JS 12: Kenang Malam

197 53 3
                                    

Jingga... jangan hanya berjaga, hadirlah warnai senja, jadilah alasan para manusia berucap Selamat Sore semua. -Senja Salsabila

••

"Kamu mau naik bianglala?" Tanya perempuan itu.

"Mau, tapi Senja takut katanya." Jawab Tasya.

"Nggak takut kok, males aja." Aku berbohong di depan Jingga.

"Tadi lo bilang gitu."

"Udah-udah, yuk naik sama aku. Biar Jingga sama Senja." Perempuan itu tersebut dengan senyum ramah.

"Nggak usah mba, kita pulang aja." Aku merasa tidak nyaman.

"Kita kenalan dulu deh, aku Aura kakaknya Jingga." Dia tersenyum sembari mengulurkan tangan ke arahku dan Tasya.

Jadi, cewe yang cantik, kurus, tinggi, langsing itu bukan pacarnya Jingga ya, tapi kakaknya. Mari berpositif thinking.

"Aku Senja, adik kelasnya Jingga."

"Gue Tasya, temennya Senja. Ayuk mba naik bianglala." Cerocos Tasya, yang langsung mengambil posisi di sebelah mba Aura, padahal mereka baru kenal tapi sudah seperti kenalan lama.

"Kalian tunggu aja, sambil jalan-jalan kek." Saran mba Aura seraya pergi dengan Tasya

"Gimana tawaran saya tadi siang?" Jingga mengawali keheningan tanpa basa-basi.

"Tawaran?" Jawabku gugup.

"Jarang loh ada ketua yang mau merekrut anak buah secara langsung."

"Saya pikir lagi deh."

Kembali hening di antara kami, tak ada kata yang mengisi apa lagi rasa yang merajai. Seperti itu saja, diam, terus diam, kembali diam, lalu diam, kemudian diam-diam suka. -kaya lagunya ceribel-

"Ga/Nja" Ucap kami bersamaan, merusak keheningan yang mencoba mengeluarkan dinginnya.

"Kamu dulu deh"

"Kamu dulu." Jingga mempersilahkan ku.

"Saya mau gabung ke FORSAGA." Karena malas berpikir keras ku putuskan untuk mencoba saja dulu, hal itu membuat Jingga berhenti melangkah. Kemudian aku yang berjalan di belakangnya menubruk punggungnya.

"Jangan berhenti mendadak dong." Aku mengeluarkan jurus ngegas.

"Sorry, udah mikirnya?"

"Udah."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?" bisa gak sih Jingga kalo ngomong yang jelas, otakku kan nggak mau mikir.

"Kenapa mau gabung?"

"Karena saya juga belum ikut ekskul apa pun di sekolah."

"Nggak ada alasan lain?"

"Ngga ada."

Ya ada lah, kamu alasanku.-dikatakan di hati.

Jingga memilih duduk di kursi pasar yang jauh dari keramaian. "Duduk." Dia menepukkan tangannya di kursi sebelah kanan. Aku pun ikut duduk di sebelahnya. Berasa di pelaminan.

"Boleh saya minta nomor kamu?" Lagi-lagi suaranya memecah keheningan.

"Bukannya udah punya?"

"Sudah saya hapus, saya pikir saya lancang hubungin kamu dan dapat nomor kamu tanpa kamu ketahui." Jelasnya.

"Mau buat apa?"

"Buat masukin kamu di grup."

"0853 ...."

"Makasih."

Sudah hampir larut, kami masih saja terdiam, hingga aku lupa mengisi perut. Ku pejamkan mataku sejenak menikmati hilir angin yang semrawut, mencoba merasuki jiwa tanpa kata tanpa pandang kita. Dingin menusuk acap kali menggugah kelopak mata untuk melirik raga yang entah kenapa menggoda netra untuk menatapnya lama. Jingga jangan hanya berjaga, hadirlah warnai senja, jadilah alasan para manusia berucap Selamat Sore semua.

Mataku terbelalak ketika melirik Jingga yang sudah tak lagi terjangkau mata, kemana dia. "Ini buat kamu?" Jingga datang menyerahkan sebuah jagung bakar dari tangan kanannya.

"Ha? Ma-makasih." Aku meraih jagung tersebut dengan berucap canggung.

"Sejak kapan berpuisi?" Tanya Jingga menepis semua kecanggungan.

"Saya?" Aku bertanya kembali. Dibalas anggukkan oleh Jingga.

Flashback on

Empat tahun lalu. Pada saat aku duduk di bangku kelas lima SD.

"Bacakan puisi kalian di depan kelas." Perintah pak Parto meminta siswanya bergiliran membaca puisi yang sudah dibuat, tak menunggu lama tiba giliran ku melafalkan puisiku.

Rumah ibuku, bukan rumahku
Rumah ayahku, bukan rumahku
Rumah nenekku, bukan rumahku
Rumah kakekku, bukan rumahku
Rumah bibiku, bukan rumahku
Rumah om ku, bukan rumahku
Rumahku, bukan rumahmu

Tapi ternyata, sebait puisi buatan ku membuat gelak tawa seisi kelas, bahkan juga tawa guruku. "Puisimu itu sangat jelek dibanding temanmu yang lain." penilaian pak Parto membuat ku terpukul, aku terus menunduk menahan malu. Sejak saat itu aku sangat membenci puisi, bahasa dan juga pak Parto yang mempermalukan ku di depan kelas.

Flashback off

"HA... HA... HAHAA." Tawa lepas keluar dari mulut Jingga. Aku melirik dia tajam, 1...2...3...5 detik aku tersenyum. Ini pertama kali aku melihat Jingga melengkungkan garis bibirnya apalagi dengan tertawa, pemandangan yang sangat langka ada di depan mata.

"Kenapa seyum-senyum?" Tanyanya membuyarkan senyumku.

"Kenapa ketawa?" Aku balik bertanya.

"Kenapa si hobi banget balik tanya?" Jingga bertanya lagi.

"Kenapa memang? Nggak boleh?" Tanyaku lagi.

"Ini siapa yang mau jawab kalo tanya-tanya terus?" Tanya Jingga.

"Hahaha." Kami tertawa bersamaan debur angin yang menyambar wajah kami, melengkapi rasa bahagiaku, dingin namun sejuk, seperti itulah sosok Jingga di mataku.

"Saya ketawa denger cerita kamu, apalagi tadi ekspresi kamu membacakan puisi pertamamu itu." Tutur Jingga.

"Hehe... Itu puisi pertama dan terakhir saya."

"Bohong, lalu puisi yang di mading?" Tanyanya yang sampai sekarang percaya kalau puisi itu buatan aku.

"Ah sudahlah jangan dibahas, kamu sendiri kenapa suka puisi sampai ambil bahasa?" Aku berusaha menggali Jingga lebih dalam.

•••

Ngena gak nih part Jingga sama Senja???
Part selanjutnya ada kejutan.

Jangan lupa komen di bawah, pencet tombol votenya, follow aku supaya nggak ketinggalan informasi selanjutnya, dan share ke teman-teman juga.

Find me on:
IG: @julfabella
Twitter:  @kotabulan

Tag aku jika kalian menggunakan kutipan dari karyaku. Aku minta bantuan kalian agar cerita ini berkembang. Terima kasih sudah berkenan baca.

JINGGANYA SENJA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang