JS 10: Buang Air

223 61 12
                                    

Lo boleh nangis, sebisa lo, sepuasnya, sambil teriak kek, guling-guling kek, jungkir-balik kek, asal jangan nangis lagi untuk alasan yang serupa.
-Rinjani Mahesa

•••

"Senja!!!" Teriak Rinjani.

"Apa mas?"

"Makanan gue!!" Rinjani merebut snack di tanganku.

"Pelit."

"Ngapain lo di kamar gue?"

"Bacain puisi kamu."

"Pergi sana, jangan ganggu gue." Rinjani mengemasi kertas puisi yang sedang ku baca.

"Mas, mas Rinjani percaya kan setiap kita pasti punya kembaran di dunia ini?" Tanyaku, memaksakan Rinjani agar percaya.

"Nggak percaya tuh."

"Senja percaya. Bahkan aku sering liat kembaran mas."

"Masa??"

"Bahkan sering bareng sama mas."

"Siapa sih?"

"TUH MOTOR NINJA MAS, BREMM BREMMM CIT CIT." Ledekku sambil melangkah pergi.

"Butut lo." Teriak Rinjani kesal.

Kenalin dia kakak aku Rinjani Mahesa Wijaya. Alumni Sastra Bahasa UI tahun lalu, mengenyam bangku kuliah selama 3,5 th lulusan terbaik dengan IPK 3,88-beri tepuk tangan untuk mas aku- sekarang dia di rumah aja, bukan pengangguran yaa. Dia penulis/pengarang/penuh khayalan, dia sudah menerbitkan beberapa buku. Buku pertama rintisannya sudah dia kerjakan sedari SMA. Beruntung dia mengetahui passionnya sedari dini, sedangkan aku belum tahu tujuan hidup selama ini.

Kami hanya selisih lima tahun, jadi kami sering dikira sepasang kekasih. Dia bukan pekerja keras, tapi pemikir keras, yang aku salut sama mas adalah dia gak suka kerja pake otot tapi pake otak. Kesimpulnnya dia suka makan otak-otak.
Udah segitu saja ya. Nanti Rinjani kesenengan.

"Kenapa lo, Nja?" Rinjani mendekati aku.

"Lagi buang air." Jawabku.

"Buang air biar mateng? Kok di kasur?"

"Hmm, bau-bau kebodohan." Ucapku lirih.

" Ngucap apa lo?"

"Hmm, bau-bau kebudekan." Ucapku lirih (lagi).

Mas Rinja mendekat, menyeka air mataku. "Lo boleh nangis, sebisa lo, sepuasnya, sambil teriak kek, guling-guling kek, jungkir-balik kek, asal jangan nangis lagi untuk alasan yang serupa." Jiwa puitis Rinjani membludak sampai aku terkejut mendengarnya.

"Mas, aku cuma baper nonton drakor, gak lebih." Aku menampakkan wajah datar saat melihat tindakan Rinjani yang berlebihan.

"Gue miris punya adek yang rela buang air pake celana, hanya demi drakor. Haha saya tertawa, sudah itu saja." Ejek Rinjani dan pergi meninggalkan aku.

"AIR MATA MAS, BUKAN AIR KECIL ATAUPUN AIR BESAR!!! Tunggu saja pembalasan aku." Teriakku padanya.

•••

Mentari tertawa, aku berduka.

Cahaya bersinar aku meredupkan bingar.

Sinar memberi hangat aku pergi bersama penat.

Kau hadir bagai petir, menyambar, membangunkan sukma dari sunyi dunia.

Tetaplah menjadi kamu yang apa adanya.

Biarlah aku menjadi aku yang melihatmu sederhana.

Berbiasalah dengan terbiasa mengenai rasa yang rahasia.

Lalu, kau akan tau aku siapa.

•••

"Ciee Senja ada yang ngasih puisi nih." Fanny menyambutku di pagi hari dengan menyerahkan secarik kertas.

"Puisi apaan?" Aku meletakkan tas di meja, lalu mendekati Fanny yang membuatku penasaran.

"Nih." Fanny menyodorkan secarik kertas itu.

"Salah alamat kali."

"Orang ada di meja lo, ya pasti buat lo lah."

"Bagus juga. Dari siapa sih?" Sahut Elin yang baru berangkat tidak sengaja mendengar kami.

"No name, Lin." Kata Fanny mengernyitkan dahi.

"Ya udah, simpen lo aja dulu. Kali aja ada yang nyariin." Saran Elin kepadaku.

"Kayaknya itu emang buat elo deh Nja." Fanny menduga-duga sendiri.

"Tapi dari siapa? Dan buat apa?" Tanyaku kebingungan.

"Mungkin ada yang suka kali sama lo." Oca menyahut.

"Iya gue suka sama lo Nja." Timpal Zaky yang baru berangkat.

"Dih apaan?" Fanny merespons ucapan Zaky.

"Yee gue gak bicara sama anda." Zaky mulai ngegas.

"Diem deh lo, ngikut aja bawaanyaa." Fanny tambah ngegas.

"Hei kisanak dan kau nona, jangan bawa masalah rumah tangga di hadapan umum. Kasihani kami yang belum sepenuhnya dewasa." Jodhy yang mencoba mencairkan suasana, tapi kami justru meninggalkannya kembali ke tempat duduk masing-masing.

"Eh puisinya bagus juga nih, dapet dari siapa Nja?" Tanya Jodhy setelah membaca secarik kertas puisi yang aku letakkan di meja.

"Nggak tau, tadi ada di meja."

"Liat nih Ben, ada fansnya Senja ngasih puisi, bagus nih." Jodhy membawa secarik kertas itu, lalu ia tunjukkam ke hadapan Ben yang baru berangkat.

"Apaan sih Jod." Aku kesal, lalu kuambil kertas itu dari tangannya. Ben hanya diam berlalu tak merespon dan tak berekspresi.

Tak tik tok tik tak tik tok, tak tik tok tik tak tik tok... --ada suara spatu kuda nih, apa suara Bowo ya--- ponsel ku berdering. Ada WA masuk.

+6253 35xx xxxx
Hai Senja, ini saya Jingga. Bisa ketemu? Ada yang mau saya bicarakan.

•••

Siapa nih yang ngirim puisi buat Senja, tebak yuk di komentar

Kira-kira si Jingga ada perlu apa ya sama Senja?? Apa ada hubungannya sama puisi itu?? Penasaran gak??

Jangan lupa komen di bawah, pencet tombol votenya, follow aku supaya nggak ketinggalan informasi selanjutnya, dan share ke teman-teman juga.

Find me on:
IG: @julfabella
Twitter:  @kotabulan

Tag aku jika kalian menggunakan kutipan dari karyaku. Aku minta bantuan kalian agar cerita ini berkembang. Terima kasih sudah berkenan baca.

JINGGANYA SENJA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang