Bab 28

7 2 0
                                    

Arnold mengentikan langkah. Entah berapa menit dihabiskan untuk menatap pintu cokelat dengan ukiran unik di depannya. Tekadnya berubah kendur kala menatap sunyinya rumah Vale. Padahal, dia sudah berniat ke sini sejak pulang sekolah.

Vanya yang baru datang, mengernyitkan dahi. Dari kedua tangannya ada sekeranjang buah-buahan. Di belakangnya ada Fifi yang menggendong tas punggung berisi tugas rumah.

"Lho, kenapa nggak masuk?" tanya Vanya heran.

Arnold menoleh. "Nunggu kalian," jawabnya cepat. Dia memang menunggu keduanya yang mengambil barang di bagasi Arnold.

Vanya mengetuk pintu. Tak berselang lama terdengar sahutan dari dalam rumah. Bisa dipastikan itu adalah mama Vale, Gina. Ketika pintu dibuka. Gina menampakkan raut terkejut. Lantas berubah jadi ketidaksukaan saat menemukan entitas Arnold di antara teman-teman putrinya.

Menyadari tatapan itu, Arnold hanya bisa tersenyum canggung. Terselip rasa bersalah karena tanpa sadar dialah yang menyebabkan Vale seperti ini.

"Malam, Tante. Kamu mau jenguk, Vale," ungkap Fifi yang memang telah mengenal Gina dalam waktu yang lama Gina.

Senyuman paruh baya itu terbit. "Masuk-masuk. Wah repot-repot kalian. Vale di kamar atas. Ajak masuk ya, Fi," ujarnya mempersilakan mereka masuk ke tangga.

Arnold menjadi yang terkahir. Dia menghentikan kaki dengan sengaja. Sadar bahwa ada yang ingin dibicarakan dengannya, Gina berhenti.

"Kamu mau ngomong sesuatu?" tanya Gina dengan nada datar. Bahkan tidak menatap Arnold yang mengeraskan hati di depannya.
Arnold mengangguk tegas. "Maaf, Tante. Arnold ngecewain, Tante," mohonnya dengan kepala tertunduk.
Gina menatap tajam ke arah pemuda itu. Menimang-nimang apa yang harus diucapkan. Seperti kata Arnold kekecewaannya telah tersalur ke orangtua cowok itu.

Ya, Arnold sempat dimarahi habis-habisan di rumah. Oleh papa mamanya. Sedikit membuatnya muak.

"Tante tahu kamu sama sekali nggak suka sama Vale," ucap Gina seiring dengan wajahnya yang memerah. "Tapi, menyakiti anak Tante bukanlah kewajiban kamu."

"Maaf, Tante. Arnold janji nggak akan ngingkarin janji lagi."

Ada ketulusan di sana. Hanya sedikit. Selebihnya karena ego Arnold dan tuntutan orangtuanya. Maka permintaan maaf itu tidak benar-benar dihiraukan oleh Gina.

"Tenang saja. Kerja sama orangtua kamu dengan Tante masih jalan dengan baik. Tante nggak semaruk itu mencampurkan urusan pribadi dengan bisnis."

Arnold mendesah lega. Di lain sisi merasa malu karena menuduh yang tidak-tidak. Padahal, Tante Gina begitu baik padanya. Tidak pernah memarahi atau menyindirnya tentang kewajiban itu.

"Tapi seharusnya kamu sadar diri," ujar Gina lagi. Wajahnya Semerah kepiting rebus. Emosinya tidak bisa ditahan. Kesalahan fatal Arnold memang benar-benar tidak bisa dimaafkan kali ini.

Arnold menunduk dalam. "Maaf. Arnold janji bakalan jagain Vale."
Gina mendesah panjang. Ditepuknya bahu cowok itu lantas pergi tanpa sepatah kata. Diperlakukan seperti itu tentu saja menyentil Harga diri Arnold. Sebagai laki-laki sangat pantang dia dipermalukan. Dia pernah berontak kepada orangtuanya tentang perjodohan ini, dan lagi-lagi egonya harus mengalah. Demi keluarga. Dia menjadi pahlawan kesiangan.

Cowok yang mengenakan hodie putih itu mengacak rambut. Dia berbalik hendak menuju tangga, arah di mana kamar Vale berada. Sayangnya, seseorang yang mereka bicarakan berdiri mematung. Menjadikan pinggiran tangga sebagai penumpu beban.

Vale dengan wajah datarnya melanjutkan langkah. Dia sempat tertegun beberapa saat. Bahagianya, tidak ada lagi kecewa dalam hati Vale. "Gue mau ke kamar mandi. Kebetulan kamar mandi atas lagi rusak," ujarnya santai.

Arnold dengan sigap menghampiri gadis itu. "Gue bantu," ucapnya seraya mengalungkan tangan Vale di sekitar bahunya.

"Nggak usah. Gue bisa sendiri," tolak Vale seraya menarik lengannya.
Arnold tetap keukeh. "Nggak. Lo masih sakit."

Jika saja itu dulu, mungkin Vale akan bersemu-semu. Mungkin dia akan terbang melayang saking bahagianya. Sayangnya, semuanya terlalu mendadak. Apalagi pembicaraan mereka yang jelas-jelas masih membekas di telinga.

"Makasih udah ngawatirin. Tapi, serius. Gue udah biasa tanpa lo."
Arnold membeku. Entah kenapa dia merasa familiar dengan kata-kata itu, dengan nada bicara yang sama. Seringnya dia berkata seperti itu kepada Vale. Sekarang gadis itu yang mengatakannya. Apa begini rasanya diabaikan? Bagaimana perasaan Vale ketika dia selalu bersikap dingin?
Punggung mungil yang dulunya selalu berada di samping Arnold, kini hanya mampu dia tatap. Vale memilih berjalan terlebih dahulu, tanpa menunggu seperti biasa. Arnold terkekeh. "Gue di sini. Kalau ada apa-apa panggil aja," ujarnya sebelum Vale tertelan pintu kamar mandi.

"Sikapnya bisa balik kayak semula nggak? Jujur. Gue risih lo sok care kayak gini," jawab Vale menohok seperti biasa.

"Tenang aja. Gue anggap kita baik-baik aja. Jadi perjanjian lo sama mama gue nggak terganggu."

If, AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang