Setelah pulang sekolah, Hiro menunggu Vale di depan kelas. Lengkap dengan kaca mata kuda yang dibawa Ruby sebagai pelengkap petualangan hari ini. Cowok itu bersedekap. Punggungnya bersandar ke pintu kelas. Matanya mengabsen satu per satu siswi yang keluar kelas. Batang hidung cewek yang dicarinya tidak ada di sini.
"Syalala la la la la," gumamnya bernyanyi. Itu merupakan opening film pendek yang dia tonton lewat gawai Vale. Itu lho mini seri BTS. Nggak tau? Nggak gaul kayak Hiro berarti. Seperti kebanyakan orang yang menatapnya kelewat kagum itu. Kenapa mereka menatap Hiro? Cowok itu tidak sadar suaranya melebihi toanya kepala sekolah kalau lagi ngasih wejangan.
Matanya terhenti kepada Arnold yang tahu-tahu berdiri di depan. Wajahnya tidak bersahabat. Sejak terakhir bertemu, cowok itu bertambah minim ekspresi saja. Hiro pura-pura abai. Memilih untuk menghitung pesawat terbang yang terlihat jelas mata. Ketika Arnold mengikuti arah pandang cowok itu, tidak terlihat apa pun selain awan putih dan sinar matahari yang menyilaukan.
"Heh Kunyuk! Bekal lo taruh sembarang!" teriakan itu diikuti dengan wajah garang yang siap bertempur. Vale menyodorkan kotak bekal milik Hiro yang isinya tandas tadi pagi, padahal itu jatah buat makan siang.
"Lupa," jawab Hiro cengengesan seperti biasanya. Seperti yang terjadi, muka baginya memang ampuh untuk menghindari amukan masa.
"Udah ayo." Gerakan Vale untuk memerintah Hiro terhenti. Kala netranya tidak sengaja bertatapan dengan Arnold. Bibirnya terkatup kembali. Teringat pertemuan mereka yang terakhir kali. Rasa jengkel masih meratapinya.
"Lo mau ngapain ke sini?" Hiro memaikan alisnya angkuh.
Pertanyaan itu cukup mewakili batin Vale saat ini. Gadis itu memang terlalu berharap. Bibirnya tersenyum kecut ketika Arnold menggoyahkan buku absen."Absen kelas lo kebawa. Gue disuruh ngembaliin," jawabnya lugas.
Nah, kan. Karena merasa tidak dianggap. Dan juga hatinya kembali tersentil, Vale menyodok perut Hiro sebagai pelampiasan. Membuat si empunya menjerit kesakitan dengan wajah lebay. Padahal, Hiro cuma mau menguji bakat akting yang mungkin dimiliki. Kali aja nanti bisa pamer di planet Venus. Seperti yang diharapkan, wajah tampan memang bisa menarik perhatian."Mau ke mana?" Tanya Arnold setelah berhasil mencekal lengan Vale. Menatap gadis itu tajam.
"Lepas," ujar Vale dingin, tanpa melirik sedikit pun. Dia sedikit menyentakkan tangannya guna melepaskan diri. "Gue pergi ke mana pun buka urusan lo," ujarnya sembari tertawa sinis.
Arnold melebarkan mata. Seolah mendapatkan lagi kesadarannya, dia berdehem. Meski dalam hati bertanya-tanya ke mana perginya Hiro dan Vale yang terlihat buru-buru. "Oke. Hati-hati."
Seharusnya Vale tidak merasa kecewa. Bukankah ini yang diharapkannnya? Dia bersikap tidak peduli dan Arnold juga sama. Sehingga Vale lebih mudah membenci cowok itu nantinya. Tetap saja, hatinya kebas. Dia tersakiti berulang kali. Tetapi, perasaan memang tidak mudah dibohongi. Untuk pertama kalinya dia menyesal pernah jatuh cinta. Menyesal menempatkan Arnold di atas segalanya.
"Vale hidung lo ingusan," uajr Hiro tiba-tiba. Lantas memeluk Vale. Gadis itu tenggelam di dadanya. Entah disengaja atau tidak, Vale ingin berterima kasih. Tetapi tidak jadi mengingat tingkat kepedean Hiro di atas rata-rata.
Cowok itu membawanya ke luar gerbang. Dia kira bakal mendapatkan gosip atau gunjingan anak-anak. Tetapi tidak ada satu suara pun yang terdengar.
"Emang air mata lo bisa jadi mutiara? Nangis Mulu, Vale," ejek Hiro dengan tampang songongnya.
Bukannya berhenti meneteskan air mata, Vale malah tambah histeris. Hidungnya sampai berair dengan pipi merah. Hiro harus menutup telinganya karena suara itu benar-benar menganggu. Hiro sepertinya mau jadi debu karena belakangan ini tubuhnya sensitif terhadap suara-suara seperti ini.
"Ya! Untung aja udah gue sihir biar kita nggak kelihatan," ujar Hiro mengomel lagi. Entah karena akting atau memang serius, hal itu membuat Vale merasa lega. Lambat lain suara tangisannya berhenti sendiri.
Untung saja gadis itu masih sadar untuk membayar bis yang mereka tumpangi. Bisa-bisa Hiro jadi tidak keren, diusir karena tidak punya uang. Vale kalau nangis kan lupa jadi manusia.
Kurang dari lima belas menit, mereka berhenti di sebuah gang kecil. Gadis itu tidak terlihat sedih kala mereka berhenti di salah satu pondok tua yang mirip gudang atau toko barang loak. Pondok itu memiliki jarak dengan rumah lainnya. Tidak ada tanaman yang hidup kecuali bunga mawar hitam yang hampir layu. Tidak ada tulisan toko kacamata atau bagaimana. Jika Bunda tidak memberitahu Vale tentang rumah ini, dia mungkin tidak akan percaya Paman Clon tinggal di sini.
Hiro mengernyitkan dahi melihat tempat itu. Bukan karena tidak layak huni atau apa. Karena dia merasakan aura berbeda di sini. Seolah berada di dimensi lain saja. Bahkan cahaya mentari enggan menyapa atap-atapnya. Ada kabut tipis sebenernya. Yang tidak bisa ditembus mata Hiro ataupun Vale.
Vale mengajaknya untuk segera masuk. Gadis itu berlari duluan di depan. Meninggalkan Hiro yang berdecak di belakang. Matanya melebar ketika tubuhnya terpental.
"Apa ini?" tanyanya penasaran. Kemudian dicobanya lagi untuk masuk ke pekarangan. Lagi-lagi dia terpental. Keningnya mengernyit. Benar, kan. Ada sesuatu yang aneh di sini. Apalagi Vale sudah menghilang di balik pintu, meninggalkannya sendirian di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
If, Another
FantasyJika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda? Tentang sebuah pilihan. Tentang pengorbanan untuk seseorang. Tentang menolak kenyataan. Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti. Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...