Agung berdiri tercengang memperhatikan kondisi Dion yang memprihatinkan. Tubuhnya sangat kurus. Tinggal tulang berbalut kulit. Rambutnya hilang sebagian nyaris botak. Wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup. Napasnya kembang kempis. Lemas dan melemah. Bagai baterai ponsel yang kehabisan daya. Dion sudah sangat berbeda. Keberadaannya antara hidup dan mati. Siapa pun yang memandangnya pasti akan merasa terenyuh.
"Dion ..." Suara Agung gemetar memanggil namanya.
Seketika itu Dion menoreh ke arah Agung. Wajah pucatnya tampak semringah memandang laki-laki gagah itu berada di depannya.
"Agung ... Apakah itu elo ..." ucap Dion pelan. Dia masih tak percaya ada makhluk lelaki yang dicintainya hadir di hadapannya.
Dion berusaha bangkit dari tempat duduknya, tetapi seketika itu Agung mencegahnya.
"Jangan berdiri Dion. Biar gue yang menghampiri lo!"
Agung berjalan menghampiri Dion.
"Mau apa lo kemari, Gung ... Gue gak mau lo lihat gue dalam keadaan seperti ini," ucap Dion sambil menangis tersedu-sedu.
"Dion ...!" Agung mendekati tubuh Dion dan memeluknya dengan sangat erat.
"Maafkan gue, Dion ... Gue gak tahu kalau lo sedang sakit serius seperti ini. Harusnya gue tidak mengusir lo dan memukuli lo. Gue benar-benar sangat menyesal Dion."
"Lo gak Salah kok, Gung ... Gue yang salah mengapa gue Gay dan mengapa pula jatuh cinta sama lo. Gue emang hina ... Dan kini Tuhan telah menghukum gue. Agung ... Sebelum gue pergi untuk selamanya, gue mohon maafkanlah gue ...."
"Tidak, Yon ... Lo jangan bilang seperti itu. Lo tidak boleh menyerah. Lo harus sembuh, Yon!"
Dion hanya tersenyum lesu. Matanya meredup dalam pelukan Agung.
"Berjanjilah pada gue ... Bahwa lo harus sembuh. Setelah lo sembuh gue mau jemput lo dan kita pulang bareng ke kosan kita. Kita tinggal bersama lagi. Lo mau kan?"
Dion mengangguk perlahan. Tubuhnya sudah sangat lemah.
"Dion ... Lo tahu tidak, kalau gue tuh sangat merindukan lo. Gue kangen ocean lo. Gak boleh gini, gak boleh gitu ..."
Dion bergeming. Sedikitpun tak bergerak.
"Dion ... Kenapa lo diam saja? Biasanya lo banyak omong. Lo mau kan maafin gue dan tinggal sekamar lagi sama gue?"
Dion tetap diam.
"Dion ... Ngomong dong! Jangan diam aja!" Agung menggerak-gerakan tubuh Dion. Namun, Dion tetap membisu dan mematung.
"Dion ..." Agung melepaskan pelukannya dari tubuh Dion. Kemudian dia memperhatikan sahabatnya itu yang sudah terpejam dengan kondisi darah segar keluar dari lubang hidungnya.
"Dion ... Bangun Dion! Lo jangan Diam Aja!" Agung menepuk-nepuk pipi Dion. Akan tetapi tak ada reaksi sedikitpun dari Dion. Tubuh Dion sudah seperti daun layu.
"Dion ... Bicaralah, lo kagak boleh kayak gini! Hahaha ... Lo mau ngerjain gue ya? Nggak lucu sama sekali tahu!"
Dion senyap.
"Dion ... Bangun! Kita seru-seruan lagi yuk!"
" Dion ..." Agung memeriksa hidung Dion. Dan saat itu, dia baru tahu kalau Dion sudah tak bernapas lagi.
"Dioooooonnnn ....!!!" Teriak Agung merontah-rontah sambil menangis lantang.
Dion meninggal dalam pelukan Agung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Sang Perantau
Short StoryCatatan ringan seorang pria yang hidup di Jakarta.