17. Kembali Kehilangan

2.9K 428 42
                                    

Author POV

Tembakan salvo terdengar jelas di pemakaman. Air mata yang kemarin belum kering kini sudah kembali basah. Makam sebelahnya masih basah dan bunganya masih segar.

Purnawirawan Jenderal bintang dua yang begitu di cintai para anggotanya itu kini hanya bisa di kenang dalam ingatan dan angan. Upacara pemakaman militer itu di pimpin langsung oleh Kapolda.

Di hadiri ratusan pelayat dari jajaran kepolisian Indonesia. Mantan Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta pada masanya. Kebanggaan dan kecintaan warga Jogja.

Pagi tadi Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono  beserta jajaran datang melayat. Begitupun Pangdam IV/Diponegoro. Sore kemarin melayat. Yang tadinya ingin melayat almarhumah Oma.

Aksa berdiri dengan pandangan kosong. Membawa foto papanya yang tersenyum. Arya teman dekat sekaligus besannya pun begitu terpukul. Duduk memegang bahu putrinya yang begitu kehilangan. Di wajahnya terlihat bekas air mata yang samar. Kemarin ia masih makan bersama, bahkan masih memberikan semangat untuk sahabat terdekatnya itu. 

Arya tahu semalaman Bina dan Aksa tidak tertidur. Mereka belum beristirahat. "Kuat kuat kuat ya." Bina mengangguk dengan tatapannya yang masih kosong. Tapi air matanya jatuh begitu saja.

Dua cucu kesayangan Opa dan Omanya sama. Dua kali Calla sudah pingsan hari ini. Tangisnya tak berhenti, meraung yang ia bisa. Begitupun Daffa, tak dapat lagi ia menahan isakannya saat melihat peti jenazah Opanya masuk ke dalam liang lahat.

Semuanya menangis, Opa menyusul Oma pergi kehadapan sang pencipta tepat sehari setelahnya. Dengan tenang dan senyum. Tubuh tegap Aksa berguncang ketika perlahan tanah menutup peti itu.

Papanya benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Tidak akan pernah kembali. Tidak akan pernah lagi kembali.

Sambutan dari Kapolda begitu mengharu biru. Bahkan suaranya parau, seperti menahan isak atas kepergian senior yang begitu di cintainya.

Dan kini giliran Aksa mewakili keluarga menyampaikan sepatah dua patah kata. Di dampingi Arya mertuanya Aksa berusaha tegar.

Sesekali Arya mengusap punggung Aksa saat Aksa berhenti berucap. Berat yang pasti, sangat berat kehilangan cintanya. Kehilangan secara bersamaan.

Aksa merasa baktinya belum cukup untuk kedua orang tuanya. Tapi kini, hanya doa yang bisa Aksa hadiahkan untuk papa tercintanya.

Acara selesai, Bina dan Calla sudah masuk ke mobil. Kondisinya begitu buruk, Bina sudah pingsan lagi setelah upacara selesai. Begitupun Calla yang terus menerus meracau memanggil Oma dan Opanya. Tinggal Aksa yang masih berjongkok di samping pusara orang tuanya. Dipta ada di belakang bersama Bima.

"Pasti seneng ya Pa. Sudah ketemu mama lagi. Papa manja ya ma. Benar-benar nggak ingin jauh dari mama. Makasih ma pa, sudah jadi orang tua yang hebat untukku. Sudah jadi orang tua yang selalu berjuang untuk kebahagiaan ku. Terima kasih ma pa. Sudah hadirkan cinta untuk aku dan keluarga kecilku. Sudah menjaga permata ku saat aku jauh." Aksa diam cukup lama. Tangisnya kembali pecah. Dipta ikut berjongkok di belakang Aksa.

"Aksa belum bisa jadi anak yang baik buat kalian. Bakti Aksa belum cukup Ma Pa."

"Tapi Aksa ikhlas, mama dan papa sudah nggak sakit lagi. Mama dan papa sudah nggak harus ke rumah sakit lagi. Mama dan papa sudah kembali bersama."

"Aksa akan melanjutkan perjalanan hidup ini Pa Ma. Seperti keinginan Papa dan Mama. Aksa akan selalu ingat apa yang selalu papa tanamkan dalam hidup." Tangis Aksa kembali pecah. Memori kebersamaan bersama orang tuanya terputar jelas. Saat berdiri di depan presiden menerima Adhi Makayasa. Saat pantukhir masuk Akmil. Saat ia masih sekolah dasar belajar sepeda. Semuanya terputar jelas dan begitu menyayat hati.

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang