Suatu ketika ada sebuah DM (direct message) di akun instagram-ku, seseorang bernama Surya mengirimkan suatu pesan yang cukup membuatku tersentuh. Dia menceritakan kisah hidupnya yang sangat dramatis dan beruraian penuh dengan air mata. Dia pria biasa yang lahir dari keluarga yang bercukupan namun dia memiliki sisi yang terdengar miris dan menyayat hati. Sebagai seorang pria dia dianggap terlalu lembek dan kelewat kemayu sehingga banyak orang yang memandangnya sebelah mata dan mengolok-olok dirinya dengan sebutan Bencong!
Sejak kecil dia sudah terbiasa mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari teman teman nya. Dia di-bully dengan kata-kata yang sangat menyakitkan bagi hatinya. Dia kala itu, tak mampu melawan dan hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Tiada hari tanpa air mata yang berlinangan membasahi pipi kecilnya yang mungil.
Dia merasa hina dan tidak memiliki banyak teman, tapi suatu hal yang bisa membuatnya bertahan dan tegar menghadapi itu semua adalah Kasih sayang dari keluarganya, hingga dia mampu melewati kesedihan itu.
Surya kini berusia 30 tahun. Dia adalah lulusan S2 dari Universitas ternama di kotanya.
Sekarang lelaki yang memiliki wajah lumayan ganteng itu bekerja di sebuah Bank terkemuka di daerah ibukota Jakarta .
Namun kedewasaan ternyata tidak bisa merubah sikap dan perilakunya yang masih seperti perempuan. Baik gesture tubuh maupun cara jalannya masih tetap nampak kemayu sehingga dia kerap di-bully dan jadi bahan ejekan oleh rekan-rekan kerja nya. Kembali dia menangis dan merenungi nasibnya yang kurang beruntung.
Dia bersedih atas apa yang dilakukan oleh rekan kerjanya, tapi dia juga tidak bisa menampik dan membohongi dirinya sendiri bahwa dia memang seorang penyuka sesama jenis alias Gay .
Meskipun dia berusaha menutupi jatidirinya dengan rapat namun dia tetap tak bisa menghindari label Maho dalam dirinya yang sudah mengakar pada perilakunya sehari-hari.
Hanya teman-teman dunia Maya-nya yang tahu kalau dia adalah pelaku jeruk minum jeruk, keluarga dan teman kerjanya sebisa mungkin jangan sampai ada yang tahu tentang dia.
Demi menutupi anggapan miring rekan kerjanya dan juga memenuhi desakan dari orang tuanya yang menganggap sudah cukup umur. Akhirnya Surya menikahi seorang wanita yang merupakan teman sepupunya sendiri, tapi dari pernikahan itu justru menjadi sebuah dilema bagi dirinya. Bukan kebahagiaan, tapi malah mendapat penderitaan baru dalam hidupnya. Karena dia tak bisa memberikan nafkah batin buat istrinya, dia sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk bercinta dengan seorang wanita yang notabene sudah menjadi istrinya.
Surya menangis karena tak mampu memberikan istrinya sebuah kewajiban yang seharusnya diberikan oleh seorang suami.
Jangankan bersetubuh dengan istrinya, menyentuh dan memandangnya pun dia merasa jijik.
Jadi hingga kini wanita yg dinikahinya itu belum pernah diapa-apain oleh Surya.
Dia terpaksa berbohong pada istrinya kalau dia menderita impoten, karena dia tak mungkin berkata jujur kalau dia sebenarnya seorang lelaki homoseksual.
Dia merasa Tuhan tidak adil terhadap dirinya, dan dia menjadi depresi.
Dia tidak tahu apa yang musti dia lakukan, dia bingung dan tak bisa berbuat banyak.
Lagi lagi dia menangis dan mengadu pada Tuhan, mengapa harus dia yang menerima nasib yang sepedih itu.
Jujur, mendengar ceritanya aku juga merasa sedih dan tak tahu harus bagaimana untuk bisa membantu meringankan beban pikirannya.
Karena sesungguhnya apa yang dialami oleh Surya pada dasarnya hampir serupa dengan apa yang kita alami. Terlahir menjadi Seorang Gay itu bukan keinginan kita, tapi ini adalah bagian skenario Tuhan. Mampukah kita bisa merubah skenario itu?