"Gue boleh duduk sini?" Pertanyaan dengan nada halus itu mengalihkan atensi Vale dan Fifi. Menyadari siapa yang datang, keduanya melongo. Tidak menyangka kalau seorang gadis populer di sekolah bakalan menyapa. Bukan apa-apa sih sebenarnya, jika bukan—
"Duduk aja, ay," sahutan itu berasal dari belakang. Siapa lagi kalau bukan dari tunangan Vale. Cowok itu duduk di depan Vale. Diikuti dengan si gadis yang masih tersenyum sungkan.
"Maaf, ya ganggu. Soalnya pada penuh," ujar Vanya menyadari tatapan tajam dari Vale.
"Oh, ngerasa ganggu ternyata. Udah tau masih aja ke sini," ujarnya santai. Tak berselang lama Arnold berseru pelan. Menginterupsi ucapannya tadi. Vale menulikan telinga.
"Nggak ganggu, kok, Kak." Fifi menyenggol perut Vale agar tau diri. Tentu saja diabaikan.
Untuk apa harus sungkan-sungkan jika kenyatannya memang terganggu. Bukan Vale sekali kalau pura-pura sok baik. Tidak seperti gadis yang curi-curi pandang di depannya. Selera makannya sudah hilang sekarang. "Vale udah selesai. Ayo, Fi, pergi," ajaknya menyeret Fifi yang menggerutu karena makanannya masih tersisa banyak.
Setelah dipelototi Vale, barulah Fifi beranjak dengan senyum terpaksa. Ketika melewati Arnold, pergelangan tangan Vale ditahan.
"Belum abis udah mau pergi?" tanya Arnold. Wajahnya terlihat tidak suka. Dilihat dari kedua alis yang menyatu.
"Udah kenyang," jawab Vale singkat. Tidak berniat melirik tunangannya. Biar cowok itu sadar kalau Vale sedang marah. "Lagian liat kalian malah bikin pengin muntah," tambahnya dengan cengiran tak berdosa.
"Vale!" teriak Arnold pelan.
Vale menampilkan senyum semakin lebar. Matanya sampai menyipit. Dia tahu sikapnya memang kurang ajar. Itu memang tujuannya. Supaya Arnold marah besar. Mungkin juga akan memarahinya panjang lebar."Gue bisa pergi kalau lo keganggu," ucap Vanya sembari mengangkat mangkoknya. Tetapi lengannya ditahan oleh Arnold. Tangan yang tadinya mencengkram lengan Vale dilepas. Membuat empunya mengepalkan tangan. Berbanding terbalik dengan Vanya. Gadis itu tidak jadi pergi. Senyumnya terbit layaknya mentari.
Sadar atau tidak. Sengaja atau tidak. Arnold telah membuat pilihan. Dia melepaskan genggamannya dari Vale, dan meraih tangan yang lain. Muak. Seharusnya Vale tidak berharap banyak.
"Ya, udah kalau mau pergi. Belajar yang bener," putus Arnold seraya menepuk bahu Vale yang berada di jangkauan tangan. Hanya itu. Tidak ada yang lain.
Fifi menggigit bibir. Merasa iba melihat wajah sedih Vale. Dia tidak tahu harus apa selain menarik sahabatnya pergi. Meski tidak berkata apa-apa, ada keskitan yang ditahan. Dia saja merasa sakit hati, apalagi Vale yang merasakan langsung. Fifi meringis pelan.
"Gue salah apa si," gumamnya. Terdengar kesal daripada sedih. Tipikal Vale sekali. "Awas aja tuh orang," tambahnya dengan tekad kuat. Ada dendam yang membara di matanya. Sekejab membuat kedua matanya itu beralih warna, bersinar terang. Hanya beberapa detik sampai Vale memejamkan mata karena rasa pusing yang mendera.
"Lo pucet banget. Udah makan tadi pagi?" tanya Fifi seraya meletakkan telapak tangan ke dahi sahabatnya. Mengembuskan napas karena tangannya ditepis pelan.
"Perasaan aja kali. Gue sehat, kok." Vale bersedekap dengan gaya congkak. Cukup memberi jawaban bahwa gadis itu memang baik-baik saja.
Mungkin Fifi tidak menyadari sinar di mata Vale, tetapi seorang cowok yang kebetulan lewat di lorong melihatnya. Cowok itu bersedekap dengan alis tertaut. Dibalik wajah datarnya, ada kecemasan tak berarti. Yang membuatnya berdecak kesal.
***
Hiro memikirkan kejadian aneh di sekolah tadi. Keanehan demi kenehan yang selalu terjadi di keluarga Vale. Tentang Vale menjadi tanya sendiri sekarang. Cowok itu mengelus dagunya. Ah, jika saja dia tidak malas membaca buku di perpustakaan. Hiro pasti sudah menemukan kekuatan yang dimiliki keluarga ini. Tentu saja dia tidak bisa menemukan jawabannya selain pergi ke Venus.
"Ruby. Seret Vale ke sini, dong," suruhnya pada rubah api yang sedari tadi mengitari kepalanya. Dalam sedetika saja, Ruby berhasil mendapatk keberadaan Vale.
Vale terngah membantu mama memasak. Dikejutkan dengan Ruby yang mengendus-endus di sekitar lehernya. Gadis itu melotot. Sedikit memundurkan langkah agar Ruby tidak mengganggunya."Ada apa?" tanya Mama heran. Vale tiba-tiba mundur hingga menabrak pantry.
Vale menggeleng cepat. "Nggak papa, Ma. Tadi kecipratan minyak," jawabnya cepat. Dia memang ditugaskan menggoreng ikan. Untung saja Mama percaya.
"Sebenar, deh. Kayaknya kok ada sesuatu ya, di sini," ungkap mama seraya melihat sekitar. Dia merasakan hawa panas berpindah ke dapur. Keringatnya sampai bercucuran karenanya.
Vale menatap mama geran. Berbanding terbalik dengan keringat sebiji jagung yang menetes dari dahi. "Kak Arnold katanya mau datang malam ini," ujarnya Untung mengalihkan perhatian.
Berhasil. Gina mengangguk-angguk. "Kita harus bicarakan beberapa hal," ujarnya memberi tahu. Terpikir lagi apa saja yang bakalan dia bahas. Terutama bagian bahwa Arnold tidak boleh menyakiti Vale, baik fisik maupun serangan verbal.
"Bicara apa?" tanya Vale kepo. Waktu mengirim pesan undangan makan malam aja harus menahan amarahnya. Jika biasanya Vale menunggu balasan cowok itu, maka sekarang dia menyibukkan diri dengan hal-hal lebih bermanfaat. Menonton Drakor misalnya. Cukup manjur membuatnya melupakan masalah di dunia nyata.
"Tentang perjodohan kalian," jawab Mama pendek.
"Dibatalin!" seru Vale antusias.
Wajahnya kembali surut saat mama menggeleng. Sudah sekali kayaknya. Jika minta sama Hiro pasti langsung dikasih. Vale melupakan keberadaan rubah lucu yang sekarang terbang di atas penggorengan. Membuat ikan yang digorengnya langsung matang seketika."Vale udah selesai. Ke kamar dulu ya, Ma," ujarnya cepat-cepat membasuh tangan. Kemduaian terbirit-birit menaikki tangga. Mama sampai geleng-geleng kepala melihatnya.
Vale membuka pintu dengan wajah merenggut. Langkahnya mendekati jendela. Di balkon kamarnya terdapat siluet cowok tinggi tegap. Badan proposional dengan rambut acak-acakan. Dilihat dari belakang tampak keren sekali.Hiro menyadari keberadaan Vale. Dia berbalik dan melesat cepat. Wajahnya tampak serius. Menemukan beberapa fakta yang dipikirkannya siang malam membuat Hiro pusing tujuh keliling.
"Pertama. Lo punya kekuatan mematikan lewat mata."
Vale menoleh sekeliling karena Hiro menghilang. Cowok itu mengetuk pintu lemari Vale. "Kedua. Kamar mama lho dilindungi sihir." Dia telah memang pergi sendirian untuk mengecek. Lagi-lagi Hiro terpental seperti waktu itu. Badannya sampai pegal-pegal karena terlalu keras mencoba.
"Ketiga. Gue baru sadar kalau darah lo berwarna hitam," ujarnya menyadari keanehan itu pertama kali.
Vale menahan napas. Dihadapkan pada sosok Hiro yang tidak biasa; mata dengan kabut hitam dan aura mematikan sungguh membuatnya gelisah. Kakinya keku untuk sekadar melangkah. Bibirnya kelu. Dia mengembuskan napas berulangkali untuk mencerna omongan Hiro."Tunggu. Kekuatan lewat mata? Lo bercanda apa gimana. Gue bisa ngubah orang jadi cicak gitu?" tanyanya setelah mendapat keberanian. Tanpa diduga, Hiro mengangguk kalem. "Gue nggak percaya," elaknya.
"Buat satu permintaan!" Hiro berkata lantang. Seperti mendukungnya, suasana berubah muram. Awan yang mulanya berwarna putih kini berubah warna jadi hitam.
Vale tergagap. Dipikirkannya lagi permintaan yang mungkin dia inginkan. Jika dulu dia meminta Hiro membuat Arnold jatuh cinta padanya- dan ternyata tidak berhasil- maka kali ini yang Vale inginkan adalah ...."Bikin bunda cerita di mana ayah," ungkapnya.
"Terkabul." Detik selanjutnya, Hiro menarik pergelangan tangan Vale. Meletakkan giginya di jemari gadis itu dan menghisapnya kuat. Hanya beberapa detik saja. Tetapi mampu membuat Vale kelimpungan sendiri. Entah bagaimana darah itu melayang di udara. Warnanya merah menyala. Berputar-putar, dan memadatkan satu sama lain. Kemudian berubah warna menjadi hitam. Bukan merah gelap, tapi memang hitam. Perkataan Hiro benar, darah Vale berwarna hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
If, Another
FantasyJika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda? Tentang sebuah pilihan. Tentang pengorbanan untuk seseorang. Tentang menolak kenyataan. Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti. Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...