JS 23: Batagor

178 44 13
                                    

Melupakan itu perihal mudah, hanya saja yang ku mau bukan melupakan tapi mengikhlaskan.

•••

Bel istirahat sudah berbunyi. Waktunya aku melancarkan tugasku, aku telusuri lorong koridor kawasan anak bahasa. Tidak ada mata tertuju, masing-masing individu saling sibuk semrawut mengerahkan langkah menuju kantin.

Sesampainya di kelas Jingga, aku tak melihat sosoknya. "Lo yang namanya Senja ya?" Tanya kakak kelas laki-laki yang sepertinya teman Jingga.

"Iya, ada apa kak?"

"Kamu ditunggu Jingga di ruang musik, udah ya gue pergi dulu."

"Terima kasih kak."

Tanpa berpikir panjang, aku segera menuju ke ruang musik, mengingat istirahat pertama hanya 15 menit. Di ruang musik, tak ada sosok satu pun yang ku temui. Aku berniat menghubungi Jingga via WA. Tapi sebelum ku lakukan, ada tangan yang memegang bahuku, sama seperti kejadian pada saat PLS kurang lebih satu tahun lalu. Dia adalah Jingga, entah datang dari mana. Ia memberiku sebungkus batagor kesukaanku.

"Ini makan dulu, saya tau kamu langsung ke sini dan belum makan." Aku diam mematung mendengar penuturan Jingga.

"Hah?"

"Gak suka?"

"Suka, suka, makasih ya Ga." Aku langsung merebut batagor itu sebelum Jingga berubah menjadi es lagi.

"Kamu bisa main alat musik?"

"Bisa." Aku menjawab sembari memakan batagor pemberian Jingga.

"Bisa main apa?"

"Biola bisa, piano bisa, gitar juga bisa."

"Bagus kalo gitu, ya udah sekarang ke kelas dulu. Nanti sepulang sekolah baru latihan."

"Apa?" Aku kesal, ternyata dia hanya bertanya bukan untuk latihan. Padahal aku sudah merelakan perut ku meronta-ronta sedari pagi. Lalu, dia pergi dengan senyum kemenangan. Aku melangkah lesu, ini sudah lebih dari 15 menit aku meninggalkan kelas dan pasti sudah ada guru di kelas.

"Permisi, maaf Pak saya telat tadi habis ke ruang musik." Benar dugaan ku sekarang Pak Indro sudah ada di kelas. Meski sudah tidak ada KBM tapi beliau masuk untuk menertibkan murid-murid.

"Sore, dari mana?" Pak Indro masih memanggilku Sore.

"Kan tadi sudah saya jelaskan Pak." Pak Indro juga masih sama, terkadang suka susah nyambung.

"Kamu ngelawan?"

"Tidak Pak, saya dari ruang musik."

"Habis ngapain?"

"Eeeee....emmm...mhh." Aku sendiri bingung mau menjawab apa.

"Lebih baik kamu keluar kelas, saya gak mau menertibkan anak yang kaya kamu." Hmm, membuatku emosi ini-batinku.

"Baik Pak."

"Eh tunggu, tolong panggilin Slamet anak Bahasa ya."

"Jingga maksud bapak?"

"Pinter kamu."

Aku hanya bisa pasrah menghadapi Pak Indro. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya kenapa di hari bebas pembelajaran, Pak Indro masih masuk ke kelasku.

"Kak, Jingga ada? Bisa minta tolong panggilin?"

"Jingga!!!" Seorang yang entah namanya itu tiba-tiba ngegas.

"Ada apa?" Jingga keluar sembari mengunyah makanan.

"Kamu dicariin Pak Indro di kelas saya, sekarang." Tanpa menjawab apa pun, Jingga menerobos diriku.

JINGGANYA SENJA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang