Suara ketukan dari luar. Vale menyuruh Hiro pergi dari sana. Dia membuka pintu secara terburu-buru. Dilihatnya mama berdiri dengan wajah datar. Matanya terlihat kosong.
"Ayah kamu pergi. Kita tidak bisa menemuinya."Eh? Vale menautkan alis. Detik kemudian langsung memekik senang. Lama menunggu kelanjutan omongan mama, tetapi tidak ada yang terjadi. Paruh baya itu berbalik dan turun dari tangga. Meninggalkan anaknya yang menggerutu.
"Huh? Cuma itu?" tanyanya kesal. Percuma saja mengorbankan satu permintaannya yang berharga. Mana kepalanya pusing sekali sejak Hiro mengambil darah.
Ngomong-ngomong soal darah. Vale bekum diberi penjelasan secara terperinci tentang kemungkinan yang dibicarakan Hiro. Kebetulan sekali cowok itu sudah nangkring di depan mata. Tidak perlu repot-repot mencari.
"Bukan salah gue. Emang gue tahu bakal ngomong gitu," jawab Hiro menyadari radar berbahaya. Cengirannya tampil sebelum didamprat Vale habis-habisan.
"Ya udah jelasin yang tadi," perintahnya dengan sisa-sisa emosi tertahan.
"Darah lo manis." Hiro manggut-manggut seraya berpikir keras. Memutuskan apakah harus mengatakannya atau tidak. "Ngomong-ngomong ayah lo di mana?" tanyanya mengalihkan perhatian.
Vale menggeleg. "Tau. Ikut bang jali kali," jawabnya random. Lalu terdengar teriakan Mama dari bawah. Vale cepat-cepat turun. Tidak ingin mendapat omelan lagi.
"Padahal darah kayak gitu pasti ada campuran dengan sihir?" tanya Hiro pada dirinya sendiri. Dia mengangkat bahu tak acuh. Kepalanya bisa pecah jika memikirkan asal-usul Vale. Padahal, hidupnya saja kacau, ya.
"Ah, berapa lama kita kembali, Ruby?" tanya Hiro pada angin. Karena Ruby entah pergi ke mana. Akhir-akhir ini rubah itu sering kali menghilang. Hiro menghitung permintaan uang tersisa. Senyum miringnya terbit memikirkan itu. Lalu Ruby tiba-tiba muncul di depan mata.
"Lho buku ini, kan ..."
Ini, kan buku yang dilihat Hiro di perpustakaan Raja. Ternyata di bumi juga ada, ya. Mana sama persis lagi. Keberuntungan memang selalu menempel di badan Hiro.***
"Kamu bilang mama soal pertunangan kita?"
Vale berjingkat. Dia baru saja ingin merebahkan kepalanya ke atas bangku harus mengurungkan niat. Arnold datang dengan wajah berang. Sempat menggebrak mejanya untuk mendapatkan atensi dari Vale.
"Kayaknya gue pergi aja, deh," ujar Fifi setelah menimang. Lagipula di kelas ini hanya ada mereka bertiga. Tentu saja Hiro ada, cuma dia tiduran di lantai. Jadinya tidak terlihat.
"Titip martabak!" teriak Vale santai saat melihat Fifi lari terbirit-birit.
Arnold menajam. Sedikit menganga. Dia diabaikan. Vale malah membereskan buku yang bercecer di meja. "Lho kenapa ke sini?" tanya Vale akhirnya. Wajahnya masih fokus pada susunan buku. Tidak berniat melirik Arnold sama sekali."Jangan ngalihin pembicaraan," tegur Arnold. Hembusan napasnya terdengar lelah. Cowok itu memilih duduk, tepat di depan Vale. "Mama telepon dan tanya kenapa kita bertengkar," jelasnya dengan nada lembut.
Vale memutar mata. Dia tidak memikirkan kemungkinan itu. "Gue udah bilang bakal belajar move on, kan?" tanyanya mengingatkan. Tawa hambarnya terdengar.
Sempat tergugu. Untung saja Arnold bisa menguasai diri dengan cepat. Dia mengangguk setuju. "Tapi nggak harus batalin pertunangan juga," jelasnya lembut.
Awalnya Vale yakin dia bisa menang. Bahwa Arnold akan menyadari keberadaannya. Berapa kali dia kecewa? "Suka-suka gue lah," jawabnya ketus.
"Sikap kekanakan lo ini yang bikin semua orang pergi. Nyadar nggak?" tanya Arnold hilang kesabaran. Selama ini dia selalu bersabar menghadapi Vale yang semaunya sendiri. Menahan hati dan sikap agar gadis ini tidak tersakiti. Mengabaikan perasaan sendiri. "Gue udah sabar selama ini Vale!"
Vale tercengang. Berkali-kali mendengar perkataan yang sama tetapi efeknya berbeda kali ini. Orang yang sangat dia kagumi dan andalkan. Yang dijadikan Vale sandaran mengatakan demikian. Jantungnya mencelos. "Ada lagi?" tanyanya lantang. Terdengar menantang hingga Arnomd tidak lagi menyembunyikan emosniya.
"Lo bikin semuanya jadi rumit," ucap Arnold membuang muka. Tidak ingin hilang kendali.
"Rumit? Apanya yang rumit? Kak Arnold cuma takut dimarahin Tante, kan? Tenang. Gue yang bakal bilang langsung!"
"Vale!" Urat-urat di wajah Arnold keluar. Dia menggenggam tangannya sendiri untuk meredakan amarah.
"Nggak usah ngerasa bersalah. Cukup sampe sini aja gue bodoh suka sama lo," ujar Vale dengan napas terengah-engah.
"Mungkin kalau bunda cuma marah. Tapi gue bisa kehilangan hidup gue," ujar Arnold serius. Dia berlalu setelah mengatakan itu. Tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. Membiarkan Vale bertanya-tanya di sela-sela isakan kecilnya.
Gadis itu melempar apa saja yang diraih. Menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar. Hiro berdecak kesal. Bukannya dia menguping lho, ya. Salah sendiri mereka bertengkar tidak tahu tempat. Seharusnya mencari tempat yang sepi saja. Dan, yang paling menjengkelkan adalah tangisan Vale. Dia benci sekali jika ada yang menangis.
"Kuping gue bisa rusah denger tangisan Lo," ujarnya setelah sampai di bangku Vale. Vale menatapnya sinis. Apalagi melihat Hiro berjalan menuju pintu kelas.
"Nangis aja. Gue jaga di depan," ucapnya seraya menutup pintu.
"Nangisnya dicepetin. Jangan pake loading-loading!" teriaknya lagi. Mau tak mau mengundang kekehan kecil dari Vale. Perlahan, gadis itu mengusap air matanya yang keluar. Tersadar kalau air matanya begitu berharga untuk menangisi Arnold.
KAMU SEDANG MEMBACA
If, Another
FantasyJika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda? Tentang sebuah pilihan. Tentang pengorbanan untuk seseorang. Tentang menolak kenyataan. Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti. Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...