Jika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda?
Tentang sebuah pilihan.
Tentang pengorbanan untuk seseorang.
Tentang menolak kenyataan.
Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti.
Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Harapan hanyalah cara bertahan untuk mencintai lebih dalam.
✨✨✨
Hujan!
Vale panik setengah mati. Jika ada yang dibencinya di dunia ini hanya dua; hujan dan gelap. Meski sebagian dari teman-temannya menyukai hujan, menganggapnya romantis tapi bagi Vale itu menakutkan. Jika orang lain menganggap gelap adalah teman untuk mendamaikan hati, Vale menganggapnya sebagai kabut yang bisa menelannya hidup-hidup.
Waktu pulang sudah telat 20 menit yang lalu. Arnold meninggalkannya lagi. Fifi sudah pulang dijemput sopir tadi.
Bodoh!
Tadi mau aja diboncengi Fifi. Kan, nggak usah kejebak ujan kek gini. Terjebak di depan sekolah sendirian! Ya, tidak sendirian juga, sih. Ada beberapa murid lain, tapi mereka seolah menjaga jarak dengannya.
"Waw! Lagi nungguin pangeran, ya," sindiran tajam itu berasal dari seorang cewek di samping Vale. Vale yang melihatnya langsung berdecih. Arin, si rambut maroon tampak tersinggung.
"Ngajak berantem Lo!"
"Iya! Lo takut?" tanya Vale lebih ganas. Dia sudah berkacak pinggang dengan dagu terangkat.
"Lo mau kacamata Lo gue rusak?" tantang Arin ikut nyolot. Kebetulan sekali mereka hanya berdua. Artinya, Arin tampa babunya itu dan Vale tanpa Fifi atau Arnold. Jadi, nggak ada jaim jaiman lagi.
Vale tertawa mengejek. "Lo akan nyesel kalau ngelakuin itu," ujar Vale dengan emosi tertahan.
Mata Arin membesar. Hingga rasanya hampir keluar. "Ohhh, gue takut." Suaranya mendramatisir.
Vale mengangguk. Mencondongkan wajahnya ke depan Arin. "Copot aja!"
Ketika Arin hendak meraih ganggang kacamata Vale suara petir menyambar tiga kali. Di suara ketiga, sebuah asap hitam meledak di depannya. Vale tersentak mundur.
Kepulan asap itu berputar-putar dengan poros tengah yang mengeluarkan cahaya merah kebiruan. Api! Lalu sepasang sayap hitam berkepak pelan dikelilingi api itu. Beberapa detik terlewati, asap hitam itu membentuk tubuh seseorang dengan rambut panjang sepunggung. Dua telinganya memanjang ketara sekali dari belakang.
Ketika sosok itu berbalik, lalu seringainya tercetak jelas. Terlihat kekanakan dan menggemaskan.
"Hai." Sapaan itu sepertinya dibuat akrab, tetapi gagal.
Vale menggeleng pelan. Dadanya berdetak kencang saking terkejutnya.
"Hai, Hai," sapaan dua kali itu dilontarkan makhluk asing di depannya. Dua mata elang yang membingkai wajahnya, berwarna merah seperti darah. Bibirnya sewarna darah dengan dua taring memamerkan diri. Kulitnya pucat sekali.