Vale terpuruk. Bahunya melorot. Disandarkannya punggung ke tembok dapur. Meski batinnya menerima begitu saja, tetap saja dia terlalu terkejut. Hal yang dia sangkal selama ini menjadi kenyataan. Bibirnya terasa perih. Rasa asin yang tercecap di lidah semakin terasa. Isakannya terendam. Diredam kuat-kuat agar tidak keluar.
Hiro mendesah panjang. Keriuhan dari teman-teman Vale tidak membuatnya tenang. Apalagi gadis itu tak kunjung muncul sejak ijin ke kemar mandi. Cowok itu menyembunyikan diri saat Arnold memincing ke arahnya. Persembunyiannya ketahuan. Hanya dengan beberapa detik saja Hiro sudah mencapai tempat Vale. Mengabaikan bahwa Arnold kebingungan sendiri dengan penglihatannya.
"Nah, kan nangis," ungkapnya seraya berdecak kesal. Apalagi jika alasan Vale karena Arnold mengatakan fakta itu secara gamblang. Berarti gadis itu patah hati kali, ya.
"Jangan ke sini!"
Hiro menghentikan langkah. Eh, dia tahu? Cowok itu memilih berdiri di samping pintu seraya mengeluarkan kelakar garing. Yang mirisnya tidak ditanggapi Vale sama sekali. Beberapa menit menunggu gadis itu selesai dengan tangisannya, Hiro terkejut karena pintu tiba-tiba terbuka lebar. Keadaan gadis itu tidak bisa dibilang baik. Entah berapa liter air mata yang keluar hingga membuat Vale acak-acakan.
"Gue kebetulan lewat," ungkap Hiro tidak ingin membuat gadis itu salah paham.
Vale tergugu. Tidak mengindahkan penjelasan Hiro. Dengan sisa-sisa tenaga gadis itu berjalan menuju meja makan. Didudukannya tubuh. "Gue masih punya permintaan terakhir, kan?" tanyanya memastikan.
Hiro mengangguk. "Bentar. Lo minum dulu. Jangan mikir yang nggak-nggak," ungkap Hiro setelah mengambil segelas air dari pantry.
Vale mendorong gelas yang disodorkan Hiro. Batinnya bergejolak setelah memikirkan semuanya. Lewat tatapan itu, agaknya Hiro menduga yang tidak-tidak.Cowok itu memijit pelipis. "Lo jangan bunuh diri atau semacamnya, deh," ungkapnya menasehati.
"Atau lo mau gue nyekek Arnold?" duganya lagi. Padahal, semua itu tidak berdasar sama sekali.
Bibir Vale merapat. Warna pucat itu semakin pucat dari yang terkahir kali Hiro lihat. Mau tidak mau, cowok itu merasa khawatir juga dengan keadaan Vale. Apalagi darah yang sering Hiro ambil. Tentu saja keadaan Vale jauh dari kata baik-baik saja.
"Gue pengin semuanya kembali normal," ujar Vale tiba-tiba.
Permintaan itu begitu mengejutkan. Jauh dari perkiraan Hiro. Berbanding terbalik ala yang seharusnya dia ambil. Rahang cowok itu mengetat. Dengan mata yang menyipit Hiro berujar, "maksud lo?" tanyanya tidak mengerti.
Vale membuang muka. Tentu saja permintaan ini membuat Hiro sakit hati. Apalagi cowok itu memiliki ego tinggi. "Gue mau lupa segalanya."
"Vale! Lo nggak bisa nolak fakta yang sebenarnya," elak Hiro tidak terima. Wajahnya memerah. Entah kenapa merasa tersinggung.
"Gue nggak nolak fakta. Cuma gue mau lupain fakta itu dengan cara hilang dari ingatan gue. Dan gue harap ini pertemuan terakhir kita."
"Nggak!" ujar Hiro tegas.
"Kenapa? Terserah gue. Dan, lo juga bisa kembali ke planet lo," ungkap Vale lagi. Dia menutup seluruh wajahnya dengan tangan. "Gue nggak sanggup," tambahnya lirih. Dari nada suaranya saja gadis itu terdengar sangat putus asa. Seolah semua harapannya telah kandas.
Semangatnya telah lenyap. Dan tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan hidup.Hiro mengacak rambutnya. "Oke."
Vale mendongak. "Gue juga mau lupain lo," tambahnya dengan wajah putus asa.Hiro tertawa mengejek. "Kenapa? Lo takut sama kenyataan kalau lihat gue," sindirnya kesal.
Vale tidak mengindahkan ucapan itu. Dia lants meminta Hiro segera mengabulkan permintaannya. Meski dengan berat hati, cowok itu memusatkan pikiran. Cahaya hitam yang melingkupi Vale menjadi saksi bahwa pertemuan mereka segera berakhir. Bahwa Hiro hanya bisa mengenang ketika ke Venus nanti. Mungkin dia tidak akan menceritakan kepada siapa pun tentang Vale dan bagaimana kehidupan di bumi.
Setelah semua proses selesai. Vale bahkan tidak menatapnya. Berarti berhasil. Berarti melupakan Hiro dengan cara cowok itu tidak bisa dilihat oleh Vale. Meski sudah menganggap gadis itu sebagai teman yang asik di bumi, Hiro jadi keberatan untuk pergi."Selamat tinggal, Vale," ujar Hiro ketika gadis itu melewatinya. Cowok itu hanya bisa melihat Vale tertawa senang ketika teman-temannya menjemput ke bawah. Yang paling mengesalkan, Arnold sempat menatapnya, mungkin. Atau tidak karen hiro buru-buru pergi dari sana.
"Jadi, udah selesai," gumam Hiro merasa janggal. Tetap saja ini terasa aneh baginya. Dia menggendikkan bahu. "Ruby. Ayo kita pulang."
Begitulah. Untuk terakhir kalinya, Hiro menatap rumah Vale saksama. Mungkin dia bakalan membangun satu bangunan seperti ini di Venus. Bersama Ruby yang bergelung di sekitar bahu, cowok itu mengeluarkan sayap hitamnya. Memandang ke langit yang hitam, Hiro tidak pernah selesu ini. Padahal, pulang ada keinginannya.
"Ayo. Ibunda pasti menunggu kita dalam waktu lama."
Kepakan sayap Hiro terdengar. Helai-helasi bulu hitam berjatuhan dan menghilang dalam sekejab mata. Dengan kecepatan penuh, cowok itu menantang udara. Mendekati malam seolah-olah ingin bersaing dengan pekatnya. Semuanya selesai. Dan semuanya harus baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
If, Another
FantasyJika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda? Tentang sebuah pilihan. Tentang pengorbanan untuk seseorang. Tentang menolak kenyataan. Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti. Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...