Vale melotot. "Apa?" tanyanya. Alih-alih menyukai itu, dia merasa marah. Dipermainkan sesuka hati dengan tidak berperasaan seperti ini. Meski setitik rasa senang karena Arnold begitu berani. Kilas balik ingatannya bahwa Arnold tidak pernah menyukai menjadi tanda tanya.
Rasa penasaran itu terpendam hingga bel istirahat terdengar. Barulah Vale bertemu dengan dalang dari tatapan membunuh yang dia terima dari manapun. Seorang cowok yang dinanti kehadirannya berjalan menuju Vale. "Puas sekarang?" tanya Arnold datar.
Vale menyipitkan mata. "Lo malahan kayak ngemis saja gue," ucapnya.
Arnold melebarkan mata sesaat. "Lo bener-bener ingin mutusin pertunangan kita?" tanyanya.Jika saja ada ketulusan di mata Arnold, mungkin Vale akan mempertimbangkan keputusannya. "Keberatan?" tanya Vale memberi pertanyaan balik.
Arnold menggeleng samar. Wajahnya jadi dingin. Tatapannya teralih kepada Hiro yang anteng duduk di bangkunya. Kedua telinganya tersumbat earphone milik Vale. Arnold kenal karena mereka membeli bersama. "Nggak. Lagian lo juga bakal ada yang jagain," jawabnya lega.
Mati-matian Vale menahan air mata agar tidak mengalir. Tetapi lagi-lagi kerapuhannya ketara jika bersama Arnold. Dia mengalihkan pandang, membuang wajah ke samping. Tidak ingin amarah membutakan mata. "Mending lo pergi ..."
"Sebenernya gue juga pengin putus," ujar Arnold. Reaksi yang diberikan Vale sesuai perkiraan. Gadis itu melotot. Keterkejutannya muncul tanpa kira-kira. "Sayang lo kesayangan mama papa," tambahnya dengan senyuman sinis.
Sebentar lagi. Arnold terus melanjutkan ejekannya. Hingga Vale marah dan tidak berdaya. Setelah itu dia akan melihat sesuatu yang dipikirkannya dalam-dalam. Tentang gadis itu—
"Diem!" teriak Vale, lebih histeris dari sebelumnya. Penampilannya kacau. Bekas air mata yang belum mengering, kembali terjejak dengan air mata yang baru.
"Kalau bukan karena orangtua gue, gue udah mutusin tanpa lo minta. Walupun udah muak sama semuanya. Seenggaknya kalau sama lo, gue bisa foya-foya, kan?" tanya Arnold.
Kata-kata yang luar biasa. Hiro yang menguping sampai bertepuk tangan. Sayangnya kehadirannya tidak dihiraukan dua orang itu. Tapi serius, deh. Dia seperti tidak melihat Arnold yang asli. Maksudnya, cowok itu kelewat sabar, mampu mengontrol emosi dan terlihat menyukai Vale meski tertutupi gengsi. Berkebalikan dengan ucapannya tadi.
"Pergi!"
"Denger. Gue nggak pernah—"
"Pergi!" Vale berkata lantang. Kedua tangannya menutup telinga. Tidak ingin mendengar omongan Arnold lebih banyak. Tak hanya itu, warna matanya berubah merah menyala.
"Gue nggak pernah suka sama lo," ujar Arnold setelah itu dia berdiri. Menepuk kedua tangannya santai. Senyum mengejeknya sedari tadi tidak pernah beranjak. Tatapannya jatuh kepad Hiro setelah merasa bagian pipi kanannya panas. Tak berbeda jauh, Hiro menatap kearahnya dengan pandangan menusuk.
"Sampai ketemu lagi, Vale." Arnodl sengaja membuat suaranya menyebalkan agar Vale marah. Dia ingn membuktikan ucapan orangtuanya tentang Vale, "dia akan berubah menyeramkan jika kamu tinggalkan, Arnold."
Setelah mendapatkan alasan itu, meski dia harus merayu secara mati-matian.
"Seenak aja lo pergi."
Arnold melotot mendengar nada penuh kemarahan itu. Ada aura intimidasi yang membuat tenggorokannya tercekat. Berpikir kalau lehernya dicengkeram tangan Vale harus terpatahkan. Nyatanya gadis itu hanya mengarahkan tangannya ke arah Arnold. Tidak mampu berkata-kata melihat mata Vale berubah-ubah dari warna asli menjadi merah menyala.Tawa Vale membahana. "Tatap mata gue," perintahnya tanpa bisa dibantah.
Hiro yang daritadi terpesona dengan warna mata Vale, menggelengkan kepala. Kesadarannya muncul. Bisa-bisanya dia kagum warna mata pasaran yang berwarna merah sempurna. "Jangan ditatap!" seru Hiro cepat. Dia menutup mulut sendiri. Raut terkejutnya tidak bisa disembunyikan.
Vale tidak menghiraukan. "Tatap gue," perintahnya sekali lagi.
Seolah magnet, Arnold merasakan daya tarik kuat dari sana. Kepalanya bergerak sendiri untuk mendongak. Dipejamkan matanya kuat-kuat. Seperti melawan gravitasi, Arnold mengerahkan sekuat tenaga. Untung saja tak beberapa lama Hiro datang hingga leher Arnold terbebas. Cowok itu terbatuk-batuk. Segera menuruti perintah Hiro agar pergi dari sana.
"Kabur aja. Gue bakal nemuin lo," ujar Vale dengan suara berat. Matanya mengekori langkah Arnold yang tunggang langgang. Dia mendelik ketika tangannya dicekal oleh Arnold. Dia berontak tetapi berhasil dicegah oleh cowok itu.
"Ini wujud lo sebenarnya," ejek Hiro dengan mata mengerjap polos. Ah dia baru ingat kenapa bisa kenal dengan mata menyala ini. Karena mengingat dengan salah satu monster di dunianya sendiri. Konon siapa pun yang melihatnya bisa langsung hancur menjadi debu. Hiro baru tahu kenapa kacamata Vale bisa pecah sekarang.
Senyum culasnya terbit. "Dasar pangeran bodoh!" seru Vale dengan nada angkuh.
Matanya melotot hingga serasa hampir keluar dari sarangnya. "Wah, mulut lo emang bener-bener," ujar Hiro seraya geleng-geleng kepala.
"Bentar lagi ayah juga ngehancurin istana lo. Siap-siap aja."
Hiro memijit pelipis. Perkataan Vale semakin ngawur saja. Meski dia bergidik memikirkan kemungkinan itu bisa benar, tetapi siapa juga yang menjamin omongan itu benar. "Gue cincang kalau masih ngomong. Mana Vale yang asli?" tanyanya serius.
Vale tertawa terbahak. Bahkan bertepuk tangan lebih dahulu seolah gertakan Hiro tadi lelucon. "Ayo bawa gue ke Venus!" Vale mengulurkan dua tangannya seperti tawanan yang menyerahkan diri.
Hiro berdecak kesal. Alih-alih menuruti permintaan Vale, cowok itu malahan menyeretnya keluar dari kelas. Bisa berbahaya jika ada yang melihat keadaan cewek ini. Apalagi bel istirahat sudah berakhir. Cowok mengembusnkan napas. Dia bingung harus mengamankan Vale ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
If, Another
FantasyJika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda? Tentang sebuah pilihan. Tentang pengorbanan untuk seseorang. Tentang menolak kenyataan. Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti. Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...