JS 38: Lembayung Senja

40 20 0
                                    

Jangan mudah menilai orang lain, kita nggak tahu hal buruk apa yang harus mereka lalui untuk berdiri hari ini.

•••

"ANGGAAAA." Pagi-pagi aku sudah bertengger di depan gerbang rumah Angga. Dia terlihat keluar dari rumah masih mengenakan celana selutut dan kaos berwarna hitam.

"WOI ngapain sih?" Angga kaget melihatku, dia menempelkan wajah di sela-sela gerbang rumahnya.

"Mas Rinjani cabut dari rumah." Sejak tadi malam, Rinjani belum ada kabar. Bukannya merespon perkataan ku, Angga malah sibuk mengelap motornya. Dia terlihat tidak tertarik untuk bertanya mengapa Rinjani bisa kabur dari rumah, justru dia malah memutarkan badan dan kembali masuk ke rumah.

"Angga, kamu harus tanggung jawab nganterin aku sekolah." Aku menagih janjinya semalam dengan sedikit berteriak.

"ANGGA." Aku memanggil namanya untuk kesekian kalinya, karena aku berpikir kalau dia mengabaikan ku.

"Masuk dulu, ayo sarapan." Angga keluar dari balik pintu dengan wajah datar.

"BUKA GERBANGNYA!" Aku kesal tidak bisa mengekori Angga karena gerbang rumahnya masih tergembok rapat.

Beberapa menit setelah sarapan, Angga keluar dari kamar dan sudah berganti pakaian. Aku membonceng motor Angga, membelah jalanan kota, merasakan sejuknya embun hari ini.

"Jangan pegangan di situ, emang aku tukang ojek." Angga menurunkan tanganku dari bahunya, kemudian meletakkan tanganku di saku jaketnya.

"Angga, mas Rinjani kabur dari rumah karena aku." Karena Angga sama sekali tidak bertanya, terpaksa aku bercerita tanpa ia minta.

"Hah? Ngomong apa?"

"Mas Rinjani kabur dari rumah karena aku." Aku mengulangi perkataan ku, karena Angga tidak mendengar.

"Oh iya iya." Rupanya Angga terkena penyakit orang mengendarai motor alias iya-iya aja. Aku berpikir untuk bercerita lain kali saja, aku hanya perlu fokus melihat jalanan yang begitu sibuk dilalui lalu lalang kendaraan orang-orang yang sedang berjuang.

•••

"Senja, ngelamunin apa sih?" Fanny datang ke sekolah lebih pagi hari ini, sebelum duduk dia membaca jadwal siapa saja yang piket hari ini.

"Eh, nggak kok." Aku masih dengan suasana hati tidak tenang, karena Rinjani belum juga pulang.

"Beneran nggak ada masalah?" Fanny mencoba memancingku untuk bercerita.

"Enggak, Fan."

"Sampe lupa ya hari ini piket?" Seksi ketertiban yang satu ini emang nggak membedakan teman.

"I'm sorry." Aku segera mengambil sapu sembari cengengesan di depan Fanny.

Teman-teman satu per satu datang, ada yang langsung membuka buku untuk mempersiapkan pembelajaran, ada juga yang membuka buku hanya untuk kipas-kipas, yang begini biasanya berangkat naik metromini.

Sebagian teman perempuan bergerombol membicarakan drama Start Up, antara tim Han Ji-pyeong dan tim Nam Dosan saling beradu pro dan kontra. Sebagian lagi sedang memperbaiki riasan dan bergosip tentang pernikahan komedian Sule yang mampu mengundang penyanyi ternama yaitu Rizki Febian. Sementara itu, teman laki-laki kompak pergi ke masjid dengan alasan solat duha, padahal sebenarnya karena menghindari hafalan surat Al Waqiah yang rutin dilaksanakan setiap pagi.

Begitulah serba-serbi suasana pagi hari di kelasku. Saat pembelajaran dimulai kami semua tentunya memperhatikan dengan tenang, meskipun pikiran jalan-jalan kemana-mana. Jam istirahat pertama tiba, 15 menit bukan waktu yang lama, tapi bisa digunakan untuk mengantri di kantin, walaupun ketika selesai membeli makanan sudah masuk jam pembelajaran lagi.

JINGGANYA SENJA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang