JS 14: Raga, Rupa, dan Rasa

178 51 0
                                    

Mereka memaknai setiap raga, menghargai setiap rupa karena setiap kita pasti punya rasa, seperti itulah seharusnya manusia.

•••

Waktu menunjukkan pukul 15.15 WIB, sore hari sudah menyambut pikiran untuk pulang, tapi masih ada satu janji yaitu berkumpul dengan FORSAGA.

"Senja lo ikut kumpul 'kan?" Tanya Ben.

"Iya."

"Yuk ke basecamp."

Aku, Zaky, Ben, dan Jodhy melangkah meski tertatih. Kami mencoba kuat meski penat. Ternyata sudah banyak anak yang duduk rapi menunggu di basecamp. Ruangan yang cukup luas, deretan komputer dan kursi berjejer teratur. Putih, bersih, ternyata ruangan tersebut adalah Lab Bahasa yang dipercayakan sebagai fasilitas untuk FORSAGA.

"Yuk masuk." Seorang pria datang dari arah berlawanan, membawa setumpuk lembaran berwarna-warni.

"Eh, Jingga." Kataku menyapanya.

Ku langkahkan kaki memasuki ruangan dingin itu, berharap semoga orang-orang di dalamnya tak sedingin sikap Jingga. Puluhan pasang mata memandangku nanar, mataku tertuju pada sosok Dea, ternyata dia juga anggota dari forum ini, pikiran negatifku tak terbendung berkeliaran.

Jingga membuka kegiatan ini dengan wibawa. Ia mempersilahkan ku memperkenalkan diri sebelumnya.

"Salam kenal teman-teman. Nama saya Senja Salsabilla Anindya Wijaya,boleh pangil saya Senja ...."

"Boleh kakak panggil sayang gak?" Ucap seorang anggota memotong perkenalanku. Dibalas dengan tatapan tajam Jingga yang mengartikan untuk tidak menganggu ku. Semua orang tertawa akibat ulah pria tersebut.

"Saya dari kelas X MIPA 1, sekian dari saya." Aku menyudahi perkenalan ku agar tak menyita waktu.

"Ada yang ingin ditanyakan?" Tanya Jingga kepada teman-teman, tentu saja itu yang sangat aku hindari.

"Senja kenapa mau gabung ke FORSAGA?" Tanya salah satu dari mereka.

"Saya mau explore kemampuan saya."

"Oh jadi kamu suka sastra?" Tanyanya lagi.

"Iya." Jawabku ragu-ragu.

"Bisa dijelaskan alasan kamu suka satra?" Tanya seorang wanita bertubuh kurus dan tinggi.

"Saya suka membaca dan menulis keduanya merupakan bagian dari sastra. Bagi saya dengan menulis saya mampu menjadi diri saya, menggambarkan mimpi, melukiskan harapan, membagikan pengalaman/khayalan/ dan impian agar terbaca. Terbaca oleh mereka yang menganggap hidupnya hanya begitu saja dan dengan membaca saya banyak belajar akan memaknai rasa, menyelami kata dan menghargai karya. Banyak sastrawan yang tak mengharapkan royalti berlebihan, karena dengan kita bahagia membaca karyanya, mereka juga akan sangat bahagia." Penjelasanku di luar kendali, kulirik Jingga yang duduk di depan semua orang, ia tersenyum tipis lalu memalingkan pandangannya dariku.

"Tepuk tangan untuk Senja, silahkan duduk, apabila perlu penjelasan tanyakan saja. Tapi sekarang bukan waktunya." Perintah Jingga kepada anggotanya.

Tepukan tangan menggema di ruangan itu, aku bahagia, sebab mereka tak seperti dugaan ku. Mereka memaknai setiap raga, menghargai setiap rupa karena setiap kita pasti punya rasa, seperti itulah seharusnya manusia. Bahkan Dea juga tak banyak bertingkah, ia sibuk memalingkan wajah, padahal aku ingin sedikit ramah.

Aku duduk di barisan komputer bagian tengah, mereka sangat welcome terhadap ku. Ada beberapa yang mendekat mengajak ku berkenalan.

"Kenalannya lain kali saja." Tegas Jingga mengagetkan kita semua.

Setelah satu setengah jam kami berkumpul. Akhirnya waktu yang ditunggu datang juga, sebelum pulang kami diwajibkan mengisi absensi. Saat itulah ku sempatkan untuk mencari nama sosok BAF, tapi hasilnya nihil.

"Alasan kamu bagus juga tadi, saya gak nyangka kamu bisa mikir sejauh itu." Jingga membuyarkan konsentrasiku.

"Ha-oh-aaa makasih Ga."

"Makasih buat apa? Itu tadi bukan pujian." Sepertinya sikap dingin Jingga muncul lagi.

"Maksud saya makasih udah ajak saya gabung di forum ini." Jawabku menepis pikiran Jingga.

"Udah absennya? Ini tinggal saya sama kamu di sini." Jingga merebut absensi dariku. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, ternyata benar sudah hanya tinggal kami berdua.

"Saya duluan Jingga." Aku keluar ruangan, disusul Jingga di belakangku.

Kami keluar dari sekolah pukul 17.00 WIB. Hari ini kami menyambut sore dengan warna jingga merekah menghiasi senja. Sepertinya semesta mendukung langkah kami berdua. Lalu lalang kendaraan bermotor bersahutan. Seperti biasa tak ada percakapan yang akan mengganggu kicau burung berhilir ke sarangnya.

Setiba di parkiran sekolah, aku dan Jingga berpisah, tak ada ucapan Selamat Sore apalagi Selamat Sore juga.

"Hati-hati Nja." Jingga bernada tinggi, aku menoleh dari kejauhan hanya tersenyum dan mengangguk. Dengan menghilangkan sore tapi menyebutkan hati, terima kasih Jingga untuk hari ini.

•••

Waktu berganti suasana, rasa tergantikan kata, Hari pun berganti pekan, ternyata hanya rima yang setia dengan aksara.

Setiap pagi selalu tersajikan puisi hati. Tak bertuan dan tak jelas tujuan. Berminggu-minggu puisi tersebut terkumpul hingga mampu dijadikan antologi tak berpena. Aku mulai muak membaca, menyimpulkan, mengira-ngira dari siapa dan untuk apa puisi-puisi tersebut.

"Lo tanyain ke Jingga aja deh, siapa tau beneran dia." Usul Fanny.

"Gak mau nuduh, kalo bukan dia kan nanti aku malu."

"Nanya bukan nuduh Senjaa, turunin deh gengsi lo, toh lo sama Jingga udah mulai akrab kok beberapa minggu ini. Dari pada lo merasa terganggu terus." Fanny ada benarnya.

"Iya kamu bener Fan. Nanti aku coba tanya."

Ternyata ada telinga lain tanpa sepengetahuan mereka, ada yang diam-diam menguping pembicaraan Senja dan Fanny di kelas.

•••

Siapa yang nguping (lagi)? Siapa yang ngirim puisi setiap pagi? Temukan jawabannya di part selanjutnya.

Jangan lupa komen di bawah, pencet tombol votenya, follow aku supaya nggak ketinggalan informasi selanjutnya, dan share ke teman-teman juga.

Find me on:
IG: @julfabella
Twitter:  @kotabulan

Tag aku jika kalian menggunakan kutipan dari karyaku. Aku minta bantuan kalian agar cerita ini berkembang. Terima kasih sudah berkenan baca.

JINGGANYA SENJA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang