Langit mendung di kala senja. Mengiringi jasad pria yang tiba di rumah duka. Seketika itu tangis haru seorang wanita pecah menjejaki kedua pipinya. Tatapannya hampa memandang jenazah yang terbujur kaku di hadapannya. Mayat pria itu suaminya. Laki-laki yang menyuntingnya dua tahun silam. Laki-laki yang memberikan segenap kasih sayang tulus kepadanya. Laki-laki yang menjadikan ia seorang wanita seutuhnya. Menjadi ibu dari anak-anaknya.
Air mata wanita itu tak henti bercucuran. Seperti rinai air hujan yang membasahi kaca. Suaminya pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan pilu yang menganga. Meninggalkan kenangan syahdu antara dia dan dirinya.
Wanita berkerudung hitam ini bergeming. Pikirannya berlabuh pada hari kemarin. Saat suaminya masih memberikan senyuman yang meneduhkan batin. Saat bibirnya berceloteh tentang mimpi yang tergantung di dinding. Saat mereka berhadapan seperti cermin. Saling memandang. Saling menekuri tubuh mereka masing-masing.
''Bunda ...'' tutur Sang Suami dengan suara yang lembut. Seperti seruling Sunda. Menenangkan sekaligus menghanyutkan.
Wanita itu melepas satu senyuman. Merasakan hangatnya tangkupan kedua telapak tangan laki-laki yang sangat dicintainya itu.
''Sebelum Ayah pergi, apa permintaan Bunda?''
''Bunda tidak minta apa-apa, Yah ... segera kembalilah, karena Bunda tak sanggup berpisah terlalu lama.''
''Baiklah, Ayah pasti akan segera kembali. Menemui Bunda dan anak-anak.'' Sang Suami mengecup kening dan bibir Sang Istri. Mesra. Kemudian memeluknya dengan erat. Sangat erat. Seolah tak ingin terpisahkan.
Dan tak lama kemudian, Sang Suami pergi bersama rombongan teman-temannya. Mencari nafkah di luar kota. Dia pergi dengan senyuman semringah. Menampakan rona wajah yang bahagia. Tak ada firasat apa pun. Hingga sebuah kabar menyatakan ombak tsunami yang ganas menggulung Sang Suami. Innalillahi wainailahi rojiun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Sang Perantau
Historia CortaCatatan ringan seorang pria yang hidup di Jakarta.