Bab 7 part (2)

52 13 69
                                    

Arnold berdiam di depan kelas Vale. Jam pulang sudah berbunyi lima menit lalu. Meski bisa dibilang melawan arus, nyatanya tidak ada yang memarahi Arnold karena menghalangi jalan. Cowok tinggi tegap itu malahan mendapat sapaan centil dari beberapa cewek.

Jarang banget Arnold bisa seluang ini, sampai-sampai ke kelas Vale. Segudang kegiatannya selalu membuat Arnold sibuk meski mengirim pesan ke Vale sekali pun.

Makanya Hiro heran melihat Arnold udah nangkring di depan kelasnya. Omong-omong, telinga Hiro udah budek denger nama cowok itu yang sering disebut-sebut Vale. Gantengan juga Hiro ke mana-mana. Dasar cewek buta. Bedain kotak bekal sama kotak MC Donald aja nggak bisa. "Maklumlah. Berlian memang sudah dicari diantara butiran debu," gumamnya sambil menyisir rambut dengan wajah tengil.

"Eh lo," panggil Arnold yang barusan melihat Hiro melewatinya dengan gaya songong. Arnold tahu kalau Hiro anak baru. Tapi dia tidak pernah peduli dengan hal semacam itu. Rasanya aneh mau tanya-tanya cowok narsis di depannya.

Yang dipanggil, Hiro, tidak merasa sama sekali. Tetap melanjutkan langkahnya.

"Oi. Lo yang seragamnya keluar," panggil Arnold lagi.

Hiro langsung melihat seragamnya yang keluar dari ketentuan sekolah. Siapa suruh buat seragam nggak enak kayak gini. Gerah tau.
"Gue?" tanya Hiro malas-malasan. Berbalik juga, demi mendapati wajah yang bawaannya ngajak berantem mulu.

Arnold mengangguk. "Lo tau Vale di mana?" tanyanya setelah terdiam beberapa lama.

Hiro menggendikkan dagu. "Nggak tahu, tuh," jawabnya ogah-ogahan.

"Nama Lo? Hiro?" tanya Arnold seraya menatap name tag cowok yang menatapnya datar.

Hiro berdecih. "Salah. Lin Yi. Salam kenal kaum rendahan," ejek Hiro tanpa perasaan. Tidak lupa mengibaskan tangannya seolah mengusir roh jahat saja.

Arnold melotot. "Kaum rendahan?" tanyanya tidak percaya. Jelas sekali dia marah dikatain seperti itu.

Hiro mengangguk polos. "Rata-rata manusia, kan rendahan, ya. Udah bisa baca masih aja nanya." Hiro berbicara lancar sekali.

"Yang lo maksud siapa?" tanya Arnold, datar. Menahan emosinya karena sudah jadi bahan tontonan anak-anak.

"Lah. Elo kerasa? Sama aja kayak Vale."

"Bacot Lo!" teriak Arnold keras. Dia emosi karena Vale juga disebut-sebut.

Mengagetkan penduduk sekolah yang sedari tadi mencuri dengar ke arah mereka. Terkenal dengan kedisiplinan dan keramahannya, tidak pernah Arnold mengumpat. Selalu bisa mengendalikan emosi di segala suasana. Makanya, dia teriak aja bisa bikin kaget semua orang.

Hiro tersenyum sinis. "Jadi, ini Lo sebenarnya," sindirnya blak-blakan. "Vale pasti rugi nggak lihat calon raja kayak gue. Dianggurin kek jemuran," lanjut Hiro menahan emosi. Geram juga ketika mengingat Vale tidak pernah meliriknya sedikit pun. Yah, bukannya Hiro kurang belaian atau apa, ya. Harga dirinya aka ginjalnya merasa tersentil diperlakukan macam itu.

Arnold mendesah panjang. "Lo jangan deket-deket sama Vale," peringatnya setelah berhasil mengontrol emosi.

"Kenapa? Hak lo apa?" tanya Hiro dengan tangan bersedekap.

"Gue tunangannya," jawab Arnold tenang. Senyumnya mengembang seakan mengejek Hiro.

Hiro sempat tercenung beberapa saat. Dia baru tahu fakta itu. Atau dia seharusnya tahu tapi mengabaikannya. "Oh," gumamnya polos. Emang tunangan itu bisa dibanggakan, ya?

Dasar Hiro emang!

Arnold menatap Hiro tidak percaya. "Lo inget peringatan gue."

Hiro tersinggung. "Nggak berhak Lo perintah pangeran Mpppp--"

Tangan mungil membekap mulut Hiro. Cowok itu melotot ke arah Vale yang juga melakukan hal sama.
Seolah berbicara lewat mata. Vale kangen setengah mati melihat Hiro dengan Arnold lagi adu mulut. Lebih gila lagi mendengar Hiro menceritakan dunia anehnya. Bisa berabe kalau Hiro bicara juga soal permintaan Vale jadi cantik pada cowok di depan mereka.

Fifi melongo melihat keakraban mereka berdua. Apalagi Arnold yang sekarang mengepalkan tangannya.

"Eh, Kak Arnold. Ngapain di sini?" tanya Vale setelah melepaskan tangannya dari mulut Hiro. Persetan deh sama Hiro yang nanti mencincangnya habis-habisan.

"Nggak boleh ke sini?" Pertanyaan balik itu membuat Vale salah tingkah. Buru-buru cewek itu menggeleng.

"Boleh banget dong!"

"Yuk, pulang bareng," ajak Arnold menekankan kata bareng itu sambil melirik Hiro.

Hiro mendengkus. Rasanya ingin mengeluarkan bola-bola apinya biar Arnold jadi abu. Beruntungnya, kekuatan itu lagi tidur cantik di Planet Venus. Cowok itu menatap kepergian sepasang couple itu dengan emosi tertahan. Mau-maunya Vale pulang bareng Arnold setelah acara menangisinya beberapa hari oleh cowok yang sama. Cewek emang sudah ditebak.

"Ekhm," deheman itu membuat Fifi memalingkan mukanya ke arah Hiro. Pipinya bersemu.

"Ya, kenapa?" tanya Fifi cepat.
Hiro melihat sekelilingnya. "Penjual Es krim di mana?" tanyanya berbisik.

Fifi melongo. "Di toko depan ada."

Hiro mengangguk. Berjalan pulang dengan terburu-buru. Kata Vale, es krim bisa meredakan marah. Vale sering mengkonsumsinya ketika lagi marah-marah nggak jelas. Hiro mesti coba juga biar emosinya sedikit berkurang.

If, AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang