Dua Belas: Dream or Reality?

7.3K 1.3K 28
                                    

Now Playing: Day6 - Beautiful Feeling

***

"Pada akhirnya tekanan menjadi yang terbaik, selalu bisa membuat semua orang berlaku seenaknya. Bahkan untuk dirinya sendiri."

***

Ochi membuka pintu kelasnya dengan tidak sabaran. Tak ia pedulikan kondisi lampu kelas yang belum menyala, dengan cepat ia menaruh tas di tempat duduknya lantas melesat ke depan kelas. Matanya mengerjap-ngerjap memegang pembatas dinding gedung sekolahnya, mengatur napasnya yang tersengal-sengal akibat berlari. Jarak antara parkiran ke kelasnya, jelas bukan jarak yang dekat.

Tubuhnya menegap, berusaha terlihat biasa saja namun dengan mata menatap lekat gedung jurusan IPA di hadapannya. Lapangan yang memisahkan kedua gedung tersebut, tak lantas menjadi penghalang untuknya melihat kelas Alwan. Sudah hari keempat dia melakukannya, namun tetap saja Alwan tak pernah muncul.

Kalau ingin jujur, Ochi khawatir setengah mati akan kondisi pemuda itu. Melihat sosok Alwan yang begitu lemah di hadapannya, berhasil memberinya satu tamparan keras. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi Alwan masih belum pulih sepenuhnya. Fisiknya memang pulih, tapi Ochi paham tidak dengan mentalnya.

Jika tak sadar, dia yang sekarang tak mengenal Alwan dengan baik mungkin dia akan memaksa kedua sahabat Alwan untuk memberitahunya perihal pemuda itu. Tapi tolong ingatkan dia, kalau ia hanya orang asing saat ini.

"Jangan lupa hari ini penilaian."

Tanpa sadar bulu kuduk Ochi meremang. Bukan karena suara yang tiba-tiba muncul dan mengagetkannya, ia jelas sudah tau betul pemilik suara tadi. Ketua klubnya, Yona. Fakta bahwa hari ini adalah penilaian tim inti, menariknya kembali ke kenyataan. Hari yang terasa datang begitu cepat layaknya kerjapan mata.

Ochi menutup mulutnya, merasakan asam lambungnya yang mulai naik. Perasaan gugup dan ketakutan berkumpul menjadi satu hingga membuatnya mual. Tangannya tanpa sadar meraih pembatas gedung, mencoba menstabilkan emosinya. Setidaknya ia tak boleh kalah lagi.

Cukup sudah, ia harus menang dari permainan yang diciptakan semesta untuknya.

***

Ketakutan. Ini sudah hari ke-2 dan yang bisa dilakukan Alwan hanyalah meringkuk di dalam selimut tebal. Tangannya bergerak menarik tali saklar lampu tidurnya. Mati. Hidup. Gelap. Terang. Penggalan ingatan yang muncul di otaknya 4 hari lalu, menjadi pengantar menuju kenangan menyakitkan itu lagi.

Ingatan yang muncul 4 hari lalu, membuat perasaannya campur aduk. Suara-suara rendah penuh ancaman itu membuatnya sadar bahwa ia tak pernah diharapkan terbangun setelah kecelakaan . Ia tak tau siapa yang membisikkan kata-kata keji pada dirinya yang bergelut dengan hal krusial bernama kematian.

Setidaknya melalui ingatan yang muncul tanpa sengaja, mudah baginya untuk kembali ke alam bawah sadar. Mencoba kembali mengingat kejadian kecelakaan, yang selalu terkunci rapat dalam kotak bernama kenangan dalam pikiran. Dan dalam 4 hari ini, Dokter Nanda,  psikiater kepercayaan ibunya hanya bisa membantunya menguak beberapa hal. Termasuk alasan kenapa malam itu, hanya ia dan sang ayah berada di dalam mobil.

Suara pintu kamarnya yang dibuka, tak membuat Alwan bergeming sedikitpun. Pasti Dokter Aldi ataupun pekerja rumahnya yang membawa makanan untuknya. Kondisinya masih tak begitu baik. Gerakan Alwan terhenti ketika ia merasakan usapan lembut di rambutnya. Usapan yang amat sangat ia kenali, karena usapan itulah yang menemaninya menghadapi batas hidup dan mati dahulu. Usapan menenangkan dari sang Mama.

"Mama pulang nak."

Suara Mamanya tak terdengar bergetar sedikitpun. Mungkin kalau Alwan tak mengenali teramat sangat sang Mama, ia akan menilainya sebagai sosok yang dingin. Tapi kenyataannya tidak, ia tau betul Mamanya takkan pernah mau menunjukkan sisi lemahnya pada Alwan sedetikpun. Karena baik keduanya tau merekalah pondasi satu sama lain, dan menunjukkan kelemahan dan rasa prihatin hanya akan meruntuhkan pondasi tersebut.

Perlahan Alwan bangkit dari posisi tidurnya, membalikkan badan perlahan hingga berhadapan langsung dengan sang Mama yang duduk di tepi lain kasurnya. Tubuhnya masih terbalut jaket khas musim dingin, dari pulasan riasnya pun Alwan tau betul Mamanya langsung pulang setelah menyelesaikan sederet pekerjaan. Dia menarik senyum tipis, memberi tanda bahwa ia masih baik-baik saja.

"Capek pasti ya?" tanya sang Mama, seolah tau betul bahwa putra kebanggaannya teramat lelah. Baik akan sekolah, penilaian kolega, hingga kenangannya. "Gakpapa untuk istirahat dulu Wan, jangan dipaksa. Pelan-pelan saja, Papa bisa menunggu."

Alwan mengangguk, paham betul maksud sang Mama. Dia perlahan meraih kedua tangan sang Mama, menatap jemari-jemari itu dengan pikiran campur aduk. "Alwan mau bangun Ma," ucapnya tenang seolah merebahkan semua keresahannya melalui genggaman pelan. "Bangun dari mimpi buruk yang menjadi realita ini."

"Kamu bukan harus memaksa bangun, Alwan." Pipi Alwan yang menirus ditepuk pelan oleh sang Mama. Seolah menunjukkan bahwa ia memang tersadar. Senyum lembutnya kembali mengembang. "Mengingat, itu kuncinya. Kenangan yang akan mengantarkan kamu bangun dari segala mimpi buruk itu."

"Pasti berat." gumam Alwan mengalihkan pandang kemanapun asal tidak bersitatap dengan kedua mata hangat sang Mama. Kembali teringat suara sang Nenek, yang mengancam Mamanya kalau ia tak kunjung terbangun. Menyalahkan kejadian buruk yang dialami keluarganya pada perempuan yang melahirkannya ini. Sosok yang bahkan saat itu terpukul menghadapi kehilangan sang cinta dan tidur panjang sang buah hati.

Seolah tau apa yang dibicarakan putranya, sang Mama menarik tubuh tinggi Alwan ke dalam satu pelukan menenangkan. "Enggak Alwan, selama itu kamu gak ada yang menjadi berat untuk Mama."

Di balik pintu Aldi tersenyum kecil, pintu kamar Alwan yang sempat ia buka kembali ditutupnya. Ia menatap baki berisi makan siang dan beberapa butir obat yang harus diberikan pada Alwan. Tapi, sepertinya pemuda itu tak membutuhkannya lagi.

Karena obat sesungguhnya, telah kembali dalam pelukan.

***

"Jangan gugup."

Ochi berdecak untuk kesekian kalinya, menatap pantulan dirinya di cermin yang menampilkan ia dengan seragam khas cheers. Biasanya kata-kata dari orang yang ditelponnya, selalu sukses menenangkan. Entah kenapa hari ini justru tak berpengaruh sama sekali. Dia mual, perasaannya campur aduk , dan keringat dingin tak henti menetes.

"Chi? Ochi?"

Segera panggilan itu ditutup, dan Ochi menatap pantulan dirinya untuk kesekian kalinya. Tatapannya yang semula mencermati wajahnya yang nampak lesu, perlahan turun menuju perut. Terlihat jelas seragam cheersnya di bagian sana sedikit mengetat. Ia kembali teringat penilaian berat badan, matanya melebar nampak ketakutan. Kakinya berkali-kali mengetuk lantai dengan ritme berantakan, menunjukkan jelas suasana hatinya.

"Maaf," ucap Ochi lirih meraih sesuatu dari dalam tasnya lantas masuk ke salah satu bilik toilet. Melakukan hal yang beberapa hari ini ia lakukan. Tanpa tau, bahwa Yona menyaksikan semuanya.

Menyaksikan keputusasaan dari sosok Ochi. Hingga berlaku semena-mena pada tubuhnya sendiri. Berharap tindakannya mampu membawanya memijak tanah indah bernama mimpi itu. Ochi hanya ingin pengakuan, tanpa perlu menjatuhkan orang lain.

Dan ia siap melakukan apa saja untuk membuktikan diri.

***

A/n: DOR! Hai, ketemu lagi sama aku. Ini mungkin pemanasan dulu, karena setelah ulangan kayaknya aku bakal lanjut mengejar ketertinggalan. Mumpung sudah diizinkan rehat sejenak dari belajar, tentu liburan harus dimanfaatin dong. Cerita ini masih panjang banget, karena bukan cuman nyeritain Alwan dan Ochi.

Ada banyak hal dan pemikiran yang selama ini bersarang di otak, dan mau aku bagikan buat kalian juga. Hati-hati aku bisa post kapan saja untuk mengejar ketertinggalan, mau balapan sama yang lain. Wushhh, hahaha

Semangat semuanya :)



Recallove [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang