"Assalamualaikum!"
Terdengar ucapan salam dari balik pintu kamar kost-ku.
"Wa'alaikum salam," balasku sambil membuka pintunya.
"Hai, De!" sapa seorang cowok yang sudah sangat familiar di mataku.
"Mas Tono ... kamu ternyata," sahutku.
"Lagi apa kamu, De?" tanya Mas Tono seraya masuk ke kamar kosanku dan duduk di lantai.
"Biasa, Mas ... aku lagi menyetrika baju," jawabku.
"Ooh ... gitu," ujar Mas Tono sambil memperlihatkan seluruh ruangan seolah dia mencari sesuatu.
"Kamu tidak ada rujakan, De, biasanya kamu beli rujakan."
"Tidak, Mas ... soalnya tukang rujaknya tidak jualan," jawabku sambil melanjutkan setrikaanku.
"Tidak ada makanan, De?"
"Mas Tono lapar, ya?"
"Tidak juga, sih ... pengen ngemil aja."
"Ngemil terus, tidak lihat tuh perut udah kayak orang hamil?"
Mas Tono cuma terkekeh.
"Ada pudding tuh, Mas, semalam Herio bikin pudding," ujarku sambil menunjukkan sebuah wadah.
"Wah ... pudding mau dong!"
"Tuh di situ, Mas!" Aku menunjukkan lagi, Mas Tono segera mengambil wadah itu dan langsung membukanya.
"Aku boleh memakannya, kan De?"
"Iya silakan makan aja!"
Mas Tono langsung memakan puddingnya dengan lahap. Aku hanya tersenyum dan terus mengerjakan pekerjaanku untuk merapikan pakaian-pakaianku.
"Gimana, Mas ... enak tidak puddingnya?" tanyaku.
"Wow ... enak, De, kenyal dan empuk cuma kurang manis, De."
"Masa' seeh, Mas?"
"Iya."
"Coba deh, Mas Tono makan puddingnya sambil ngelihatin aku, pasti akan berasa lebih manis."
Mas Tono jadi terkekeh.
"De ... puddingnya tidak apa-apa, 'kan Mas Tono habisin?"
"Iya, Mas, tidak apa-apa, habiskan aja!"
"Thanks, De!"
Setelah menghabiskan puddingnya Mas Tono kembali duduk di teras. Dia membantuku melipat pakaian yang sudah aku setrika.
"Makanya, De ... Kamu cari istri, biar ada yang membantu pekerjaan-pekerjaan seperti ini," kata Mas Tono dengan nada pelan, tetapi cukup memukul perasaanku. Aku tahu Mas Tono hanya bercanda.
"Herio sebenarnya pengen punya istri juga, Mas, tapi Herio tidak tahu apakah ada seorang wanita yang suka sama Herio?"
"De ... kamu tuh ganteng dan manis, Mas Tono yakin kok, pasti ada cewek yang suka sama kamu, De?"
"Tapi, Mas ... aku masih tidak percaya diri untuk mendekati cewek, dan sepertinya mereka tidak menyukai aku."
"Aah ... itu mah perasaan kamu aja, De...."
"Iya, Mas ... tidak ada cewek yang mau mendekati aku, tapi malah kebanyakan cowok yang mendekati aku dan suka padaku."
"Hahahaha..." Lagi-lagi Mas Tono terkekeh, nadanya seperti mengejek. Namun aku cuek.
"Ah ... Mas Tono malah menertawakan aku!"
Mas Tono memegang pundakku dan mengusapnya perlahan-lahan.
"Kamu tuh terlalu manis, De ... makanya banyak cowok yang suka sama kamu...."
"Iih, Mas Tono bisa aja!"
"Serius, De ... Kamu tuh manis, kalau kamu cewek udah Mas Tono lamar, deh!"
"Dasar, Mas Tono ... suka ngegombal main lamar-lamar aja ... ingat sama istri di rumah Mas!"
"'Kan istri Mas Tono tidak ada di rumah, De...."
"Lha .. emang istri Mas Tono ke mana?"
"Lagi mudik, De...."
"Mudik? Dalam rangka apa, Mas, kok istri Mas mudik?"
"Kan istri Mas Tono lagi hamil, dia mau melahirkan di kampung biar ibunya bisa bantu ngurusin pas melahirkan nanti."
"Oh, gitu, ya ..."
"Iya, De ... makanya Mas Tono lagi kesepian banget, nih."
"Kesepian kenapa, Mas?" tanyaku.
Mas Tono tidak menjawab, dia hanya memeluk tubuhku dari belakang.
"Iya, kesepian aja, De... tidak ada yang diajak ngobrol."
"Ooh kirain kesepian apa, Mas."
"Apa sih, De?"
Aku tersenyum simpul dan merasakan dekapan Mas Tono yang cukup hangat. Dia menyandarkan kepalanya di punggungku. Dia memang terkadang sikapnya lebih manja daripada aku, padahal usianya jauh lebih tua dan dia juga sudah memiliki seorang istri. Akan tetapi, entahlah setiap dia main ke tempatku dia selalu bermanja ria.
"De ... Mas Tono boleh minta tolong, nggak?"
"Minta tolong apa sih, Mas?"
"Best, De ...."
"Apa sih, Mas Tono?"
"Tolong cukurin jembut Mas Tono, dong!" bisik Mas Tono di kupingku dan itu membuatku jadi tertawa geli.
"Ayo, De ... bantuin Mas Tono, jembut Mas Tono sudah gondrong, nih!"
"Emang istri Mas Tono tidak mau nyukurin rambut di kemaluan Mas Tono?"
"Tidak, De ... kamu aja ya, yang bantuin nyukurin!"
"Iya, dah ... Buruan buka celana Mas Tono!" perintahku, dan Mas Tono segera berdiri, lalu mulai melorotkan celananya.
Aku mengambil sebuah gunting dan selembar koran bekas, sementara Mas Tono sudah melucuti celananya dan menampakan alat vitalnya yang masih lemes.
Aku meletakkan kertas koran di atas lantai tepat di bawah Mas Tono berdiri, lalu aku jongkok dan menghadap ke arah benda keperkasaan Mas Tono yang menggantung kokoh seperti buah jambu yang menempel di tangkai pohon. Rambut kemaluannya memang tampak begitu lebat laksana hutan rimba yang rimbun dan tak terawat. Sebelum aku mencukurnya aku menatap wajah Mas Tono.
Dan lelaki bertubuh kekar ini tersenyum manis, lalu tanpa komando aku mulai memegang rambut-rambut liar yang menghiasi perkakas pribadinya itu. Perlahan aku mencukur jembutnya.
Dengan telaten aku mencukur jembut Mas Tono sehelai demi helai hingga rambut-rambut yang tumbuh di organ vitalnya itu tampak rapi dan lebih menggoda.
Sesekali aku memegangi benda kelelakian Mas Tono ini dengan lembut hingga benda yang terkulai lemas itu mendadak terbangun dan mengeras seperti mentimun yang baru dipetik. Tampak segar, hidup, dan berdenyut-denyut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Sang Perantau
Cerita PendekCatatan ringan seorang pria yang hidup di Jakarta.