Bab 12

34 9 35
                                    

Vale mondar-mandir dengan tangan berlipat. Matanya seperti mau menguliti cowok yang duduk di kursi berkaki tiga. Kamarnya terkunci rapat. Supaya tidak ada yang masuk. Untung saja Mama pergi membeli kebutuhan bulanan.

"Gue curiga otak lo cuma seperempat dari otak semut," ujar Vale, sadis seperti biasa.

Hiro melotot. Tidak jadi membantah. Vale terlihat ingin makan orang. Eh, dia kan bukan orang, ya. Ngapain juga takut. Mengangkat sebelah tangannya. "Emang otak semut seberapa besar?" tanyanya penasaran juga.

Vale geregetan sendiri. Matanya terpejam dan mengembuskan napas berulang-ulang. "Coba sekarang jelasin kenapa Arin jadi aneh."

Hiro ikut bersedekap. Satu kakinya bertumpu pada kaki lain. Wajah pongahnya kembali terlihat. "Gue buat dia jadi sahabat lo."

Pantas saja Arin jadi baik sekali. Bahkan, membawakan dia makanan ketika istirahat. Tidak lagi menganggu kalau lagi sama Kak Arnold. Mengajaknya pulang bersama dan mentraktir makan siang juga. Sampai Fifi heran melihat perubahan itu. Kalau dipikir-pikir lagi, itu bagus juga.

Vale berdehem. "Oke." Tangannya ditahan Hiro ketika mau pergi dari sana.

Hiro menunjuk jari Vale dengan wajah polos. Karena tidak kunjung mendapat jawaban, dia menarik tangan Vale. Menembuskan taringnya ke kulit itu.

"Akhh. Sakit!" terika Vale menggeplak kepala Hiro. Tulang-tulangnya ikut ngilu. Taring cowok itu seolah menghentikan aliran darah. Padahal, kemarin-kemarin rasanya tidak seperih ini.

Hiro tersenyum puas. Matanya berubah merah. Tidak terkendali lagi. Meski Vale mencoba mendorong kepalanya berulang kali, cowok itu seperti patung. Sulit dirubuhkan. Cowok itu baru berhenti ketika tidak ada darah yang keluar. Hilang keseimbangan dan terjungkal dengan tidak keren.

"Ini bukan acara donor darah. Seenak aja ngambil banyak-banyak," omel Vale lalu mengucap jarinya yang masih menyisakan perih. Kepalanya jadi pening.

"Lo nggak papa?" tanya Hiro mendadak serius. Tidak ada lagi cengengesan seperti tadi. Atau adu mulut tentang pentingnya jabatan Hiro di planet antah berantahnya.
Wajah Vale terlihat pucat. Kapas saja kalah. Seperti darahnya dihisap habis. Padahal, Hiro tidak ngambil banyak, kok. Yah, meski darah Vale memang harum dan langka sekali. Sebagai Calon raja yang baik, meminta darah manusia itu penghinaan namanya.

Vale menggeleng. Duduk di kasurnya sendiri. Semuanya tampak berputar.

"Jangan bohong sama calon Raja."

Percayalah! Kalau saja Vale tidak merasa ingin pinsan, sudah disumpalnya mulut itu pakai kaos kakinya tadi pagi. Bisa-bisa mengatakan hal menyebalkan itu.

Hiro mengangkat tangannya. Kemudian Ruby datang dalam sekedip mata. Dia tidak berbicara apa pun. Cukup yakin kalau mereka telepati. Sampai Ruby hilang secepat dia datang.

Tidak menunggu lama juga, rubah itu membawa dedaunan entah apa. Bentuknya aneh di mata Vale. Bentuk hati dengan tepi berwarna merah. Ruasnya bercabang-cabang. Daun hijau itu sepertinya pernah dilihat di buku tanaman langka waktu praktek biologi.

"Diem! Ini dari Afrika. Daun mahal, nih," ucap Hiro. Jika saja matanya tidak menyipit, maka Vale bakalan membantahnya habis-habisan.

Vale berdecih sebagai tanggapan. "Awas kalau gue mati. Darah gue bakal jadi racun."

Hiro berdecak. Bisa-bisanya gadis itu membalas omongannya.

Daun itu jadi serbuk ketika Vale berkedip. Dia masih takjub. Hingga bubuk-bubuk itu terbang menuju mulutnya. Dinding mulutnya terasa pahit. Terbatuk-batuk. Ajaibnya kepala Vale tidak terlalu pusing.

***

"Yakin?" tanya Hiro sangsi. Permintaan Vale kali ini agar kacamatanya bisa lepas. Mendengar cerita gadis itu tentang kacamatanya yang tidak bisa lepas terdengar mustahil. Setidaknya Vale pasti berbohong.

"Pake nanya lagi. Bukannya lo pengin cepet stok permintaan gue habis," sindir Vale.

Hiro mangut-mangut. "Cerdas! Boleh deh jadi pelayan kalau gue jadi Raja," tawarnya karena terlanjur senang.

Vale mengibaskan tangannya. Terserah, deh makhluk songong itu bilang apa. Urusannya bakal panjang kalau meladeni si narsis. Dia memerintahkan Hiro untuk segera mengabulkannya.

Sambil menahan rasa sakit karena lengannya dipukul Vale, Hiro memusatkan pikirannya. Dalam bayangannya kacamata itu terlepas dengan mudah. Tiga detik dia mencoba, tidak ada yang berubah.

Vale memutar mata. Berbanding terbalik dengan wajah serius Hiro. Dari tangan cowok itu keluar kabut hitam. Merambat di udara, menyelimuti sekitar wajahnya. Terasa cengkraman kuat. Memejamkan matanya karena kulitnya seolah dibakar. Tapi, tidak terjadi apa-apa lagi.

Hiro terlihat kewalahan. Urat-urat di wajahnya sampai terlihat. Tenaganya terkuras. Karena tangannya terasa ingin putus, Hiro mengendurkan pertahanan. Jadilah kabut asap miliknya terpental ke sembarang arah. Suara ledakan dari kaca membuat keduanya terkjut.

"Vale!" teriakan beserta gedoran itu bagai ancaman. Semakin lama semakin tidak berbeda.

"Gawat! Mama ke sini!" teriak Vale tanpa sadar. Mendorong Hiro menuju jendela tanpa perasaan.

Cowok bermata elang itu tidak sempat mengelak. Barulah ketika kusen jendela mengenai pantatnya, Hiro menghempaskan tangan Vale. Hingga gadis itu jatuh dengan wajah siap tempur.

"Vale! Buka pintunya!" Suara Mama terdengsr lebih keras. Kali ini disertai kegaduhan. Pasti sedang memerintah Bik Sumi ambil kunci cadangan.

"Sana lo pergi," usir Vale seraya berdiri. Wajahnya berubah panik.

Hiro bersedekap. "Kenapa?" tanyanya curiga. Lagian, dia belum pernah ketemu Mama Vale. Sekalian kenalan. Siapa tahu dikasih sarapan gratis seperti kucing di pinggir gang.

"Kalau tahu lo bisa dirajam," jawab Vale dengan wajah pias. Apalagi kalau mama tanya macam-macam. Mengingat Hiro terlalu jujur jadi orang, eh jadi alien. Bisa panjang cerita kalau sampai ngadu soal darah Vale yang diambil juga.

Hiro tidak kunjung pergi. Gadis itu jadi gemas sendiri. "Nanti gue beliin McD."

Mata Hiro berbinar-binar. Makanan itu selalu dibeli Vale. Tidak pernah dibagi sama Hiro. Pelit sekali memang. "Oke. Dua kantung, ya."
Vale mengangguk tanpa banyak berpikir. Pasti akan disesali kemudian hari. Memasang wajah tanpa dosa saat Mama berhasil masuk.

Wanita paruh baya itu langsung memutari ruangan. Merah mencari apa.

"Mama cari apa, sih?" tanya Vale penasaran. Dia kira bakal tanya keadaan Vale dulu.

"Kenapa kacanya bisa pecah?" tanya Mama dengan sorot mata tajam. Terdapat kecurigaan besar. Prasangka-prasangka yang memenuhi kepala.

Teringat kembali saat Vale lahir. Langit menggema. Badai turun dengan dahsyatnya. Seolah belum cukup penolakan itu, seseorang yang penting di hidup mereka harus pergi. Kenangan pahit itu digenggamnya rapat-rapat. Hingga harus hidup berdua dalam kebohongan. Bertahun-tahun menahan akibat dari kesalahan.

Segala hal terkecil tentang Vale begitu penting. Melihat putrinya baik-baik saja, mungkin dia terlalu perno. Banyak pikiran memang tidak baik.

"Tadi Vale nggak sengaja lempar pot bunga," jawab gadis itu santai. Sudah mempersiapkannya jika mama bertanya.

Tanpa mengatakan apa-apa, Mama pergi dari sana. Dari raut wajahnya sih terlihat ragu. Gadis itu mendesah lega. Untung saja Mama tidak memperpanjang masalah.

If, AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang