Shouyo and Lloyd: Canned Corn Soup

94 11 0
                                    

Sagra duduk di sebuah bangku taman di salah satu taman terbesar di Tokyo. Butuh sekali naik kereta untuk menuju tempat ini, dan Sagra tidak keberatan. Ia memakai sebuah kacamata hitam dan baju yang berlapis-lapis karena udara yang dingin. Ia tidak memikirkannya karena ia memang sedang menikmati cuaca di luar.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, seorang pria duduk di sebelahnya. "Bagaimana dengan keadaanmu?" tanya Sorata, pria yang duduk di sebelahnya itu.

Sagra menoleh padanya dan tersenyum tipis. "Aku sudah membaik," jawab Sagra kemudian.

"Kuharap kau akan terus membaik," Sorata tersenyum melihat senyum Sagra.

Sagra berdiri, berjalan ke depan Sorata, kemudian menghadapnya. Sorata yang masih duduk dan mendongak menatap Sagra heran. Lalu ia semakin bingung lagi saat Sagra membungkuk untuk memeluknya. "Maaf sudah membuatmu melakukan semua itu pada ayahmu sendiri," ucap Sagra datar.

Sorata tertawa kecil dengan canggung, lalu menepuk punggung Sagra lembut. "Bukannya apa-apa, tapi sebenarnya aku sudah merencanakan hal ini jauh sebelum semua ini terjadi," ucap Sorata. "Aku selalu ingin membunuh ayahku, kau tahu? Ayahku juga yang menyebabkan kematian ibuku," ucap Sorata kemudian.

Sagra melepaskan pelukannya dan berdiri tegak. Sorata tersenyum canggung menatap wanita cantik itu berdiri di depannya dengan wajah yang sedih.

"Ceritanya panjang...dan aku akan merasa lebih baik jika aku tidak perlu menceritakannya," ucap Sorata lembut. "Terimakasih sudah mengkhawatirkanku, ngomong-ngomong," lanjutnya.

Sagra mengangguk, kemudian duduk kembali ke sebelah Sorata.

"Dan aku sangat menyesal atas kehilanganmu. Ibumu...Nyonya Irisa Nertaja?" tanya Sorata dengan pengucapan Bahasa Indonesia yang baik. "Kuharap dengan membunuh ayahku, aku bisa membawa ibuku dan ibumu kembali hidup, tapi tentu saja itu tidak mungkin," ucap Sorata dengan sebuah senyuman simpul yang sangat cocok untuknya.

Sorata perlahan mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya, dan menaruhnya di tangan Sagra. Itu adalah sebuah kotak cincin kecil berwarna pastel yang terlihat mewah. Sagra menoleh pada Sorata yang menatapnya dengan tatapan yang meminta maaf.

"Aku tahu, aku sangat tidak tahu malu. Maafkan aku," ucap Sorata. "Tapi..." Sorata berdiri, lalu berlutut di hadapan Sagra. "...tapi ini bukan soal menyelamatkan Mizuame, atau kesepakatan bisnis apapun yang bisa kita bicarakan setelah ini," lanjutnya.

Sagra menatap Sorata dengan tidak percaya, dan matanya mulai memanas. Semua orang di sekitar mereka segera melihat ke arah mereka dan yang berjalan segera berhenti untuk menonton. Bahkan ada yang merekam dengan ponsel mereka. Sagra meneteskan air mata.

"Di kali pertama aku melihatmu, aku benar-benar mengira ada bidadari jatuh dari langit. Meskipun..." Sorata tertawa kecil, "...kau malah melihat ada iblis merangkak keluar dari neraka," ucapnya. "Dan aku tahu betapa tidak pantasnya aku mengatakan ini, tapi kalau itu bukan cinta pada pandangan pertama, aku tidak tahu lagi apa namanya itu."

Sagra tersenyum di tengah air matanya yang terus meluncur jatuh.

"Mungkin ini adalah wajah paling kau benci di dunia, tapi jangan khawatir, tekhnologi jaman sekarang memungkinkanku untuk merubah penampilan dan wajahku. Jadi...maukah kau memberiku kesempatan?" tanya Sorata.

Di sudut mata Sagra, ia dapat melihat seorang pria bermantel cokelat tua tersenyum ke arah mereka dari jauh. Sagra menatapnya saat pria itu tersenyum memberi selamat padanya dan kemudian berbalik pergi. Sagra menarik napas panjang, dan tersenyum.

Ia menerima kotak cincin di tangannya dan kemudian mencium dahi Sorata. "Aku akan memberimu kesempatan," ucapnya.

Suara tepuk tangan dari orang-orang yang menonton di sekitar mereka pun terdengar sampai jauh. Lloyd berjalan dengan mantel cokelatnya yang baru saja ia beli hari ini, menjauhi taman. Para wanita yang melihatnya dan berpapasan dengannya segera tertarik padanya dan memberitahu teman mereka bahwa ada seorang pria tampan lewat.

Dan saat ia sudah cukup jauh dari taman, ia mencoba mencari tempat duduk di salah satu halte bus terdekat. Lloyd membenamkan wajah ke kedua telapak tangannya. Ia menghela napas pelan, namun frustasi. Tapi saat sekaleng hangat sup jagung ditempelkan ke kepalanya, ia mendongak, melihat Shouyo menatapnya dengan tatapan kasihan.

Semakin terlihat tidak senang, Lloyd menghela napas lebih keras. Lloyd menerima tawaran pemuda itu dan membiarkannya duduk di sebelahnya. "Darimana kau tahu Sakura-san berencana untuk menghancurkan Mizuame, dan kenapa kau peduli?" tanya Shouyo.

Lloyd memutar matanya dengan kesal. "Karena aku..." sudah mengenalnya dengan sangat baik. Begitu Lloyd ingin menjawab, tapi sebenarnya kenyataannya, mereka baru saling mengenal selama beberapa bulan. "Karena aku adalah..." tunangannya. Begitu jugalah Lloyd ingin mengganti jawabannya, tapi ia berhenti lagi. Mereka bukan lagi tunangan.

"Karena kau mencintainya?" tanya Shouyo kemudian.

Lloyd menatap Shouyo tidak percaya, lalu menghela napas.

"Kau peduli karena kau mencintainya," Shouyo meminum sup jagungnya sambil mengedik tidak peduli. "Sekarang Mizuame akan baik-baik saja, dan objek dendam Kakakku sudah tidak ada," lanjut Shouyo. "Tapi kenapa kau memberikan potassium itu untuk membunuh Shinichi pada Sorata Aniki? Apa yang membuatmu yakin ayahku akan menyuruh Sorata Aniki, dan Aniki akan membunuh ayahnya sendiri?" tanya Shouyo lagi.

"Karena jika kami tidak melakukannya, Sagra yang akan melakukannya," jawab Lloyd.

Shouyo mengangkat alisnya. "Kakakku adalah tipe orang yang akan membunuh untuk membalaskan dendamnya?" tanyanya.

"Kakakmu adalah tipe orang yang membuat orang yang ia cintai berpikir ia sudah mati," Lloyd menatap dalam Shouyo. "Untuk memberinya pelajaran," lanjutnya.

"Dan ia siap membunuh dirinya sendiri untuk menghalangi tindakan keji orang lain. Kurasa, itu juga membuktikan bahwa ia sanggup membunuh orang lain yang dianggapnya berbahaya di dalam masyarakat," jelas Lloyd.

"Jadi kau, ayahku dan Aniki mencegah Kakakku menjadi pembunuh dengan membunuh orang yang ingin ia bunuh?" tanya Shouyo.

Lloyd mengedik. "Entahlah soal ayahmu dan Shimura muda itu. Tapi," Lloyd tidak meneruskan ucapannya. Ia menghela napas dan berdiri.

"Sekali kau membunuh, tidak ada jalan kembali, kan?" tanya Shouyo.

Lloyd berhenti saat akan berjalan pergi.

"Sejauh investigasiku tentang latar belakangmu, tidak ada yang membuktikan secara jelas kau pernah membunuh, tapi, kami tahu kau sudah melakukan hal-hal ilegal yang sangat ekstrim untuk menghancurkan mantan tunangan Kakakku, Hanun Burhan," ucap Shouyo.

"Kau mengeluarkan orang-orang dari dalam penjara dengan memalsukan penyakit mereka agar mereka dapat mendapatkan penundaan eksekusi. Kemudian, kau memanfaatkan kelemahan mereka dan mendapatkan jabatan sebagai Direktur Medis Lapas di Jakarta. Banyak lagi tindakan ilegal yang kau lakukan, dan kau tidak segan membahayakan nyawa banyak orang untuk mencapai tujuanmu," lanjut Shouyo kemudian.

"Apa karena itu kau merasa tidak pantas bersama Kakakku?" Shouyo tertawa kecil. "Astaga, orang-orang ini, kalian terlalu mendewikan Sakura-san," ucap Shouyo.

"Diam kau, dasar," ucap Lloyd tajam. "Seperti yang kau bilang, perekonomian akan hilang keseimbangan jika Mizuame hancur. Itu juga akan mempengaruhi perusahaanmu dan perusahaanku (Kalingga Group), jadi anggap saja semuanya berakhir dan biarkan aku pergi," ucapnya dingin dan cepat.

"Dan siapapun akan sadar kalau Sagra akan menghancurkan Mizuame begitu tahu ia sampai repot-repot membuat Presdirnya sakit jantung," Lloyd mengucapkan semua ini dalam bahasa Indonesia, dan dengan keras, agar orang-orang disekitarnya tahu ia kesal, namun tidak tahu apa arti perkataannya.

Pria itu kemudian pergi setelah menaruh kaleng sup jagungnya yang masih belum tersentuh di kursi halte sebelah Shouyo. Shouyo menghela napas. "Aku tidak akan pernah akur dengan seseorang yang menolak sup jagung hangat," gumamnya.

Choices For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang