LIII

37 1 0
                                    

LIII

Meski berawan, pagi ini sebenarnya terasa bening. Transparan seperti air sungai yang jernih. Air sungai yang kini mengalir dibagian kiri jalur lintasan yang mereka lewati.
Tadi mereka sudah berembug. Memahami data-data yang ditinggalkan korban. Dan mencoba makin mengenali korban. Melalui data diri korban.
"Apa kau sudah pernah mengenal kedua anak ini?", tanya Basith kepada Diana.
Pertanyaan yang membuat Diana seperti sedang disidik, kehidupan pribadinya oleh Basith.
"Mungkin kau pernah melihatnya, saat bersama Didi?", ucap Basith memastikan keingintahuannya. Tanpa memperdulikan perasaan hati Diana, yang merasa tak enak. Sebab biar bagaimana, Diana tahu antara dia dan Basith pernah ada rasa. Dan Diana tak mau mengusik Basith, karena ia memutuskan tak memilihnya menjadi kekasih. Tapi sekarang, Diana dipaksa menjelaskan kedekata hubungannya dengan keluarga Didi.
"Rasanya belum pernah melihat. Mungkin mereka kerabat jauh Didi", jawab Diana berusaha menetralkan suasana.
Demi menghindari pertanyan Basith berikutnya, yang membuat Diana jengah. Akhirnya ia memperlambat langkahnya. Berharap Yusuf dan Riko yang berada dibelakang, bisa lebih cepat menyusul.
Ternyata yang terlihat menyusul lebih dulu adalah Dodo. Lelaki berperawakan kecil itu terlihat agak kelelahan. Mungkin karena dia memang tak menyiapkan mental untuk ikut dalam pendakian pencarian ini.
"Sial, niat cuma sampai desa, malah ikut mendaki. Cape deh", dengus Dodo diantara napas yang memburu.
Diana hanya tersenyum saja, mendengar celoteh Dodo. Tiba-tiba ia teringat nama unggas yang sudah punah. Bernama Dodo juga, tapi Diana tak ingat dimana lokasi hidupnya.
Ahh..sudah lupakan saja tentang unggas itu. Lebih baik ia berusaha menyelamatkan yang jelas masih hidup. Seperti dua pendaki yang tersesat itu misalnya.
"Hei cantik, kenapa malah bengong. Kesambet setan ganteng lho nanti", gurau Dodo sesaat setelah melihat Diana yang sedang duduk beristirahat.
Sialan, kesambet setan ganteng bukannya menyenangkan, batin Diana. Membuat senyumnya kembali terkembang. Senyum lebar yang membuat pipinya membulat. Dengan bibir tipisnya, senyum itu jadi terlihat menyegarkan.
Kesegaran alami itu yang kini direguk Basith, sepuas-puasnya. Seperti lebah yang lama tak mendapatkan madu. Basith menghirup itu semua, lengkap dengan tanpa batasan-batasan.
Persetan dengan semua masalah yang menimpanya. Lagipula kenapa ia harus pusing memikirkannya. Mau hari berulang berapa kali juga, seharusnya tak masalah. Selama ia berada di tempat yang ia sukai, apalagi bersama perempuan yang ia puja juga.
Seperti sekarang ini. Walau sudah lima hari berkutat dengan masalah yang sama. Seharusnya ia bersyukur. Karena masalah pengulangan hari itu, tak hadir saat ia berada diperkotaan yang sumpek. Sekarang, ia berada di gunung. Didalam hutannya yang hijau royo-royo. Lengkap dengan kesegaran dan kesejukan yang mendinginkan hatinya.
Kelebihan lainnya. Ia bersama Diana pula. Meski tetap ada batas diantara mereka. Tapi tetap saja, sebuah anugerah tak terkira bisa terus berjalan bersama gadis idamannya itu. Bukankah itu yang selama ini diimpikannya? Dan persetan dengan Didi dan dua keponakannya yang hilang. Mereka semua akan baik-baik saja.

Novel ini telah diterbitkan di google playbooks dalam bentuk ebook. Bagi yang berminat membeli dapat menggunakan alamat situs dibawah ini:

https://play.google.com/store/books/details?id=Tju2DwAAQBAJ

com/store/books/details?id=Tju2DwAAQBAJ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang