1. Perpisahan

11.9K 645 64
                                    

Purworejo, hari ini

Cahaya kuning yang memancar tak menghentikan Bina yang sedang mengepak beberapa barang Calla untuk di bawa ke Jogja.

Sekian tahun setelah perjuangan hidupku makin berat. Amanah baru, cerita baru dan lingkungan baru mewarnai hidup kami.

"Bun ini juga di bawa?" Bina tersenyum.

"Buat apa. Di sana kan banyak nak." Calla hanya mendengus.

"Yaudah." Ucap Bina. "Ayah kok nggak bantu sih." Teriak Calla yang kini yang tengah memegang lakban di tangannya.

"Ayah bantu doa dari sini, iya kan dek." Daffa mengangguk sambil mengamati Bunda dan kakaknya yang sibuk.

Namanya Daffa, anak kedua kami. Usianya kini sudah menginjak 8 tahun. Besok ia sudah kelas dua  dasar. Waktu secepat itu berlalu, rasanya baru kemarin aku bersama Bina menikmati masa pacaran. Ternyata sudah tujuh belas tahun semua berjalan. Menjalani bahtera rumah tangga bersama Bina.

Nama lengkapnya Daffa Adnyana Yuddhaga. Nama yang indah, pemberian opa dan yangkungnya.

Daffa tumbuh sehat dan ceria, ia hadir menjadi pelengkap kehidupanku dan Bina. Menghadirkan tawa di setiap nafas kami. Tangan kecilnya selalu mengusap air mata bunda dan kakaknya.

Ia hadir membawa cerita, anak kecil yang lahir di Semarang itu kini tumbuh kuat. Menjadi ketua kelas dan selalu memimpin barisan.

"Yah, besok kalau Mbak di Jogja Daffa sama siapa?" Aku mengusap kepalanya. "Nanti Daffa sendirian cuma sama bunda, nanti kaki Daffa yang satu nggak ke isi seperti biasa." Lanjutnya. Kaki tidak terisi yang ia maksud adalah, ketika di ruang keluarga kata Bundanya Daffa sering meminta mereka untuk tidur di kakinya sebagai bantal. Layaknya orang dewasa.

"Nanti ayah yang tidur di kaki Daffa, kan nanti Mbak Calla tetap pulang nak." Aku mengelus rambut cepaknya. Anak ini tidak pernah memiliki rambut yang panjang. Ayah cukur, sama dengan Daffa juga harus cukur.

"Mbak, nanti kalau mbak di Jogja terus kangen Adek jangan nangis ya." Teriak Daffa dari pangkuanku.

"E Eleh, nanti kamu yang nangis Dek, paling juga dua jam Mbak tinggal sudah mewek terus." Kami semua tertawa melihat tingkah lucu Daffa, garis wajahnya yang menurun dariku membuatnya terlihat tampan. Ehe, tanya saja bundanya.

"Yah sudah hubungi Om Dimas belum, nanti lupa dia?" Kini suara merdu bundanya yang terdengar.

"Sudah, itu sudah terlihat hidungnya." Bina memang membelakangiku.

"Selamat sore ndan, izin menghadap. Apa ada yang bisa di bawa ke mobil?" Aku bangkit, di ikuti Daffa yang sebenarnya galau di tinggal sang kakak.

"Itu kamu bawa saja Dim, nanti yang lain masih di dalam." Aku melihat raut Bina yang mencoba tegar masuk ke dalam kamar. Mungkin ia bersiap untuk mengantar Calla sore ini juga.

"Bun." Bina menoleh, tersenyum. Aku langsung memeluknya. Tangisnya pecah juga.

"Bunda yang membuat keputusan ini, bunda harus menerima segala konsekuensinya. Calla saja enjoy, bunda juga harus enjoy. Jaraknya bisa kita jangkau. Kapanpun bunda mau kesana."

"Tapi Yah, apa Calla bisa?" Aku mengangguk.

"Asal bunda ikhlas, Calla akan enjoy, biarkan dia berkembang, di dekat bunda dia nanti jadi manja." Bina menangis sampai pintu di ketuk.

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang