JS 15: Bukan Jingga Pelakunya

154 49 5
                                    

"Dih, Sok ganteng."
"Bukan sok, emang ganteng."

•••

"Jinggaaa." Aku berteriak berusaha meraih pendengaran Jingga.

"Ada apa?"

"Saya mau tanya sesuatu."

"Silahkan."

Aku menarik tangan Jingga menuntunnya ke Taman belakang sekolah.

"Sebelumnya saya minta maaf, saya mau tanya apa benar kamu yang selama ini nulis puisi setiap pagi yang ada di meja saya?"

"Hah? Kamu ngomong apa sih. Ya gak lah, gini-gini saya ini sibuk." Jawabnya menyombongkan diri.

"Jadi bukan kamu Ga? Nih coba kamu baca deh, itu semua puisi misteriusnya." Aku menyodorkan puluhan lembar kertas bertuliskan puisi.

"Bukan saya, puisi cinta semua lagi ini. Siapa yang suka sama orang kaya kamu?" Ucapnya pedas sembari membaca satu persatu lembaran itu.

"Kok balik nanya, saya juga gak tau."

"Kenapa kamu nuduh saya? Kamu berharap sama saya?" Degg- menohok sekali pertannyaanya.

"Saya nanya gak nuduh. Siapa yang berharap sama orang kaya kamu? Dihh ngarep." Jawabku sewot.

"Orang kaya saya gimana maksudnya?" tanyanya.

"Orang kaya saya gimana maksudnya?" Aku menirukan pertanyaannya.

"Saya pikir otak kamu gak nyampe untuk nanyain itu." Ledeknya.

"Jinggaa saya lagi serius ya."

"Senjaaa saya lagi bercanda ya." Ternyata di balik dinginnya Jingga dia itu lucu orangnya, setelah beberapa minggu ini saya gabung ke forum, saya jadi lebih tau Jingga.

"Nyesel saya tanya ke kamu." Aku merebut lembaran kertas yang sedang Jingga baca.

"Siapa suruh." Setelah dua kata itu keluar dari mulut Jingga, aku beranjak pergi namun terhenti oleh cekalan tangan Jingga di lenganku. Ia mengisyaratkan aku untuk kembali duduk.

"Apalagi?" Tanyaku kesal.

"Jadi beberapa hari yang lalu saya liat di kelas kamu ada orang." Kata Jingga.

"Sekarang juga ada orangnya."

"Ini saya serius, dengerin dulu. Orang itu pake jaket item mukanya ditutup masker. Tapi dia pake seragam SMA sini."

"Mm ...." Belum sempat terucap mulutku dibekap tangan Jingga.

"Sst, dengerin dulu. Waktu itu saya berangkat pagi dan liat orang itu, waktu saya lewat kelas kamu."

"Lah situ ngapain ke daerah IPA?"

"Heh kelas Bahasa kan di lantai tiga, sedangkan kelasmu di lantai dua. Otomatis saya lewat daerah kamu lah." Jingga mulai ngegas.

"Yee santai aja kali."

"Sepertinya orang itu yang neror kamu pake puisi ini."

"Kok neror sih?"

"Ya apalagi, mana mungkin ada penggemar rahasia kamu di sini." Sia meremehkan ku.

"Sirik aja." Aku kesal, lalu menyilangkan tanganku di depan dada.

"Gini aja, kalo kamu mau tau siapa pelakunya, besok kamu berangkat lebih pagi untuk mantau si peneror."

"Bagus juga idenya."

"Gitu aja gak kepikir, apalagi ...."Jingga memotong kalimatnya."

"Apa?!"

"Heh, gak usah ngegas, ganteng-ganteng gini saya kakak kelas kamu."

"Sok ganteng."

"Bukan sok, emang ganteng."

"Dasar bambank." Aku memutuskan melangkah pergi.

"Jinggaaa." Dia berteriak mengucapkan namanya sendiri. Aneh.

•••

Hari ini aku berangkat lebih pagi sesuai saran Jingga, dengan mata masih terkatup, bahkan mentari masih enggan muncul menyinari. Udara masih terasa dingin, langkah kaki menuruti ingin, meski tak mengusik tapi setidaknya aku tahu alasan di sebalik setiap kata. Agar paham makna, diterima logika dan tidak ada rasa yang tak seharusnya. 

Aku mengintai di balik pintu kelas, memastikan orang misterius itu lewat. Mataku tertuju pada langkah kaki dari kejauhan, memakai blazer hitam, wajahnya tak tampak jelas tertutupi masker hijau.

"Hiyaa kena kan kamu!" Aku menangkap sosok itu tepat di depan pintu kelas ku.

"Senja kamu gila ya?" Sosok tersebut melepas pelukan ku, karena aku menangkapnya dengan memeluknya dari belakang.

"Loh Jingga?" Wajahnya tak asing lagi.

"Ngapain sih kamu? pagi-pagi gini."

"Tuh kan bener, kamu pelakunya."

"Pelaku apa?"

"Puisi misterius itu, kata kamu pelakunya berjaket hitam dan anak sini. Pasti kamu, dari tadi gak ada orang selain kamu yang lewat."

"Ini blazer bukan jaket, saya emang lewat sini kalo ke kelas."

"Gak usah ngeles lagi de ...." Kalimatku terpotong, Jingga membekap mulutku dan menuntun tubuhku mendekati tangga. Terdapat seseorang berjaket hitam yang sedang menaiki tangga.

"Mungkin dia orangnya, cepet sembunyi sekarang."

Sontak aku menarik tangan Jingga dan menyuruhnya bersembunyi di balik pintu, sedangkan aku bersembunyi di kolong meja guru. Terdengar suara langkah kaki memasuki kelas, aku melihat punggungnya samar. Seorang pria itu mendekat kearah tempat dudukku dan meletakkan secarik kertas. Aku yakin dia pelakunya, aku melangkah diam-diam mendekati pria tersbut, ku tarik masker yang menutupi wajahnya.

"Kamu??" Aku kaget ternyata benar bukan Jingga.

"Senja?" Pria itu terlihat kaget melihatku memergokinya.

"Jadi kamu selama ini yang ngasih puisi ke aku? Buat apa? Kenapa? Jelasin ke aku Ben?" Dia adalah Ben teman sekelasku.

•••

Ada apa sama Ben???

Jangan lupa komen di bawah, pencet tombol votenya, follow aku supaya nggak ketinggalan informasi selanjutnya, dan share ke teman-teman juga.

Find me on:
IG: @julfabella
Twitter:  @kotabulan

Tag aku jika kalian menggunakan kutipan dari karyaku. Aku minta bantuan kalian agar cerita ini berkembang. Terima kasih sudah berkenan baca.

JINGGANYA SENJA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang