Bab 17

5 1 0
                                    

"Udah aman," ujar Vale setelah menutup pintu kamar. Baru saja memastikan keberadaan mama. Vale beralasan tidak enak badan sewaktu mama mengajak makan malam di luar. Makan malam itu katanya perayaaan pangkat mama di kantor yang naik.

Hiro menggaruk tekuk. Wajah Vale yang ditekuk seperti mengacaukan harinya. "Ya udah, ayo," ajaknya bergerak cepat. Abai pada kondisi hati Vale yang tidak baik.

"Lo sendiri ah. Gue nggak mood," jawabnya malas. Malah memandangi gawainya yang redup. Menunggu pesan dari seseorang. Barangkali Arnold sudah sadar dan merasa bersalah ketika Vale berkata bahwa pertunangan mereka harus putus. Nyatanya, malam ini tidak ada apa pun yang terjadi. Seolah-olah hal itu tidak berarti.

Kembali Vale tertampar kenyataan. Ah, padahal waktu mengatakan itu, tekad Vale begitu kuat. Entah ke mana tekat itu pergi sekarang.

"Dasar bucin," sindir Hiro. Permainan katanya benar-benar tambah hebat sekarang.

Mendapat lemparan bantal yang berada di dekat Vale. Tetapi berhasil ditangkap Hiro dengan mudah. Kernyitan di dahi Hiro menghilang. "Kenapa harus nyesel sama sesuatu yang pingin lo lakuin?" tanyanya tiba-tiba. Teringat pertengkaran gadis itu dengan tunangannya. Bukannya, Hiro mengintip atau bagaimana. Dia tidak sengaja mendengarnya.

Vale kembali melempar bantal. "Dasar sok tau."

Hiro mencibir. "Udahlah. Lagian buaya kayak dia juga nggak perlu ditangisi, Vale," ucapnya tenang. Menarik Vale agar berdiri. Melanjutkan rencana mereka untuk pergi ke kamar Mama Vale.

"Berisik!" teriak Vale kencang. Menutup kedua telinganya menggunakan tangan.

Hiro tak kehabisan akal. Dia hampir melempar gawai Vale. Tetapi pemiliknya sudah berdiri dan mendorongnya hingga jatuh. Hiro meringis. Tak lama wajahnya berubah takjub. "Oh, ternyata jatuh rasanya gini, ya," ujarnya menatap lantai dan lengan kirinya yang menjadi tumpuan ketika jatuh. Matanya berbinar seolah baru kejatuhan emas saja.

Vale menggelengkan kepala. Segera menyimpan gawainya di tempat aman.

"Dasar norak," cibirnya.
Hiro berdehem. Dalam sedetik sudah beridir tegak. Wajahnya kembali serius. "Lo nggak penasaran mungkin aja lo anak pungut," ujarnya memberikan spekulasi. Sukses membuatnya mendapat geblakan di punggung. Menyembunyikan maksud tersembunyi bahwa mungkin saja Mama Vale memiliki kekuatan terlarang.

"Kurang ajar!"

"Oh, berarti udah semangat. Gue masu riset, nih. Kali aja mama Lo bisa jadi staff kemanan di istana," uajrnya mengemukakan pendapat.

Vale berjalan malas-malasan. Hati dan pikirannya masih tertuju pada masalah tadi. Satu sisi ingin pergi sedangkan sisi lain ingin tinggal. Sekarang malahan diseret untuk memenuhi rasa penasarannya Hiro. "Awas aja kalau nggak nemuin apa-apa. Darah bangsawan lo bakal gue jadiin tumbal," bisiknya di telinga Hiro.

Cowok itu cuek bebek. Malah menatap pintu cokelat polos persisi seperti pintu kamar Vale. Tidak ada yang menarik selain udara yang terasa mencekik leher. Hiro terbatuk-batuk.

"Mending lo masuk," perintahnya pada Vale.

Setelah mencibir, gadis itu menurut juga pada ucapan Hiro. Dia berjalan ke arah pintu dengan emosi tertahan. Menempatkan tangannya pada engsel pintu dan berniat membuka. Tetapi, pintunya tertahan dari dalam. Vale mencoba berkali-kali. Tetapi, sepertinya di kunci dari dalam.

Hiro memutuskan untuk mendobrak pintu. Dengan menahan rasa tercekik di leher, dipaksakan ya tubuh untuk mendorong pintu itu.

Vale melongo. "Lo kan bisa pakai kekuatan lo," ujarnya tidak habis pikir.

Hiro melebarkan mata. "Iya, ya," ujarnya baru tersadar. Segera saja dia mencari alat paling berat yang dibawakan bunda untuknya.

Ketemulah palu kecil yang memiliki kekuatan besa.r bisa menggetarkan benda yang terkena pukulannya.
Vale tertawa ngakak. "Lo mau main bengkel-bengkelan?" tanyanya mengejek.

Hiro mendengkus. "Huh. Kalo rumah lo roboh jangan nyalahin gue," ujarnya. Kemudian mengambil ancang-ancang untuk mengetuk palu itu. Belum sempat dia melakukannya, suara seseorang menginstruksi kegiatan Hiro tadi.

Vale memucat. Sedangkan Hiro buru-buru membenahi ekspresi dan sikapnya agar tidak mencurigakan.

***

Gina menatap dua orang di depannya secara bergantian. Kemudian menempatkan atensi kepada Hiro. Mencoba mengingat barangkali mereka pernah bertemu. Tapi nihil, tidak ada kenangan apa pun. "Kenapa nggak diminum?" tanyanya biasa.

Tetapi bagi Hiro yang baru saja ketahuan ingin membobol kamarnya jadi pertanyaan yang mengerikan. Dia melirik Vale yang memelototinya. Buru-buru mengambil jus lemon yang disuguhkan. Kemudian menegak isinya hingga tandas.

"Siapa nama kamu? Kenapa kalian nggak ijin mama kalau main di rumah?" tanya Gina memberondong. Tangannya menunjuk keduanya seolah tersangka.

Vale memberikan cengiran polos. "Habisnya mama katanya mau makan malem," elaknya mencari alasan.

"Mama baru keluar rumah lima menit lalu, lho. Kok bisa ada- ada... Siapa nama kamu?" tanyanya menunjuk Hiro.

Hiro tidak pernah gugup. Tetapi berhadapan dengan satu orang ini membuatnya ingin cepat-cepat kabur. Rasanya seperti berhadapan dengan Raja saja. "Hiro," jawabnya setelah mengambil napas dalam-dalam. Juga mengingat bahwa wibawanya tidak boleh luntur di hadapan manusia.

"Ah, Hiro," gumam Gina dengan hidung mengkerut. "Kapan kamu datang ke sini? Seingat saya tidak ada ornag masuk ke rumah. Selain itu, kamu sepertinya teman baru Vale. Di mana rumah kamu?—"

"Ma!" seru Vale memotong pembicaraan mama sebelum melantur ke mana-mana.

"Enggak, Vale. Mama perlu tahu siapa aja temen kamu. Lupa nasehat mama?" tanya Gina berhasil membuat Vale terdiam.

Hiro berdehem. "Maaf, Tante. Saya memang temen baru Vale, tapi kita udah deket, kok," jawabnya lancar. Buru-buru meralat karena mendapat delikan tajam dari wanita paruh baya itu. "Maksud saya, kami sering satu kelompok di sekolah. Jadi kita mau belajar kelompok," tambahnya.

Merasa bangga bisa berbohong dengan lancar. Wah, kalau raja tahu dia bisa dipengal hidup-hidup di tiang tengah kota.

"Tadi lewat mana?" tanya Gina lagi.
Membuat kedua orang tadi menahan napas kembali. Vale menepuk kepalanya. "Lewat depan lah, ma. Memangnya mau lewat mana lagi. Mungkin mama nggak lihat pas Hiro lewat," jawabnya mencoba meyakinkan mamanya.

Tak semudah itu. "Masa? Padahal, tadi mama di depan pintu lho. Belum ke mana-mana."

Hiro mincep. Andai Vale mau membuat permintaan untuk menghilangkan ingatan Tante Gina, dia bakal melakukannya. Tetapi, gadis itu tidak peka sudah dipelototi Hiro sedemikan rupa.

"Mama nggak mau kamu sembarangan bergaul. Apa yang dipikirin tunangan kamu kalau lihat kamu—"

"Dia nggk peduli," potong Vale. Kembali tidak mood lagi. Padahal, tadi dia sudah melupakannya.

"Maksud kamu?" tanya Gina tidak mengerti. Sejenak dia lupa dengan Hiro yang sudah menyelinap keluar diam-diam.

Vale mamastikan cowok itu tidak telrihat. Kemudian menyeret kakinya ke dapur. Seperti yang diharapkan, mama mengikutinya. "Vale pengin pertunangan ini dibatalin, Ma." Keyakinan dalam matanya agaknya membuat Gina terkejut.

"Nggak bisa, Vale," putusnya Final. Ada sesuatu yang lebih penting dari pertunangan ini. Yang melibatkan hutang keluarga Arnold. Tidak akan bisa digantikan oleh apa pun. Dan sebagai gantinya, pertunangan itu mengikat mereka berdua. Membuat Vale selalu berada di jangkauan Arnold. Dia begitu yakin awalnya untuk menjalankan pertunangan bodoh ini. Apalagi melihat Vale begitu menyukai Arnold. "Itu satu-satunya cara mereka membayarnya."

Ada dendam yang Vale tersirat. Matanya begitu membara ketika mengucapkan itu. "Kenapa?" tanya Vale tercekat. Vale selalu terkungkung dalam perintah mama.

"Turuti saja omongan mama, Vale. Nggak ada bantahan."

Sudah Vale duga. Terlalu lelah untuk mendesak mama. Tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Apa yang bisa dilakukan Vale selain menurut saja. Dia meninggalkan mama ke kamar. Tidak ingin terjebak dalam pikiran negatif tentang ibu kandungnya sendiri. "Semua ini untuk kebaikan lo." Dia meyakinkan diri lagi.

If, AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang