JS 22: Dingin tapi Ingin

172 45 12
                                    

Malam yang indah tidak melulu mengenai rembulan, siang yang cerah tidak selalu karena cahaya terang, pagi yang sejuk tidak harus diiringi embun yang merasuk. Sama halnya rasa, suka belum tentu sama.

•••

"Masuk aja."

Aku mengerahkan kedua bola mataku ke sekeliling rumah Jingga, halamannya luas, rumahnya besar tapi bergaya sederhana. Gemercik air di kolam ikan depan rumah ikut menyambut ku ramai. Aku mulai memasuki rumah tersebut. Dindingnya yang terbuat dari kayu jati tidak memunculkan kata kuno, gaya rumah Joglo di tengah kota yang hingar-bingar akan kemewahan ini sangat unik dipandang. Tenang dan sejuk yang ku rasakan, rimbun pohon di halaman membuat udara semakin bergelayut bersama daun yang tak kuat menahan angin dingin. Sederhana, satu kata yang bisa aku ungkap mengenai Jingga dan rumahnya.

"Kenapa? Rumah saya jelek ya?"

"Enggak, justru rumah kamu unik."

"Unik?"

"Kamu masih mempertahankan gaya tradisional di tengah modernisasi zaman sekarang."

"Eh ada Senja." Suara wanita yang tak asing lagi di telingaku.

"Kak Aura apa kabar?" Tanpa adanya koordinasi, dengan otomatis kami saling berpelukan. Setelah pertemuan kami di pasar malam beberapa bulan lalu, dan saat inilah kita bertemu lagi.

"Baik, lah lo gimana?"

"Baik juga kak."

"Ekhem." Jingga rupanya tak tahan melihat kemesraan kami.

"Yuk katanya mau makan." Jingga asal ceplos.

"Jingga gak sopan ya." Aura juga bisa ngegas dong, aku menyambut dengan tawa kecil.

"Apa mau solat dulu? Udah adzan nih." Jingga memberiku mukena yang tadi ia ambil di kamar Aura.

"Iya solat dulu sana kalian berdua, gue mah lagi ada tamu." Aku paham maksud Aura.

Aku melangkah ke arah kamar mandi untuk berwudhu, sepertinya Jingga sudah mulai solat. Aku beranjak ke sebuah ruangan yang dijadikan tempat beribadah.

"Heh, ngapain bengong?" Rupanya Jingga baru selesai melaksanakan solat sunah.

"Biar saya jadi imam kamu." ucapan Jingga kali ini membuatku terkejut.

"Apa??"

"Gak mau berjamaah?" Rupanya aku salah faham dengan Jingga. Aku hanya membalas dengan mengangguk.

"Allahu Akbar..."

Tiga rakaat sudah kami gugurkan, aku mulai berdoa, sedangkan Jingga masih bersahabat dengan tasbihnya. Setelah ku lihat sejenak, wajahnya menampakkan sendu seperti meminta harapan dengan berpasrah kepada Tuhan. Jingga masih menjadi rahasia hati, terkadang dingin tapi terkadang juga membuat ingin.

Aku menunggu Jingga keluar dari ruangan.

"Yuk." Akhirnya setelah menunggu tidak lama ia keluar juga.

"Kemana?"

Seperti biasa, pertanyaan tak dijawab. Aku mengikuti langkahnya.

"Duduk." Perintahnya.

"Yuk, Senja ikut makan." Aura keluar dari dapur sembari membawa makanan.

"Iya kak makasih."

"Jangan sungkan ya."

"Biasa malu-maluin dia." Seperti tanpa dosa, Jingga berucap seenaknya.

Aku balas dengan tatapan tajam, kamu memulai aksi menghabiskan makanan. Tetapi masih ada satu pertanyaan yang buatku merasa aneh.
Seusai makan, aku membantu membawa piring-piring kotor ke dapur.

"Biar Kakak aja yang nyuci."

"Biar saya bantu kak."

"Gak usah, kamu temuin Jingga sana."

"Iya kak."

Malam terasa semakin dingin di rumah Jingga yang sunyi, aku merasa seperti ada yang hilang. Bukan kehangatan, tetapi mataharinya. Jingga tengah asik membaca novel, mata tajamnya tak menghiraukan sekelilingnya.

"Jingga."

"Eh, udah? Mau pulang?"

"Iya nih, saya takut kemalaman."

"Saya antar."

"Kak Aura, Senja mau pulang nih." Jingga tak jauh beda dari Ben, sama-sama suka teriak.

"Jangan pulang dulu, temenin kakak aja di sini."

"Makasih kak, ini udah malam."

"Ya udah, lain kali main lagi."

"Iya, makasih ya kak masakannya."

"Sama-sama, kalian hati-hati."

Kaki kami keluar dari ruangan berdinding kayu, seperti biasa aku mengikuti Jingga.

"Kita jalan kaki nih?" Tanya ku.

"Kenapa? Kamu gak mau?"

"Bukannya kamu punya motor ya?"

"Ada, tapi saya gak mau boncengan sama kamu." Pernyataan yang menusuk tulang.

"Siapa juga yang mau diantar kamu."

"Ya udah saya pulang." Tanpa mendengar kelanjutan ucapanku,  Jingga berbalik kanan dan melangkah pulang.

"Hei. Saya gak tau jalan pulang."

Jingga berbalik arah, dan menatap ke arah ku. "Dasar cewek aneh."

"Siapa yang aneh??"

"Yang cewek saya apa kamu?"

Aku tak bisa berkata apa-apa kalau udah berurusan sama Jingga. Malam semakin sunyi dan dingin, untungnya aku bawa jaket sendiri. Karena tidak mungkin Jingga memberikan jaket untukku, dia sendiri cuma paket kaos. Deru angin semakin memburu, seperti mendorong agar kami berbincang.

"Gimana musikalisasi puisinya?"

"Bahas besok aja." Selalu dingin, seperti bukan manusia.

Seperti biasa, hanya ada bunyi jangkrik yang membersamai perjalanan kaki kami. Mereka seolah bermain sebagai pengganti suara. Kami hanya lakon yang lalu lalang, tanpa berkata atau pun berrasa.

"Jingga boleh nanya gak?" Rasanya aku yang selalu memulai pembicaraan.

"Hmm." Tandanya iya.

"Di rumah, kamu cuma berdua?"

"Iya."

"Terus mama sama ayah kamu?"

"Orang tua kami sudah meninggal."

"Innalilahi wa innailaihi raji'un, maaf ya Ga saya nggak tau."

"Iya santai aja sama saya." Gimana mau santai, wong masnya dingin beku kaku gitu-batinku.

Langkah kaki kami berhenti di gang senggol dekat kost ku.

"Saya antar kamu sampai sini ya?

"Iya gapapa, makasih ya."

"Buat apa?"

"Buat semuanya."

"Jangan mudah bilang makasih."

"Kenapa?"

"Nanti kalau saya jawab sama-sama, bingung cari topik pembicaraan lain."

Aku tertawa mendengar jawaban Jingga.

"Yaelah, udah sana."

"Iya." Ia melangkah meninggalkanku.

Tak ada hal manis malam ini, yang terpenting bulan selalu setia menemani bumi dengan segala keanehannya.

•••

Jangan lupa komen di bawah, pencet tombol votenya, follow aku supaya nggak ketinggalan informasi selanjutnya, dan share ke teman-teman juga.

Find me on:
IG: @julfabella
Twitter:  @kotabulan

Tag aku jika kalian menggunakan kutipan dari karyaku. Aku minta bantuan kalian agar cerita ini berkembang. Terima kasih sudah berkenan baca.

JINGGANYA SENJA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang