

"Kamu bilang apa tadi?"

"Aku boleh ikutan manggil Pipu juga kan?" tanya Alwan dengan senyum bermain di wajahnya, ia lantas melirik ke Hanan yang sama terkejutnya. "Lo juga harus mulai manggil Mama."

Aldi terdiam, entah kenapa perasaan hangat melingkupi dadanya. Lega dan senang bercampur menjadi satu. Setelah sekian lama, akhirnya ia mendengar Alwan menyebutnya dengan sebutan yang amat sangat ingin ia dengar. Sesuatu yang bahkan tak mampu Aldi impikan saking mengetahui sesayang apa Alwan dengan Indra. Memanggilnya seperti tadi, jelas memberi tanda bahwa Alwan benar-benar menyambutnya dengan tangan terbuka.

Recallove [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang