XXII

41 1 0
                                    

XXII

Semua terekam jelas dikepala Basith. Jalan menurun menuju lekuk liku miring. Basith teramat ingat, tempat dimana dia dulu tidur dengan hammock. Menggantung diantara dua pohon besar.
Diperhatikan daerah itu. Tepat setelah tempat sebuah bidang datar kecil. Tanah datar cukup untuk dua tenda. Tanah datar satu-satunya, dijalur itu sebelum menemui lintasan punggungan Pasir Pangrango.
"Cisukabirus", tiba-tiba Basith berteriak.
Teriakan yang membuat tiga teman didepannya menoleh ke belakang.
"Kenapa kau?" timpal Riko dengan nafas agak terengah-engah.
"Coba cek peta. Cari sungai Cisukabirus. Daerah itu yang paling sering membuat pendaki tersesat", ujar Basith bersemangat.
Riko segera mengeluarkan peta dari tas pinggangnya. Dibukanya lembar peta foto kopi itu. Matanya kemudian menerabas semua bentukan lembah, diarah jalur punggungan Pasir Arca.
"Sungai ini maksudmu?" tunjuk Riko pada sebuah garis meliuk di peta.
Tertulis nama 'Tjisukabirus' disana. Setelah jari Basith menelusuri liukan garis sungai tersebut di peta.
"Iya benar sungai ini", timpal Basith. "Coba cari hulunya. Perhatikan juga punggungan-punggungan yang mengarah ke hulu. Cari punggungan yang bertemu dengan jalur Pasir Arca", serunya.
Mata Riko kembali mencermati peta tersebut. Diikuti oleh Diana dan Yusuf, juga membuka peta serupa yang mereka miliki.
"Lihat punggungan ini. Ada punggungan menuju Pasir Arca yang mengarah ke Cisukabirus", terka Riko.
Mendengar Riko sudah menemukan punggungan yang dimaksud. Segera Diana mencari tahu, dan mencocokan dengan peta ditangannya. Punggungan itu memang punggungan pertemuan pertama, yang akan mereka temui didepan. Tak jauh jaraknya dari tempat mereka berhenti sekarang. Paling hanya sekitar lima kilometer lagi. Setidaknya bisa ditempuh dalam waktu satu jam didepan, bila jalan menurun.
Punggungan itu memang terlihat menurun langsung, menuju ke arah lembah. Mengantar ke pinggir sungai Cisukabirus.
"Apa mungkin mereka berada di lembahan itu?" tukas Yusuf tak yakin. "Lihat jalur terjal sungai setelahnya", ucapnya kritis.
Mau tak mau Basith mengakui analisa Yusuf sangat masuk akal. Lagipula tak ada informasi tambahan, kalau kedua pendaki tersesat itu mengalami kesulitan saat melewati lembahan. Matanya kemudian menelusuri lagi kemungkinan pertemuan punggungan yang lain.
"Lihat punggungan ini", ucap Diana menunjuk pertemuan punggungan yang agak lebih ke bawah lagi.
Punggungan itu terlihat lebih landai. Namun juga mengarah ke sungai Cisukabirus. Jaraknya sudah mulai dekat dengan desa terakhir dipermulaan jalur Pasir Arca.
Wilayah area disitu juga lebih datar. Namun memiliki lembahan yang lebih dalam. Lebih sangat sesuai dengan kemungkinan lokasi terakhir dua pendaki tersebut tersebut. Diperkirakan jarak tempuhnya lebih dari tiga jam, dari lokasi dimana mereka berada sekarang.
"Oke coba plotting dua kemungkinan tersebut. Apa ada lagi kemungkinan jalur yang lain?" tandas Basith. Ia menunggu sebentar dan kemudian mendapati Riko yang pertama menggelengkan kepala.
"Setelah selesai disini. Kita segera ke titik pertemuan punggungan pertama. Berusaha mencari ke lembah. Kalau tak ada  tanda-tanda dari dua pendaki itu, kita segera ke pertemuan punggungan kedua. Semoga ada tanda baik kali ini", kata Basith mulai mengikat tali sepatu keras-keras.
Diantara tumbuhnya harapan menemukan korban, mereka terkesiap kaget karena tiba-tiba guntur terdengar keras di angkasa. Langit mendadak berangsur menghitam, dan angin mulai keras menghembus.
"Cepat bergerak. Kita masih punya cukup waktu mencari, sebelum hujan turun", komando Basith.
Hujan yang turun kemudian terasa amat deras. Butir-butir hujan besar terasa menyakitkan kulit, karena bercampur dengan dingin. Angin juga berhembus teramat keras. Monggoyang-goyang pohon meliuk kesana-kemari. Kekhawatiran meningkat, takut ada pohon atau dahan yang tumbang seketika.
Dengan pandangan terbatas, mereka tetap melakukan pencarian. Namun hujan lebat membuat mereka tak sadar telah melewati pertemuan punggungan pertama. Baru tersadar setelah Basith berteriak dari belakang. Memperlihatkan jam tangannya, dan menunjukan waktu tempuh turun sudah lebih dari dua jam.
"Lalu bagaimana keputusanmu? Hari sudah semakin sore. Kalau kita kembali naik ke pertemuan punggungan pertama itu, pasti tak cukup waktu", suara Riko terdengar serak diantara deras hujan yang terus turun.
Basith merasa serba salah juga. Benar kata Riko, kembali ke atas sama saja membuang waktu. Lalu ia teringat kira-kira jam berapa, saat kemarin mereka menerima kabar korban telah selamat. Lalu ia memperhatikan jam di pergelangan tangan. Masih ada waktu sekitar dua setengah jam, menurut perkiraan Basith. Sebelum dua pendaki tersesat itu ditemukan. Ia lalu berpikir keras, dan kemudian mengeluarkan kata-kata, "Kita langsung turun saja ke bawah. Kita cegat kedua pendaki itu dijalan. Syukur-syukur kalau mereka belum menembus jalur jalan menuju ke desa".
Di kepala Diana keputusan Basith itu justru terdengar mengesalkan. Menurut Diana, Basith sudah terlalu berlebihan dengan pengalaman anehnya. Pasti semua keputusan tadi berdasarkan pengalamannya yang aneh itu, pikir Diana.
"Sudah kukatakan Basith. Kau tidak bisa mengambil keputusan, hanya berdasarkan pengalaman anehmu mengulang hari itu saja. Kita juga seharusnya mengecek jalur-jalur yang tadi sudah dijadikan target", sembur Diana marah.
"Waktunya tinggal sedikit. Aku tak ingin membuang waktu lagi, untuk hal-hal yang tak pasti", ujar Basith mulai bergerak ingin mendahului.
"Tunggu dulu. Sebelum kau turun, kau harus mendengar semua pendapat kami. Atau setidaknya kita adakan voting, untuk keputusan bersama yang paling tepat", sergah Diana.
Basith menatap kawan-kawannya yang lain. Yusuf dan Riko hanya mengangkat tangan. Antara setuju dengan komando Basith, namun juga menginginkan saran Diana dijalankan.
Basith kembali melihat jam. Jarum terus berdetak. Makin lama, makin banyak waktu terbuang. Ia kembali menatap kawan-kawannya.
"Baiklah kita adakan voting. Sesuai keinginan Diana. Aturannya jelas. Karena waktu kita makin mepet, voting dilakukan praktis saja. Yang setuju kita kembali ke atas, dan mengecek jalur ke lembah, harap angkat tangan", ucap Basith.
Tak ada yang mengangkat tangan.
"Oke, baiklah kalau begitu. Yang setuju kita turun ke pertemuan punggungan kedua  dan mencari ke Cisukabirus, harap angkat tangan", tambah Basith.
Hanya Diana yang mengangkat tangan. Diana merasa kesal dengan kondisi itu. Sebab ia merasa kelompok pria didepannya sekarang, bersekongkol untuk mengalahkannya.
"Yang setuju dengan usul segera kembali ke bawah, mencegat dijalur atau desa terakhir, harap angkat tangan", pilihan terakhir keluar dari mulut Basith.
Kali ini yang mengangkat tangan hanya Basith sendiri. Membuat Basith jadi merasa jengkel. Terlihat dari raut mukanya yang berubah. Raut muka yang berubah menjadi lucu, membuat Diana tertawa sembunyi-sembunyi.
Basith lalu melihat Yusuf dam Riko. Kedua pria itu tampak berdiri kedinginan. Badan bergetar karena hujan terus turun, menerpa tubuh mereka. Pelan-pelan Yusuf mengangkat tangan.
"Yang penting cepat turun saja", ucapnya ragu-ragu, tak ingin dipersalahkan oleh Diana. Sementara Riko sudah ngacir terlebih dulu, turun ke bawah.

Novel ini telah diterbitkan di google playbooks dalam bentuk ebook. Bagi yang berminat membeli dapat menggunakan alamat situs dibawah ini:

https://play.google.com/store/books/details?id=Tju2DwAAQBAJ

com/store/books/details?id=Tju2DwAAQBAJ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang