VIII

53 3 0
                                    

VIII

Sebidang tanah datar kecil dipertemuan punggungan Cisarua dan Pasir Pangrango, menjadi tempat berkumpul untuk makan siang. Kali ini tak membuka fly sheet sama sekali. Membiarkan bagian atas tempat istirahat tanpa pelindung. Sehingga pemandangan langit terbentang luas diatas kepala.
Langit siang ini membentang biru kelabu. Penampakan normal, setelah hujan usai terjadi. Biru langit menjadi lebih terang dari biasanya. Bercampur dengan warna kelabu awan yang berarak. Mungkin awan sisa-sisa dari hujan yang belum turun.
Masakan hampir matang semua, saat Riko dan Yusuf datang. Nasi putih, dengan lauk tumis toge bercampur oncom dan ikan asin. Bau harum masakan merebak. Membuat Yusuf yang baru menaruh ransel, langsung bergabung tanpa membuka sepatu.
"Sambil makan, kita evaluasi pencarian yang tadi dilakukan. Setelahnya baru membicarakan rencana selanjutnya", kata Basith yang baru menutup buku catatannya.
"Bagus juga begitu", komentar Riko pendek, kemudian kembali menenggak sisa air di botol minumnya. Sedikit air keluar dari pinggir bibirnya. Yang kemudian disekanya dengan punggung tangan.
"Apa kau sudah mengecek daerah sekitar sini tadi?" tanya Riko kembali kepada Basith.
Yang ditanya merubah duduknya menjadi bersila. Dan kemudian mengambil piring. "Sudah. Tak ada tanda-tanda mencurigakan menuju puncak. Tapi belum sempat mengecek ke arah Pasir Pangrango".
"Mungkin benar mereka sudah turun", ucap Yusuf.
"Seharusnya begitu", respon Riko yang sedang membuka tali sepatunya.
"Tapi tak ada tanda-tanda juga di jalur Cisarua. Jadi kemana mereka?" imbuh Yusuf dengan nada tanya.
"Aku masih berpikir mereka tersesat di jalur Cisarua. Seperti kataku dulu, mereka bukan pendaki kemarin sore. Pasti mereka sudah melewati pertigaan ini, dan turun ke jalur Cisarua. Kita harus mengecek jalur Cisarua lagi dengan lebih teliti. Memeriksa semua kemungkinan jalur menuju lembah", analisa Basith.
"Apa tak ingin memeriksa jalur Pasir Pangrango?" suara Riko menyela. Kali ini dia yang menyendokan nasi dan lauk ke dalam piring.
"Itu tugasmu. Nanti kau dan Yusuf coba mengecek kesana. Aku ingin memberi laporan ke base camp", Basith berkata usai mengunyah.
Yusuf yang menyendokan nasi berikutnya hanya menganggukan kepala. Ia tak banyak berkomentar. Mungkin karena pikirannya masih buntu. Sebelum kenyang memenuhi perutnya.
"Siapa yang memasak makanan ini? Enak sekali. Mengingatkan pada masakan ibuku", hanya itu komentar yang keluar dari mulut Yusuf.
"Diana yang memasak. Jadikan saja dia istrimu. Tapi langkahi dulu mayat Didi. Sebelum menjadikan dia sebagai ibumu", canda Basith.
Diana hanya membalas kecut canda Basith. Kemudian menundukan kepala, menyembunyikan senyum dikulum.
Kemudian Basith membahas semua yang telah mereka lakukan sejak pagi tadi. Setidaknya hingga siang ini, semua sudah sesuai rencana. Kecuali berhenti karena hujan, dan kejadian bertemu orang gila nyasar di hutan.
Mereka setidaknya juga sudah mengecek enam daerah mencurigakan. Kemungkinan jalur yang dilewati dua pendaki hilang itu. Semua menuju lembah. Hanya sayangnya semua bernilai nihil. Dari semua area penyisiran itu, tak ada tanda-tanda dari dua pendaki yang tersesat tersebut. Baik barang yan tercecer, maupun suara-suara balasan mereka.
"Apa tidak mungkin mereka kembali ke puncak, dan turun melewati jalur yang biasa dilewati para pendaki lain?" kali ini Yusuf yang bersuara. Tampaknya otak besarnya sudah mulai terbuka. Itu juga setelah ia menambah porsi makan, menjadi dua piring.
"Mungkin saja. Tapi pertanyaan besarnya, apa mungkin mereka tersesat dijalur yang biasa dilewati pendaki? Jalur itu setahuku sangat jelas, besar pula, cukup untuk dua orang berjalan berdampingan", sanggah Basith kritis.
Hasil analisa yang telak melumpuhkan teori Yusuf. Sudah jelas, dua pendaki itu tersesat di lembah. Sementara mereka bukan pendaki kacangan. Pasti mereka tetap bersikeras menyusur jalur turun sesuai rencana. Menuju Cisarua.
"Tapi untuk memastikan, kita tetap harus mengecek jalur Pasir Pangrango. Kalau kalian sudah selesai makan, sebaiknya segera bergerak kesana" , saran Basith.
Riko segera menaruh piring kotornya, bersamaan dengan Diana yang sedang menuangkan air. Wanita itu lebih banyak diam sekarang. Apa ia kelelahan? Atau ia berpikir semua sudah berjalan sesuai dengan yang diinginkan?
Semoga dia baik-baik saja, pikir Riko.
Yusuf kemudian menenggak habis semua air yang dituang Diana. Kemudian berdiri dan mulai menyalakan rokok. Pandangannya mencuri ke arah puncak Pangrango. Puncak itu masih terlihat jelas. Kaldera purba dengan kawah mati didalamnya. Puncaknya tertutup pepohonan berbatang keras. Berwarna hijau hingga ke puncaknya, yang serupa payudara wanita.
Belum pernah Yusuf mendaki ke puncak itu, melalui jalur yang dilewatinya sekarang. Karena sebab itu juga, ia ngotot ikut menjadi bagian dalam tim pencari ini. Lantaran ia tahu kesempatan seperti ini sangat jarang terjadi. Cuma orang-orang tertentu yang ingin dan bisa melintas di jalur ini. Jalur-jalur pendakian tersembunyi menuju puncak Pangrango, yang tak pernah dibuka untuk umum.
"Lupakan niatmu ke puncak", ucap Riko seperti membaca pikiran Yusuf. "Sebaiknya kau bersiap, kita akan mengecek jalur Pasir Pangrango sampai setengah jam ke depan. Lalu kita kembali lagi, untuk memberikan kesimpulan".
Yusuf mengalihkan pandangan ke sisi kanannya. Ke arah barat. Menelusuri lekuk mendaki dan menurun jalur Pasir Pangrango.
"Jalur itu tembus kemana?" tanya Yusuf.
"Kau belum tahu? Ujungnya tembus ke Cisaat. Tapi bisa juga turun di Lido, Pasir Arca atau ke yang paling ujung itu, Cisaat", jelas Riko.
Yusuf kembali mengangguk-angguk. Melihat lagi jalur itu, dan membandingkan dengan peta ditangannya.
"Nanti kau jalan didepan. Biar bisa menunggu kalau merasa nyasar", tukas Riko.
Yusuf tersenyum, menyadari kekurangan dirinya. Pilihan yang diberikan Riko, memang yang terbaik. Dan ia sama sekali tak merasa rugi, karena akan mendapatkan wawasan baru.
Setelah mematikan rokok, dan menyimpan sisa sampahnya ke dalam saku. Yusuf segera merapihkan ranselnya. Memasukan jaket yang dipakai, dan mulai memanggul ranselnya yang lumayan besar. Kemudian Yusuf mulai terlihat berjalan menjauh. Mulai menyisir jalur Pasir Pangrango.
Riko hanya mengucap salam perpisahan sebentar. Berjanji untuk tetap berkomunikasi melalui HT. Namun tetap memberi peringatan untuk hemat baterai.
Belum sepuluh menit berlalu, suara HT ditangan Basith nyaring terdengar. Suara Riko terdengar panik. "Segera kesini. Ada mayat ditemukan. Ganti".

Novel ini telah diterbitkan di google playbooks dalam bentuk ebook. Bagi yang berminat membeli dapat menggunakan alamat situs dibawah ini:

https://play.google.com/store/books/details?id=Tju2DwAAQBAJ

com/store/books/details?id=Tju2DwAAQBAJ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang