Hiro tersentak. Entah harus menjawab bagaimana, dia hanya bisa menggaruk kepala. Tatapan tajam yang dilayangkan Gina begitu menusuk. Membuat hati cowok itu tersentil.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Gina yang berdiri di samping Vale. Seolah menegaskan kalau Hiro berbahaya dan patut dicurigai.
"Maaf, Tante. Tadi saya datang lewat jendela," ungkapnya tegas. Bahkan kelewat tegas dengan aura mengintimidasi. Kernyitan di kening Gina menjelaskan bahwa jawabannya tidak memuaskan. Bahkan cenderung dipaksakan. Cowok itu bahkan sempat mengikuti arah pandang Gina ke arah belakang, di mana jendela Vale berdiri kokoh dan terkunci rapat.
"Jangan berbohong!" Gertak Gina sudah mendekati Hiro.
Sempat terkejut, Hiro menormalkan ekspresinya. Cowok itu tersenyum manis, seolah tidak bersalah sama sekali."Coba tanya, Vale," ungkapnya berhasil membuat Gina menoleh pada putrinya. Eksistensi gadis yang lebih pucat dari sebelumnya sedikit menyita perhatian Gina. Semua prasangka tadi seolah pudar waktu melihat Vale. Begitu pucat dan tidak bertenaga. Seolah-olah kehabisan darah saja.
Vale berusaha menggerakkan bibir. Rasanya begitu sulit. Bahkan untuk membuka mata saja membuatnya menghabiskan sebagian tenaga. Apakah ini efek dari darahnya diambil?
"Iya, ma," jawabnya dengan susah payah. Sedikit melirik Hiro yang menataknya, menuntut. Seolah jawabannya bisa salah jika dia salah memilih kata. Untuk meredakan urat-urat di wajah mama, Vale tersenyum cerah. Hingga wajah pucatnya sedikit merona. "Hiro ke sini mau jenguk Vale. Karena kemaleman jadi takut lewat depan."
Gina memincingkan mata. Matanya memandang keduanya secara bergantian. Menguliti ekspresi mereka yang terlihat tulus atau sekadar dibuat-buat. Sepertinya akting Vale dipercaya. Gina memijit pelipisnya. "Maaf, ya. Tante nuduh yang enggak-enggak."
Hiro mengangguk tegas. Dia sedikit meringis karena telah berbohong entah untuk keberapa. "Gak papa, Tante."
Gina mengabaikan fakta bahwa di matanya senyum Hiro tampak menakutkan. Ada kilat menyeramkan yang sanggup membuatnya blank sejenak. "Ya udah. Tante buatin minum, ya."
Selepas peninggalan Gina, keduanya berpandangan. Vale lah yang lebih dulu memutus kontak mata keduanya. Rasa percayanya pada Hiro perlahan memudar.
"Lo tau paman Clon nggak ada," gumam Vale mengawali cerita. Dia sempat terkejut dengan fakta itu. Ah, sebenarnya dia senang karena tidak harus ke tempat paruh baya itu jika beliau pergi. Andai raut wajah Gina tidak menimbulkan kekhawatiran yang ketara.
Hiro yang tengah mengunyah anggur menghentikan gerakan bibir. Menatap Vale sekilas lantas melanjutkan makannya lagi.
"Terus?" tanyanya bingung.
Vale merenggut. "Lo bener. Apa karena kacamata gue rusak, dia pergi." Ini sempat terlintas. Untung saja Mama memberikan kacamata yang baru.Segala benang merah itu, jujur saja membuat kepala Vale pecah.
"Bisa jadi," jawab Hiro tanpa berpikir panjang.
"Sebenarnya darah gue mau—"
"Stop it! Kalau soal itu, privasi gue okay. Dalam kesepakatan kita nggak ada keharusan saling cari tahu identitas masing-masing." Hiro tampak marah sesaat. Seolah identitasnya begitu sensitif. Padahal, dia tahu segalanya tentang Vale. Bahkan hal terkecil dan sesuatu yang tidak pernah Vale tahu.
"Kecuali. Lo suka sama gue," lanjut Hiro dengan kedua alis dimainkan. Begitu menyebalkan. Jika punya tenaga lebih, pastilah wajah narsis itu sudah jadi korban lemparan bantal.
"Gue serius."
Hiro berdehem. "Lo boleh tanya apa pun selain itu," ujarnya merasakan kegelisahan dalam suara Vale.
"Lo tahu tentang gue sebanyak apa? Maksud gue kenapa semuanya kayak aneh dan nggak bisa diterima akal sehat?"
Hiro mengernyitkan dahi. "Oh, itu. Gue udah bilang Lo dikutuk, kan? Dan kayaknya paman Clon itu bukan dari bumi. Dia dari planet lain, maybe."
"Sebenarnya ini melanggar perjanjian kita. Karena lo udah baik kasih gue makan, gue bakalan ungkapin sesuatu."
Vale menahan napas. Merasa kalau ucapan Hiro selanjutnya akan berdampak besar pada kinerja jantung.
"Mama lo memang makhluk bumi. Tapi kayaknya bokap yang lo cari-cari bukan berasal dari bumi."
Deg.
"Sebenarnya gue udah ngerasa kalau lo berbeda Vale. Aura lo nggak mirip sama sekali sama Tante Gina. "
"Dan untuk Arnold. Kenapa lo nggak pernah mikir kenapa kalian dijodohin?"
"Kenapa?" tanya Vale tanpa semangat. Dia kehilangan tenaga karena pernyataan barusan.
"Gue udah cari tahu karena gabut. Ini perbuatan tercela sih buat calon raja kayak gue. Masa nguping ke rumah orang mulu." Hiro terkekeh sejenak untuk meredakan ketegangan yang terjadi.
"Mama lo yang pengin. Dan orangtua Arnold kayaknya nggak bisa bantah. Utang budi mungkin. Eitsss... Itu doang yang gue denger. Soalnya gue udah keburu kenyang makan di dapur mereka, jadi nggak niat nguling lagi."
Jadi, maksudnya Hiro nyolong makanan ke rumah Arnold gitu? Vale tidak habis pikir. Cowok itu memang pernah dendam sama Arnold dan bilang mau balas dendam. Ternyata itu itu yang dimaksud balas dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
If, Another
FantasyJika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda? Tentang sebuah pilihan. Tentang pengorbanan untuk seseorang. Tentang menolak kenyataan. Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti. Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...