Sagra dan Eugene

1.1K 42 0
                                    

Sagra punya langkah yang panjang. Bukan cuma karena kakinya panjang, tapi karena ia sudah sangat terbiasa memakai sepatu hak tinggi. Karena itu sekretarisnya, Haka yang kakinya juga panjang juga terbiasa berjalan dengan langkah yang lebar mengikutinya dari belakang. Sagra Nertaja berdiri di depan elevator, melihat sosoknya sendiri yang blur terpantul di pintu elevator yang bersih mengilap itu. Sambil menunggu pintu itu terbuka setelah Haka menekankan tombol untuknya, Sagra membenarkan kerah bajunya.

Oh, kerah bajunya sudah tertata rapi, tapi itu adalah kebiasaannya. Haka berdiri tepat di kanan belakangnya dan terjadi keheningan singkat di antara mereka. "Eugene bagaimana?" tanya Sagra tanpa nada mencolok. Ia tidak terdengar tertarik, tidak juga terkesan mengharapkan suatu jawaban tertentu.

"Mungkin akan datang di rapat pagi ini. Tapi saya tidak tahu," jawab Haka.

"Ayah bagaimana?" tanya Sagra.

"Semua agenda hari ini diserahkan pada Anda," jawab Haka lagi.

Pintu elevator terbuka, dan beberapa orang keluar. Semuanya membungkuk kecil dengan hormat saat melihat Sagra, dan beberapa menyapa dengan keramahan yang seperti sudah dibiasakan.

Karena Sagra masuk, suasana elevator berubah. Memang biasanya begitu, jadi Sagra sudah biasa. Sampai di lantai tujuan, Sagra segera keluar, dan saat berpapasan dengan beberapa karyawan, perlakuan yang sama ia dapatkan. Membungkuk kecil, senyuman yang sudah dibiasakan, sapaan dan keramahan yang formal.

Sagra tersenyum membalas semua itu, dengan formal pula. Ketika ia masuk ke dalam ruang besar yang biasa disebut sebagai ruang pertemuan, semua orang berdiri. "Selamat pagi," Sagra membuka pembicaraan dalam ruangan itu, pembicaraan yang akan melibatkan seluruh penghuninya saat itu.

"Terimakasih atas kerja keras Tuan dan Nyonya Dewan Direksi sekalian, hari ini kita bisa melakukan rapat evaluasi dan, seperti yang sudah saya kami informasikan melalui email Anda sekalian, sekaligus membahas rencana proyek kita untuk tiga bulan kedepan," ucapnya melanjutkan.

Pintu ruangan itu terbuka dengan cepat, dan seorang pemuda yang memakai jas yang tidak dikancingkan, dasi yang belum diikat, masuk ke dalam ruangan dengan rambut awut-awutan. Ketika perhatian teralih padanya, ia tersenyum penuh rasa bersalah, namun dengan aura menyilaukan yang dapat membutakan mata orang biasa.

"Selamat pagi," katanya canggung. "Saya belum terlambat, kan?" tanya pemuda itu.

Memecah keheningan, Sagra tidak jadi duduk, dan ia tersenyum tajam. "Selamat pagi Eugene. Kamu belum terlambat. Yah. Hampir terlambat," ucapnya. Pemuda itu segera masuk ke dalam ruangan dengan percaya diri sambil membenarkan dasinya dalam sekejap, merapikan jasnya dan mengusap rambutnya. Oh itu saja sudah membuatnya berpenampilan istimewa.

"Tuan dan Nyonya, ini adalah Eugene Firdaus, adik saya, putra pertama Presdir Mahendra Firdaus, ayah kami. Benar. Karena ini mungkin baru pertama kalinya tuan dan nyonya sekalian melihat wajah adikku ini setelah beberapa tahun, rapat kali ini juga adalah saat yang tepat untuk memperkenalkannya pada Anda semua," jelas Sagra datar.

"Sekali lagi selamat pagi, Tuan dan Nyonya. Saya adalah Eugene Firdaus—"

"Baik, mari kita mulai rapat dewan hari ini," Sagra duduk diikuti seluruh anggota dewan. Eugene terdiam, namun ia dengan canggung dan sedikit menahan kesal duduk dengan tenangnya di kursi yang disediakan untuknya, di sebelah kiri kursi Sagra.

.

"Setelah lama tidak bertemu, kenapa Kakak sangat kejam padaku?" sindir Eugene setelah rapat selesai, di ruangan Presdir yang ditempati Sagra sebagai pengganti peran ayahnya. "Aku ini baru pulang dari Amerika. Kakak harusnya tidak perlu sekasar itu padaku, kan?" tanya Eugene sinis.

"Ayah yang menyuruhmu datang hari ini, jadi bukan salahku. Kalau mau menyalahkan, salahkan Ayah," ucap Sagra.

"Lagi-lagi bawa-bawa Papa. Aku kan cuma hampir telat," ucap Eugene dingin.

"Cuma aku yang menyatakan bahwa kamu hampir telat. Untuk menyelamatkan image pertamamu yang...intinya, kamu mau kerja, atau mau mengeluh?" tanya Sagra.

Eugene menunduk mendekati kakaknya yang masih duduk di belakang meja kerjanya, dan tersenyum sinis. "Papa memberiku pekerjaan di sini? Woah, hebat," ucapnya dengan nada sarkastik yang ketara jelas.

"Kali ini bukan Ayah," Sagra mengeluarkan kartu tanda karyawan pada Eugene. "Tapi ini keputusan Kakak," ucapnya dengan senyum manis.

"Apa ini? Kakak menganggapku freshman yang baru dapat kerja?" tanya Eugene tajam. "Pegawai? Oi, Papa tahu soal ini?" tanya Eugene.

"Kenapa kau jadi yang bawa-bawa Ayah? Freshman biasa yang melamar kerja di sini saja belum tentu bisa masuk dengan mudah tanpa seleksi sepertimu. Kau sudah cukup diistimewakan, dan posisimu sudah termasuk tinggi. Masih mau mengeluh?" tanya Sagra.

Eugene mengangkat kedua tangannya pasrah. "Okay, okay, no problem. Kakak mau aku mulai dari bawah, baiklah," Eugene melirik Haka yang dari tadi berdiri di belakangnya tanpa bersuara. "Tapi kalau aku berhasil naik jabatan dalam waktu singkat, aku mau Haka jadi sekretarisku," tantang Eugene.

Sagra mengabaikan Haka yang terkejut dengan proposal Eugene, dan mengangkat kedua tangannya pasrah. "Oke, setuju," Sagra tersenyum. "Kau bahkan bisa membawanya sekarang kalau kau mau," ucapnya.

"Nona Sagra," panggil Haka dari latar belakang, dengan wajah yang tidak mengerti dan setengah panik.

Sagra tersenyum lagi. "Kau boleh membawanya sekarang. Tapi kau harus mengembalikannya kalau kau gagal naik jabatan dalam waktu dua bulan," ucap Sagra ganti menantang.

"Dua bulan? Setuju!" Eugene tersenyum tajam. "Okay Pak Haka, ikuti aku," ucapnya, berjalan dengan percaya diri keluar dari ruangan.

Haka berjalan cepat menghampiri sisi Sagra. "Apa Anda serius tentang ini, Nona Sagra? Kenapa aku..." ucapnya ragu.

Sagra menyandari kursinya yang nyaman. "Awasi setiap tindakan Eugene dan laporkan padaku. Meski kelihatannya begitu, dia adalah lulusan terbaik Stanford University tahun ini. Karena dia langsung pulang tanpa menghadiri wisuda, beritanya tidak menyebar kemanapun. Ayah mengiming-iminginya uang dalam jumlah besar setelah prestasinya asalkan dia mau segera pulang. Jadi, dia adalah orang yang patut diwaspadai," ucap Sagra menjelaskan pada Haka yang agak terguncang dengan berita itu.

Orang seperti Eugene? Lulusan terbaik Stanford?

"Saya...akan mengawasi dengan baik," ucap Haka, menerima kartu tanda karyawan yang berada di dalam kalung tanda pengenal milik Eugene. "Dan saya akan melapor setiap ada kesempatan,"

Haka membungkuk hormat, lalu keluar dari ruangan utama Presdir dan mengikuti bos barunya.

Sagra Nertaja menatap datar kepergian Haka. Saat ini, melihat keadaan dan situasi adalah yang terpenting. Itulah yang selalu ia lakukan, selama bertahun-tahun ia mengabdikan dirinya untuk membangun YN Group, perusahaan yang didirikan ayahnya.

"Aku benar-benar ingin liburan," gumam Sagra pelan.

.

Choices For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang