Bab 8- Siapa Ayah?

45 8 36
                                    

Gina melongo melihat penampilan Vale yang beda banget hari ini. Mulutnya sampai terbawa gravitasi saking kagetnya. Buru-buru mematikan kompornya lalu menghampiri putri semata wayangnya.

Hari ini, rambut Vale dibiarkan tergerai indah. Berkilau terkena cahaya mentari karena diberi vitamin rambut buatan Hiro. Tidak ada sentuhan di bagian alis, hanya saja sekarang lebih rapi dari biasanya. Kulit wajahnya lebih bercahaya dari biasanya. Bibirnya lebih merah sekarang. Minusnya si kacamata yang nggak akan bisa kebuka ini. Hanya paman Clon dan mantra sihirnya yang bisa buka. Vale jadi keki sendiri. Lupa. Tadi suruh Hiro copot sekalian kan bagus.

"Kamu anak bunda?" tanya Gina lalu memutar Vale beberapa kali. Matanya melihat Vale dari atas ke bawah. Seolah-olah melihat peri saja.

"Iya. Vale anak bunda dong!" jawab Vale semangat empat lima. Bunda aja bisa kaget kek gitu, apalagi Kak Arnold. Vale cekikikan sendiri.

Senyum Gina luntur. "Siapa yang bikin kamu kayak gini?" tanyanya curiga. Meski Gina beberapa kali memaksa Vale untuk dandan, putrinya tidak akan pernah mau. Makanya peralatan dandan Vale cuma ada bedak bayi sama lipbalm aja. Itu pun cuma kepake kalau Vale inget makenya.

Vale tersenyum lebar. "Vale sendiri dong!"

"Nggak mungkin," elak Gina dengan tangan bersilang di depan muka Vale. Menghancurkan ekspektasi dirinya sendiri. "Nggak mungkin kamu bisa berubah kayak gini," lanjut Bundanya tidak percaya.

Vale cemberut. "Vale kan bisa dandan, Bunda," jawab Vale tidak terima.

"Siapa yang ngajarin?" tanya Bunda men-skak Vale.

Vale memutar matanya. Nggak mungkin dong bilang kalau Hiro yang bikin Vale berubah. "Fifi," jawab Vale setelah mendapat pencerahan.

Gina ingin mengajukan pertanyaan lagi, tapi Vale udah keburu motong. "Kira-kira Kak Arnold kaget nggak, ya, Vale kayak gini," ucapnya sembari membayangkan ekspresi Arnold seperti milik Bunda. Vale jadi nggak sabar ke sekolah.

"Kaget dong! Anak bunda yang cantik pasti bikin Arnold keplek-keplek," jawab Bunda seraya mencubit kedua pipi Vale dengan gemas.

Vale tersipu malu. "Ayah dulu juga kayak gitu?"

Gina yang tengah berjalan menuju patry berhenti. Pertanyaan yang dilontarkan putrinya seakan menusuk hati Gina. Bertahun-tahun Vale pasti menahan keinginannya mengucap kata 'ayah' demi menjaga perasaannya.

Gina kembali duduk di depan Vale. "Mmm ayah juga terpesona sama bunda, tau." Ada kesedihan dalam suara ceria itu.

Vale melirik bundanya. "Ayah ... di mana?" tanyanya pelan. Tapi, pertanyaan itu selalu timbul tenggelam sejak bertahun-tahun.

Gina mengusap wajahnya. "Dia jauh dari kita, sayang."

Mata Vale berbinar. Sekian lama pertanyaan yang sama Vale lontarkan. Gina hanya diam saja dan pergi atau mengalihkan topik pembicaraan mereka. Pertanyaan itu akan menggantung hingga Vale beranjak dewasa dan mengerti tentang lawan jenis.

"Jadi, ayah masih hidup?" tanya Vale antusias. Dia membayangkan bagaimana wajah ayahnya, bagaimana sikap ayahnya. Bagaimana jika Vale bertemu dengannya.

"Bunda juga berharap kayak gitu," jawab Gina seraya bangkit. Bertanda kalau pembicaraan mereka sudah berakhir.

"Vale mau cari ayah!" ujar Vale berapi-api.

Gina menatapnya tajam. "kamu tahu apa yang kamu bicarakan, Valeria Arrabella," tekan Bunda pada nama lengkap Vale. Bunda marah besar.

Vale tidak gentar. "Aku mau ketemu, ayah." Vale berdiri tegak seakan melawan langit. Mengingatkan Gina pada suaminya yang berada di sana, jauh. Bukan hanya jarak saja yang memisahkan, waktu dan dimensi yang tidak bisa Vale tembus.

"Kamu lebih baik hidup sama Bunda seperti ini, Vale. Itu yang diinginkan ayah kamu."

Vale menatap bundanya tidak mengerti. Semuanya terasa seperti labirin tanpa ujung. Setiap tanya selalu tanpa jawaban. Vale harus mencari tahu. Bagaimana pun caranya!

If, AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang