Hiro tersenyum kikuk. Tangannya yang tidak pernah bergetar kini memegang sendok serasa kesusahan. Oh, persetan dengan nasi goreng berbau harum di depannya yang memanggil-manggil untuk segera ditangkap. Dua mata yang menatapnya nyalang menghentikan ketidakmampuan Hiro. Satunya menuntun penjelasan dengan kedua tangan bersedekap. Satunya melotot takut-takut kalau Hiro keceplosan.
Hiro berdehem. "Saya mau berangkat sama Vale emm...""Gina. Panggil aja Tante Gina," ujarnya menyadari kebingungan Hiro. Dia menatap cowok itu dengan mata menyelidik. Dua kali bertemu dengan suasana tidak terduga. Tentu saja menimbulkan tanya begitu besar. Apalagi dia merasa familiar dengan mata Hiro.
"Mama tau, kan kalau Vale harus ngajarin anak bandel. Nah ini salah satunya," sahutnya seraya menyendokkan nasi ke dalam mulut. Tersenyum mengejek karena Hiro membeku, tidak mampu melawan.
Hiro mengangguk. Garis bawahi kalau dia terpaksa melakukan itu.
"Iya, Tante. Hiro, kan anak baru jadi perlu belajar banyak," tambahnya setelah menguasai keadaan.Gina mengangguk setuju. Membuat kedua orang itu tersenyum lega.
"Arnold nggak jemput kamu?" tanya Gina tiba-tiba.Vale menahan napas. Dia baru saja terkejut melihat mama menemukan Hiro di samping rumah. Untung saja cowok itu cukup cerdas untuk menjawab. Bisa mati kalau Hiro bilang barusan turun dari kamar Vale. Bisa-bisa mereka nanti dinikah-ew. Memikirkannya saja membuat Vale bergidik. "Nggak tau," jawabnya tanpa beban setelah berpikir sejenak.
"Kalian pasti bertengkar, ya," gumam Gina seraya berjalan ke dapur.
Membawa kotak berwarna hijau tua yang Vale yakini berisi nasi goreng. Jangan berpikir itu untuk Vale. "Kasih Arnold, ya. Nggak baik bertengkar terus.""Ma!"
"Mama nggak bakalan ngubah keputusan mama. Terserah kamu Nerima apa enggak," ujar Gina menyadari bahwa topik yang lalu masih menjadi beban Vale.
Dongkol. "Terserah, deh. Vale kan cuma harus nurut aja." Nggak punya kebebasan berpendapat, lanjutnya dalam hati.
Gina berdehem untuk menghilangkan kecanggungan. "Maaf, ya, Nak Hiro. Kita memang biasnay begini."
Hiro mengangguk setuju. Bahkan hapal sekali dengan kebiasaan ibu-anak di depannya. Sudah makanan sehari-hari."Kasih ke Arnold. Baikan sama dia," ujar Gina lagi.
Vale menerimanya dengan setengah hati. Selera makannya jadi menghilang memikirkan bagaimana cara mengantar bekal ini tanpa membuat Arnold berbesar hati. Memikirkan bagaimana Arnold pasti menganggap kata-katanya kemarin angin lalu sukses mengaduk-aduk perutnya. "Vale berangkat, ma!" teriaknya cepat-cepat mengambil ransel. Tak lupa membawa bekal tadi.
Hiro melongo. Ditinggal dengan suasana canggung begini sangat tidak baik. Apalagi nasi gorengnya belum habis.
"Saya nyusul Vale ya, Tante," ucapnya pelan. Setiap berduaan dengan mama Vale selalu menimbulkan ketakutan sendiri. Seperti berhadapan dengan naga gunung Ameera saja.
"Saya pernah melihat kamu." Pertanyaan itu lolos juga. Berhasil menahan langkah Hiro, dia mencoba mengingat-ingat mungkin saja pernah bertemu Hiro sebelumnya.
Hiro berbalik. "Saya nggak pernah keluar rumah, kok. Bunda yang larang. Kecuali kalau latihan pedang," jawabnya polos. Dia melotot setelah meluluskan sesuatu yang rahasia. Meski sebenarnya tidak terlalu ketara.
Gina baru saja ingin menyangkal tetapi Hiro telah hilang dari hadapannya. Mencoba mengingat-ingat lagi. Ah, ingatannya memang pendek. Atau mungkin hanya dipenuhi oleh kenangan tentang ayah Vale. Bahkan, wajahnya berlahan memudar dari ingatan. Hanya satu kunci yang dia selalu ingat. Dan selalu menimbulkan ketakutan sendiri ketika mengingatnya.Ah, kata-kata terakhir ayah Vale yang selalu terngiang.
"Dia akan menanggung kutukan. Mempertahankan atau kehilangan. Dua-duanya tidak pernah membuatnya merasa hidup."
Mengingat itu Gina merasa rapuh. Titik terendah dalam hidupnya hingga air matanya beranak. Tanpa ditahan. Suara tertahan yang keluar dari mulutnya menjelaskan betapa rapuhnya ia.***
Vale berbalik arah. Sudah menabrak dada Hiro. Rasa pening menderanya. Rasanya seperti berbenturan dengan batu. Tidak menyangka kalau dada Hiro terasa begitu keras. Yang membuat Vale kesal adalah tampang mengejek di depannya. Sesaat dia menyesal telah mengangumi badan Hiro yang kekar. Duh, dia ngomong apa si.
"Bilang dong kalau di belakang," damprat Vale seraya membuang muka. Dia mengusap kepalanya untuk menghilangkan sakit.
"Salah sendiri mutar arah nggak pake klakson," jawab Hiro acuh. Dikira mobil kali, ya.
"Heh! Bocil. Ngeles aja kerjaan lo. Makanya keduluan start," jawab Hiro dengan telunjuk mengarah ke depan. Tempat di mana teman-temannya menatap mereka seolah daging panggang paling mahal yang jadi rebutan.
Vale tentu saja tidak memahami keadaannya. Sampai Fifi yang muncul dari lorong dan menyeretnya hingga sampai ke dalam kelas. Tak berbeda jauh dari keadaan di lorong. Semua orang menatap Vale seolah napi yang kabur dari penjara.
"Kenapa?" tanya Vale seraya mengangkat bahu. Tidak terlalu peduli sebenarnya. Tetapi semua tubuhnya rasanya mau belrubang karena tatapan mereka.
"Lo belum tahu?" tanyanya berbisik. Sempat mendelik karena berita besar seperti ini sampai tidak diketahui Vale. Seharusnya Fifi tidak heran lagi. Teman sebangkunya memang terlalu tidak peduli. "Arnold udah ngungkapin semuanya. Kalau kalan tunangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
If, Another
FantasyJika bukan lo yang terpilih, akankah semuanya terasa berbeda? Tentang sebuah pilihan. Tentang pengorbanan untuk seseorang. Tentang menolak kenyataan. Tentang mengakhiri atau sama-sama tersakiti. Jika kalian berani memilih, kalian harus mempertahan...