JS 26: Rumah

108 35 0
                                    

Kuharap kau tidak hancur karena beban ini.

•••

"Mas, anterin mama yuk ke pasar." Kata mama sembari mengetuk pintu kamar Rinjani.

"Gak mau mah, ayah aja." Jawab Rinjani dari dalam kamar.

"Mas, gak sopan." Mama menegur Rinjani.

"Mah, aku masih ngantuk nanti kalau ada apa-apa gimana." Ucap Rinjani dengan melangkah keluar kamar.

"Ada apa-apa apanya?" Aku menyerobot sela-sela perbincangan mereka.

"Nah, sip. Sama Senja aja ya mah?"

"Loh, kok aku. Aku kan gak bisa bawa motor."

"Jangan bohong kamu wahai adikku."

"Mama gak mau sama adikmu, kan Senja belum lancar banget."

"Mama betul." Aku menyetujui mama.

"Pokoknya mas gak mau, titik." Rinjani kembali masuk ke kamarnya.

Melihat wajah mama yang ditolak mentah-mentah oleh Rinjani, aku tidak tega membiarkan mama mengendarai motor sendiri, "ya udah, sama Senja aja mah."

•••

Mama bukan orang yang ribet perihal belanja, mama juga tidak terlalu suka berlama-lama di pasar. Di perjalanan pulang dari pasar, "Dek, perasaan mamah kok gak enak ya." Kata mama.

"Kenapa mah?"

"Kaya mau ada apa gitu."

"Kaya ada manis-manisnya gitu, mah?"

"Ih kamu ini." Kata mama sembari mencubit ku.

"Kok berhenti?" Tanya mama.

"Mah turun dulu ya, mogok kayaknya."

Dugaan ku  benar, ternyata mogok. Aku dan mama hanya saling menatap motor tua ini. Bingung, cari bengkel kemana, selain itu aku dan mamah juga tidak membawa ponsel untuk meminta pertolongan. Matahari mulai terik, perut ku juga sudah berisik.

"Mah, mamah tunggu di warung itu dulu ya. Biar Senja dorong motor ini ke bengkel depan." Mataku ternyata tajam untuk melihat tempat persinggahan.

"Emang tau?"

"Tau mah." Hanya mengandalkan keberanian, ku dorong saja motor butut ini menyusuri jalan.

Mama sudah aman, ku lanjutkan mendorong motor mencari bengkel terdekat. Udara sangat hangat hari itu, kabut pekat yang sepagi tadi menyelimuti kini telah hilang terganti mentari. Rasa lapar turut menemani, bunyi-bunyian perut  pun riuh bagai gemuruh. Sudah pukul sepuluh lebih lima menit di jam tanganku. Pantas saja, tubuh ini sangat butuh asupan. 

Setelah aku berjalan beberapa haluan jalan, tak ada satu pun tempat perbaikan motor yang ku temui. Apa aku salah jalan? Atau salah haluan? Apa berbalik arah saja? Di tengah-tengah kebimbangan, aku berhenti sejenak. Dari kejauhan jarak, ku lihat sesosok mirip mama berada pada mobil sedan hitam yang mewah. Terus ku amati, itu benar-benar mama. Mobil itu melaju cepat dan terus mendekat tepat di hadapan ku.

"Senja, naik." Seorang perempuan seumuran mama membuka kaca mobilnya.

"Tolong!!! Tolong!!!" Pekikan ku semakin keras saat melihat mamah tak berdaya duduk di depan sebelah wanita tadi.

"Senja, kenapa teriak? Ayo masuk."

"Kamu siapa? Mama kenapa?"

"Ini Tante, Senja, mama kamu tadi tiba-tiba pingsan. Ayo kamu masuk kita bawa mama kamu ke rumah. Biar motor kamu anak tante yang ngurus."

Aku masih tidak tau wanita ini siapa, tapi melihat kondisi mama aku sangat panik. Langsung saja ku tinggalkan motorku dan memasuki mobil. Aku masuk melewati pintu sebelah kiri dan ada seorang laki-laki yang keluar dari pintu sebelah kanan. Wanita paruh baya tadi melajukan mobilnya dan ku lihat laki-laki yang tadi keluar mendorong motorku entah kemana.

"Tante siapa?" Tanyaku dengan rasa cemas.

"Ini Tante Ita, Senja." Masa kamu lupa.

"Tante Ita?" Aku berpikir keras setelah mendengar nama itu.

"Iya, masa lupa sih."

"Oh iya. Tante istrinya om Tio kan? Yang pindah ke luar negeri itu?"

"Iya, Senja."

Kami sampai di rumah. Dengan panik aku memanggil Rinjani untuk menggendong mama.

"Mama kenapa?" Tanya Rinjani.

"Gak tau, ayo cepet."

Rinjani terlihat panik melihat kondisi mama, "Tante Ita?" Rinjani terlihat bingung melihat adanya Tante Ita sembari membopong tubuh mama ke dalam kamar. Tak lama kemudian mama membuka mata. "Kalian kenapa?" Mama bangun dan bertanya demikian.

"Mama gak papa kan?" Tanya Rinjani.

"Mama tadi pingsan mah."

"Mama gak pingsan, mama cuma lemes aja tadi."

"Mama serius?" Rinjani masih cemas.

"Kamu gak percaya sama mama?"

"Iya mah, percaya kok."

"Oh iya ini Tante Ita, masih ingat kan?"

"Masih lah mah, makasih ya Tante udah tolongin mama sama Senja."

"Iya, Rinjani. Tante seneng liat kalian sudah besar." Senyum terlihat merekah di pipi Tante Ita.

"Motor butut ayah mana?"

Sebelum aku membuka mulut untuk menjawab. Terdengar dari kejauhan deru motor tua yang masih keras di telinga. Ya, itu laki-laki yang tadi bersama Tante Ita.

"Tuh dia."

"Eh lo, apa kabar bro?" Sapa Rinjani kepada laki-laki itu.

"Pasti mas Rinjani kan?" Mereka tersenyum dan berpelukan. Rupanya hanya aku yang diam tak tahu apa-apa.

"Senja, udah gak cengeng lagi kan lo?"

"Aku?"

"Lo gak ingat dia dek?"

"Siapa sih mas?"

"Anaknya Tante Ita. Yang dulu satu TK sama Lo."

"Mmm." Otakku masih berpikir keras mengenai siapa laki-laki itu.

•••

Jangan lupa komen di bawah, pencet tombol votenya, follow aku supaya nggak ketinggalan informasi selanjutnya, dan share ke teman-teman juga.

Find me on:
IG: @julfabella
Twitter:  @kotabulan

Tag aku jika kalian menggunakan kutipan dari karyaku. Aku minta bantuan kalian agar cerita ini berkembang. Terima kasih sudah berkenan baca.

JINGGANYA SENJA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang