Vale celingukan di depan kelas. Beberapa kali harus tersenyum culas pada anak-anak yang menatapnya. Penampilannya pasti sangat berbeda hingga ada yang tersandung. Kesal juga pada reaksi Arnold yang biasa saja.
Gadis itu merasakan aura yang berbeda. Rambutnya seperti dihembus angin topan. Benar saja. Saat berbalik menemukan makhluk dunia lain yang mengendus rambutnya.
"Lo kira rambut gue daging asap?" Semprotnya kesal.
Hiro menegakkan punggung. Kepalanya meneleng. Bayangan daging asap yang mengepul membuat perutnya keroncongan. Apalagi tadi pagi nasi goreng buatan Bunda Vale menggugah selera. Dan, dia tidak mendapat sisa.
"Tau aja. Pangeran tampan ini ingin makan enak," titah Hiro dengan tangan mengarah ke Vale. Seperti yang dilakukannya ketika malas mengeluarkan kekuatan. Tinggal memerintah pelayan saja di istana.
Dengan satu tepisan yang membuat Hiro menjerit. Gadis itu tertawa pongah. "Seenak aja lo alien. Lo pikir gue babu?" Kesabarannya habis kalau menghadapi Hiro.
Vale menarik napas. Teringat nasehat Fifi untuk jadi cewek feminim. Apalagi siang ini dia mau jalan sama Arnold. Eh, nggak jalan, sih. Orang cuma ambil kacamata doang ke tempat Paman Clon.
Hiro keki dicuekin. "Ruby!" teriaknya tidak tahu tempat. Segera saja cahaya melesat ke arah Hiro. Mengejutkan anak-anak yang melewati lorong karena lengan mereka seperti disengat api.
Dalam sekejap hewan berbulu itu terbang mengelilingi Hiro. Cowok itu berlagak seperti holkay. Wajah permusuhan dengan bibir maju itu pantas sekali Vale tampar.
"Sabar, Vale. Iblis emang ada di mana-mana," gumamnya lalu melambaikan tangan ke arah Arnold.
Hiro mencebik. "Iblis? Sorry sorry to say that baby. Pesona seorang pangeran-" Dia menganga sampai kehilangan kata-kata. Gadis itu mendorong wajah tampannya seperti membuang lap kotor. Demi menghampiri Arnold yang seperti patung hidup.
"Ayuk jalan!" ajak Vale langsung memeluk lengan Arnold.
Arnold mengangguk juga meski berniat menolak. Jika mama tidak menasehatinya tentang hubungannya dengan Vale, Arnold mungkin sudah menolaknya. Betapa, pun dia mencoba memahami, Vale terlalu sulit memasuki hatinya. Terlalu jauh dari seseorang yang bisa membuatnya nyaman. Katakanlah pertunangan itu resmi. Hanya melibatkan satu perasaan saja.
Mencintai sendirian itu menyakitkan, ya? Untuk itulah Arnold bertindak hati-hati.
Hiro melotot ketika Arnold menatapnya penuh curiga. Ginjalnya tersentil. Jarinya berkedut ingin menonjok. "Gue laper Ruby? Lo juga, kan?" tanyanya. Langsung saja dibalas dengan anggukan Ruby.
"Ayo kita makan banyak."
Ruby menelengkan kepalanya. Ck, benar-benar. Apa Hiro terlalu pintar hingga ucapannya tidak bisa dimengerti siapa pun.
"Ikuti Vale sana," titahnya dengan senyum miring. Dia bergidik ketika tahu Arin melambaikan tangan dari ujung lorong. Jika gadis itu tidak berlari dengan senyum aneh, Hiro mungkin tidak akan menggunakan kecepatan larinya. Yang pasti membuatnya kelaparan berkali-kali lipat.
***
Kawasan mall di daerah Juanda tidak terlalu ramai. Di salah satu pertokoan bertingkat tiga, Vale berjalan masuk dengan menggandeng tangan Arnold. Menurut informasi Ruby, mereka tidak jadi ke toko kacamata karena tutup. Dan informasi kalau mereka mau menonton film membuat Hiro menekuk bibir. Bukan cemburu atau apa. Tiket mahal itu, kan bisa buat jatah makan Hiro.
"Kalau kekuatan gue masih ada. Gue sulap jadi uang semua," gumamnya menyimpan dendam kesumat pada toko-toko seisinya. Padahal, di Venus tidak ada uang atau semacamnya. Ternyata jika berbaur terlalu lama dengan manusia, makhluk istimewa seperti dirinya bisa terpengaruh kebiasaan atau budaya mereka.
"Apa? Kamu butuh duit?"
Hiro memutar mata. Sedari tadi diikuti oleh Arin. Kemarin-kemarin juga. Untungnya Hiro deket Vale terus. Makanya Arin jadi jengah buat mendekat. Merasa kalau Arin ketagihan diinjak saat pendaratan. Penampilan cowok itu pakai sayap memang tidak ada duanya, kalian harus mengakui itu."Jangan deket-deket. Nanti gue gatel-gatel." Hiro bergidik.
Wajah Arin jadi masam. Tapi senyumnya terbit kembali melihat wajah Hiro yang menawan. "Itu Vale!" teriaknya kontradiksi dengan raut wajahnya. Terlihat sekali kaalu dia kesal sama Vale. Apalagi ada Arnold yang semeja dengannya. Gadis itu menarik Hiro untuk bergabung dengan mereka.
Kedatangan mereka disambut rasa terkejut Vale. Berbeda dengan Arnold yang tersenyum sopan.
"Cih, munafik," gumam Hiro terang-terangan. Lantas saja mendapat pelototan dari Vale.
"Tempat kosong masih banyak. Pesanan kita banyak soalnya," sindir Vale menatap keduanya dengan tatapan mengusir.
Arin ikutan melotot. Apalagi dua cowok di depannya tidak peduli dengan ucapan itu. Menambah kadar kepercayaan diri Vale.
"Kak Arnold aja nggak keberatan kok," ujar Arin lalu menatap kakak kelasnya, meminta persetujuan.
Wajah Arnold segan untuk menegur Vale. Selain karena keras kepalanya, dia tidak ingin menambah kadar kebenciannya. Apalagi kalau sampai adu mulut.
Hiro bertindak karena jengah. Memerintah Ruby untuk menjahili Arin. Tidak butuh waktu lama, Arin belingsatan karena bulu api Ruby mengenai kulit.
"Eh! Eh!" Teriaknya melempar tasnya ke sembarang arah. Gerakan Ruby yang gesit malah membuatnya berputar-putar. Seperti orang gila saja.
Vale malah ngakak melihatnya. Megancungkan jempolnya pada Hiro. Interaksi mereka tertangkap penglihatan Arnold. Rasanya dia tidak pernah melihat Vale seakrab itu dengan seseorang, selain dirinya. Rasa penasarannya dipendam kuat-kuat.
Arin lari terbirit-biri keluar. Sukses mendapat tepuk tangan dari mereka, kecuali Arnold. Cowok itu berdehem untuk mencairkan suasana.
"Mau pesen apa?" tanyanya untuk pertama kali. Buku menu beralih ke tangan Vale. Membuat gadis itu fokus pada harga yang tersaji. "Lo nggak pergi?" tanyanya pada Hiro.
Sayangnya, cowok itu tidak peka. Masih jelalatan melihat pelayan yang membawa nampan makanan berbau harum.
Vale melirik ke samping. Heran melihat nada dingin Arnold pada Hiro. Eh, tapi cowok di depannya memang pantes dijudesin. "Iya. Lo masih di sini?"
Hiro menunding mereka berdua dengan jari. "Gue kutuk kalian bakal putus," ujarnya ngawur.
Meski konyol sekali, menilik bagaimana Hiro bisa mengabulkan permintaannya, gadis itu ngeri juga. Bagaimana kalau kejadian beneran? Belum juga mendapatkan hati Arnold udah putus duluan. Tersenyum terpaksa lalu mengangsurkan buku menu. "Nih. Pesen sepuas lo."
Hiro tertawa senang. Menunjuk hampir semua makanan yang mahal. Kutukannya memang menakutkan. Untung saja tidak bakalan terjadi. Untuk menambah efek dramatis, Hiro sampai ngintilin Vale waktu bayar pesanan. Tentu saja mendapat tendangan maut dari gadis itu.
Seolah belum cukup menderita, Arin masuk dengan rambut awut-awutan. Ada goresan-goresan di tangannya berwarna merah. Seperti habis digigit nyamuk. Ada yang gosong juga. Pasti hidupnya tadi dipertaruhkan.
Vale menghentakkan kakinya. Pasrah kenapa kecannya dengan Arnold tidak pernah berhasil. Menemukan ide waktu melihat Hiro yang melongo di tempatnya.
"Lo bikin dia nggak ganggu gue."
Hiro menelengkan kepala. "Ah. Permintaan. Siap, Makhluk rendahan," ucapnya lalu berlari ke arah Arin. Tidak perlu berpikir keras supaya penganggu itu tidak mengganggu Vale. Membayangkan darah Vale yang manis, membuatnya jadi semangat berebih.Untung saja Hiro berhasil menahan Arin. Terlihat mereka keluar bersama tanpa perlawanan berarti. Berguna juga Hiro di sini. Tapi tunggu. Kenapa Hiro masuk lagi ke kafe?
"Tapi pakaiannya berubah?" tanyanya tidak mengerti. Tidak ada pakaian sekolah. Melainkan jaket kulit serba hitam. Rambutnya juga berwarna putih perak. Dia mengerjabkan mata. Hiro sudah menghilang.
"Cuma halusinasi," ujarnya lalu menggendikkan bahu. Muka cowok itu, kan, emang pasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
If, Another
FantasyJika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda? Tentang sebuah pilihan. Tentang pengorbanan untuk seseorang. Tentang menolak kenyataan. Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti. Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...