Bab 9

66 12 105
                                    

Pagi cerah sekali. Arin dan dua temannya baru turun dari mobil Lamborghini milik papanya. Senyumnya luntur hingga mulutnya berbentuk huruf 'o' besar. Dia melirik temannya, Jeni yang juga ternganga. "Apa sekolah kita kedatangan artis?" tanyanya histeris. Persis kalau lihat diskon komestik 95% saja.

Jeni menggeleng linglung. "Kayaknya kita salah tempat, deh," jawabnya tak kalah histeris. Kepalanya celingukan ke sana ke mari. Tetapi, tulisan SMA Flavor terpampang jelas di setiap sudut papan nama, brosur yang tertempel sembarangan di dinding dan logo di seragam mereka.

"Jungkook!" teriakkan itu seolah menjadi tanda agar semua mata mengikuti arah pandangan Arin. Tidak butuh bermenit-menit bagi Arin untuk membuat semua jadi mendekat, membentuk kerumunan. Beberapa murid yang berada di lorong jadi tertahan dan memilih ikut bergabung.

Hiro berhenti sejenak. Yah, namanya bukan jungkook. Adanya dirinya yang dipelototi ulet bulu yang pernah ditimpanya tempo hari-omong-omong yang menyebabkan pendaratannya tidal keren. Alisnya terangkat sebelah. Oh, ternyata dandanan rambut bisa merubah seseorang, ya?

Rambutnya dibuat messy. Poninya menutup dahi dengan sempurna. Hiro merengek sama Vale supaya dibuat begini. Biar kayak preman di film-film. Meski jatuhnya seperti preman amatir berwajah bayi.

"Oh, Hai!" sapanya sambil melambaikan tangan sekali. Wajah kekanakannya bisa membuat Arin klepek-klepek. Yang berlebihan, Arin rasanya ketemu anggota BTS beneran.

Vale baru saja terlihat di gerbang. Dia mencolek bahu Fifi yang sudah ikut di kerumunan. "Oi, Kenapa? Pak Daren semaput, ya?" tanyanya ngawur.

Perlu diketahui, Pak Daren adalah guru sejarah yang sangat nyentrik. Sistem belajarnya sangat beda dengan yang lain. Kalian mungkin tahu kalau sejarah identik dengan penjelasan yang membosankan dan guru yang kuno. Pak Daren adalah penggemar Red Hot Chili Peppers. Vale yakin belum lahir waktu mereka debut. Setiap pelajaran sejarah, semua anak selalu nyetok kesabaran kalau dia teriak-teriak nggak jelas. Dan, jam pertama nanti sejarah.

Saat menoleh, dia terkejut melihat Vale terlihat lebih cerah dari biasanya. "Lo nggak kesurupan, kan?" Dia meletakkan telapak tangannya di dahi Vale.

Vale malah cengar-cengir nggak jelas. "Gue kayaknya emang kesurupan."
Fifi mengguncang bahu Vale kencang. Hingga perut Vale mau muntahin lava. "Stop! Stop! Stop!"

Beberapa orang yang berada di dekat mereka menengok sedikit. Lalu mengalihkan perhatian lagi kepada Jungkook kw.

"Lo kudu cerita!" tegas Fifi sebagai keputusan final.

"Oke. Asal lo traktir gue paket happy meal, ya. Eh, emang depan ada apaan?" Dia sampai meloncat-loncat karena terhalang kepala-kepala di depan.

Fifi menonyor dahi Vale dengan telunjuk. "Nggak tahu. Arin hadang jalan," jawabnya menggendikkan bahu.

Vale mengangguk. Nggak heran lagi sama kelakuan makhluk rendahan satu itu. Eh, dia ketularan bahasa alien, kan. "Lewat kelas dua belas, yuk," ajaknya dengan kerlingan jahil.

Fifi menggeleng. "Oh, kalau disogok batagor gue mau, deh," ujarnya memberi kesepakatan. Kebetulan sekali dia belum sarapan pagi ini.

Vale setuju. "Gue nggak sabar ketemu Kak Arnold," gumamnya antusias. Tidak sabar bertemu dengan pangeran hati. Dan komentarnya tentang penampilan Vale hari ini.

Beberapa orang yang sempat melirik mereka, memutar kepalanya kembali. Mereka penasaran siapa cewek berambut panjang yang muka-mukanya tidak pernah dilihat. "Siapa tuh?" Tanya seseorang melihat dua orang yang sudah jauh. Satunya, yang mereka bicarakan tengah meloncat-loncat hingga rambutnya bergoyang.

"Kayaknya nggak ada murid baru." Jeni cuek bebek.

Arin yang masih maksa foto sama Hiro tidak terlalu memperhatikan. "Paling juga mbak-mbak kantin," jawabnya ketika Jeni memberitahu.

Hiro satu-satunya yang tahu siapa cewek yang rambutnya cokelat panjang itu. "Gue emang hebat," gumamnya narsis. Membenahi rambut depan dengan senyum angkuh.

Eh, tunggu bentar. Hiro, kan katanya mau ditraktir batagor di kantin! Vale malah nggak mau berangkat bareng tadi. Wah, sialan tuh cewek.

"Vale!" teriak Hiro keras. Tidak tahu akibatnya. Semua murid langsung menutup kuping. Gendang telinga mereka bergetar hebat. "Batagor gue!"
Hiro berlari mengejar Vale. Melesat bak kilat, menghilang dalam kedipan mata.

***

Vale buru-buru keluar saat jam istirahat berbunyi. Dua jam membosankan sejarah dan satu jam matematik yang membuat otaknya meledek. Dia butuh sesuatu yang menyegarkan otak. Kak Arnold misalnya, hihi.

"Jangan keluar!" Seolah belum puas menyiksa Vale, Arin tiba-tiba mengadang jalan.

Fifi geleng-geleng kepala. "Kita mau lewat," ujarnya mengintimidasi. Semua orang menghormati Fifi sebagai anak salah satu guru di sekolah, kecuali Arin tentu saja.

"Lo bisa keluar sana. Kita mau bicara sama temen lo," timpal Jeni. Dia lantas menarik Fifi agar keluar dari pandangan mereka.

Vale mendesah panjang. Kayaknya banyak banget rintangan buat ketemu Kak Arnold. Tadi pagi, Vale harus mincep Karena Kak Arnold lagi-lagi di ruang modelling. Waktu tinggal sepuluh menit sebelum bel berbunyi Dan, dia dihadang lagi. Ada yang lebih jengkelin dari ini?

"Lo ganti profesi?" Tanya Vale keki.
Arin mengerjabkan mata, tidak tahu gimana maksudnya.

"Kurang duit makanya malak gue," lanjut Vale tanpa berniat basa-basi. Dia mendorong Jeni dan Arin dengan sekali sentakan. Tidak lupa, menyelipkan uang sepuluh ribuat di saku mereka masing-masing.

Hiro yang merhatiin dari tadi udah ketawa ngakak sambil tepuk tangan. Dia tadi bersandar di dinding pojok, berjalan mendekati mereka. "Vale emang keren," gumannya takjub.

Vale mengibaskan rambutnya hingga mengenai muka Arin. Cewek itu tidak jadi marah karena ada Hiro di antara meraka. "Jungkook," sapanya sok manis.

Hiro bergidik melihat Arin tersenyum aneh. Malah berasa kayak senyumnya Naga gunung Amera. Bayangin aja deh Naga yang nyemburin api kalau lagi senyum.

Vale mencembikkan bibir. Terlintas sebuah ide hebat. "Rin, lo mau fotonya si kw?" bisiknya setelah menarik dua cewek itu lebih dekat.

Jeni mengernyit dahi. "Kw siapa?"

Dua lemot ini bikin jantung Vale pingin copot. "Itu, Hiro," tunjuknya pada Hiro terang-terangan.

Arin dan Jeni langsung berbinar ceria. "Mau!" Ujarnya kompak. Persis seperti sasaeng kalau ketemu idolanya.

Hiro menyipitkan mata. Dia curiga melihat tiga orang itu saling berangkulan dengan bisik-bisik tidak jelas. Cowok, eh, demon, eh cowok aja deh. Dia kan lagi di dunia manusia. Cowok itu menajamkan telinga.

"Gue kasih fotonya kw. Kalian jangan ganggu Arnold," ujar Vale seperti menawarkan emas cuma-cuma pada pemungut sampah.

Kening Hiro mengernyit. Dia tidak paham.

"Deal," ujar Arin menjabat tangan Vale dengan goyangan kuat.

"Ternyata mudah ngilangin ulet-ulet kayak kalian," gumam Vale kegirangan.

"Apa?" Tanya Jeni sudah siap tempur.

Vale menggeleng dengan wajah bloon. "Nggak. Sana temuin si kw. Inget, ya! Jangan ganggu Kak Arnold!"

Vale berlari-lari kecil sembari menggandeng lengan Fifi. Mereka cekikikan meski berada dua puluh meter dari tempat Hiro berdiri.

Telinga Hiro sampai sakit mendengar cekikikan kuntilanak itu. "Gue mau digadein?" tanyanya tidak terima. Menonjok tembok di sampingnya hingga menimbulkan bunyi retakan.

"Gue? Digadein?" tanyanya masih tidak percaya. "Sama si buaya?"
Hiro pingin ganti otak Vale biar tahu kalau pesonanya itu tidak dimiliki siap pun. Bisa-bisanya cewek itu seenak jidat jual Hiro pada ulet-ulet di depannya.

Nggak beres! Hiro pingin nelen es krim sebelum kepalanya keluar api.

If, AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang