Kulihat mata lentik istriku tengah berbinar. Wajah kedua buah hatinya tampak dari layar kaca. Kami tidak bisa pulang. Karena sedang ada di Kudus.
Hari ini tepat peringatan tahun ke duaku di sini. Kalau di bagaian sebelumnya adalah bagian awal.
Disini adalah bagian dari perpisahan ku di Semarang. Kunjungan terakhir sebelum kami akan meninggalkan kota lumpia ini. Aku dan Bina membekali Calla dan Daffa dengan semangat.
Tak lama dari kursi belakang mereka muncul Dipta. Anak tertuaku. Aha tidak. Dia anaknya Mbak Galuh yang kulihat selalu menangis dulu. Tapi kini setiap pulang ke rumah. Rumahnya pulang adalah kami. Uti Kanya dan Kakung Arya.
Simbah Haryo imam masjid sudah memasrahkan cucunya padaku. Dipta, laki-laki baik yang kurang beruntung.
Kakak laki-lakinya mungkin mengalami gangguan jiwa. Hingga bisa-bisanya memusuhi adiknya sendiri.
Saat itu aku melihat ia duduk sendiri di depan rumah saat Lebaran tiba. Wajahnya murung tidak ada senyum. Tatapannya begitu memelas, aku mencoba mendekatinya.
"Hey Le, kok di sini. Ibu sama ayah kan pulang Lebaran gini." Ia menggeleng menatapku.
"Mau ikut om. Om mau beli donat ke Gramedia." Tawar ku agar ia terhibur.
Sejak saat itu jika kami bertemu aku akan membuatnya tersenyum dan mensyukuri indahnya hidup ini. Hingga sekarang, aku bersyukur adanya Calla dan Daffa membuat tawanya begitu lebar.
"Yah kami nanti ke Hartono ya, abang mau nraktir Mbak Calla dan aku." Kami tertawa.
"Iya boleh mumpung masih libur tapi tugas semua udah beres kan?"
"Udah kok. Tinggal mbak Calla aja yang mau sambil ngerjain tugas." Bina langsung melirik ke arahku.
"Jangan sampai kecapekan ya. Ayah tutup nih. Mau siap-siap beresin rumah. Mbak Calla hati-hati nyetirnya." Setelah telepon tertutup aku kami kembali ke arah mobil.
Sepanjang perjalanan Bina bersandar pada pundakku. Kepalanya terasa berat katanya.
"Sebentar lagi pulang. Mampir ke klinik dulu?" Dia menggeleng.
"Bunda cuman pengen meluk Calla dan Daffa saja." Aku tersenyum memeluk istriku tercinta terkasih dan ter ter.
"Ayah tahu seberapa rindu bunda tiga bulan nggak ketemu. Sabar ya pasti nanti di kasih waktu yang tepat untukv ketemu. Kasian mereka kalau hari ke sini. Jauh banget lho sekalipun bisa lewat tol.
Bina hanya mengangguk. Memejamkan matanya lalu memelukku. Menangis seperti anak kecil yang rindu dengan bundanya. Ini sebaliknya
"Eh ada Om Dedy. Bunda nggak malu?" Bina menegak.
"Ayah tuh nggak pernah tahu rasa khawatirnya bunda sama mereka. Rindunya bunda. Berat bagi bunda jauh-jauh Trus. Kalau bunda bisa belah tubuh bunda. Bunda rela , asal bisa temenin mereka dan mendampingi ayah. " emosi bina Tersulut. Pasti sedang halangan.
Begitu sampai di rumah dinas. Yang kulihat di depan membuat air mata ku berkaca-kaca.
Ada mobil plat AB di garasi. Bina langsung ku bangunkan. Ia tertidur setelah meronta tadi.
"Ada siapa itu di dalam." Bina langsung melompat keluar. Ia hafal luar kelapa plat mobilnya. Begitu sampai di dalam rumah. Bina menangis, berlari memeluk kedua cintanya.
"Selamat ulang tahun pernikahan ayah dan bunda. Terima kasih sudah jadi orang tua yang terbaik untuk Mbak dan Adek. We love you booth."
"Makasih. Bunda kangen banget sama kalian nak. Bunda kangen sama Calla sama Daffa. Makasih ya."
Malam ini jadi malam haru bagiku. Pada tengah acara makan kue bersama Bina berlari ke kamar mandi. Memuntahkan semua isi perutnya. Dengan sigap Calla menyusul.
Aku terharu melihat sikap sigap Calla sebagai calon dokter.
Terima kasih nak. Ayah bangga punya kalian.
✨✨✨
Bina meneteskan air mata begitu ibu wakil memeluk tubuhnya.
Ijin. Terima kasih Mbak atas segala bimbingannya. Ijin selamat mendampingi Bapak di satuan yang baru. Semoga bisa kembali di persatukan kelak di kesatuan yang sama. Ijin bu. Ibu sangat Baik." Ucapan yang begitu tertahan karena menahan air mata. Tapi tetap tidak bisa, dua tahun penuh makna di kota ini. Dua tahun juga kenangan indah terajut penuh warna. Tak ku sangka waktu akan secepat ini berlalu. Sepertinya baru kemarin aku dan Bina berjalan di gapura depan Kodam IV/ Diponegoro tapi hari ini. Aku sudah harus meninggalkan semuanya.
"Ibu Bina." Teriak anak kecil yang berlari mengejar Bina. Bina tersenyum tangannya merentang, menyambut anak kecil itu dengan pelukan yang tulus.
"Kok ibu pergi besok Arkan sama siapa belajar menghitungnya?" Aku tersenyum mendengar suara kecil Arkan.
"Ibu harus ajarin temen-temen kamu yang lain. Besok kalau ibu ada waktu pasti ibu akan balik ke sini. Tapi janji ya Arkan harus rajin sekolah. Ibu yayasan pasti kangen. Bu Merry pasti ngajarin Arkan berhitung sampai seratus. Ibu pamit ya. Jangan lupain ibu ya Kan." Bina memeluk Arkan lagi dengan penuh cinta.
"Buat Ibu Bina dari Arkan." Bina mengangguk. Menerima sebuah kertas putih yang di lipat menjadi kecil.
"Makasih. Ibu pasti suka. Arkan janji ya rajin sekolah. Biar jadi tentara, biar mama sama papa bangga sama Arkan ya nak." Pemandangan indah ini rak luput dari puluhan pasang mata. Termasuk Ibu Arkan yang sudah menangis.
"Arkan anak yang baik Bu Edi. Semoga bisa bertemu di lain waktu ya." Bina memeluk Bu Edi.
"Ijin. Terima kasih ibu atas kebaikan untuk keluarga kami. Selamat bertugas di kesatuan yang baru. Ijin semoga ibu dan keluarga sehat selalu."
Perpisahan yang berat. The end of begining. Akhir untuk memulai awal yang baru. Selamat tinggal sejenak Semarang. Terima kasih rumah dinas ke enam belasku. Sampai jumpa lain waktu.
Sepanjang perjalan Bina terus tersenyum. Melihat gambar yang Arkan imajinasi kan sebagai bina tengah mengajari Arkan berhitung.
Sampai jumpa di bagian berikutnya. Tentang sebuah keputusan yang sulit dan tak terduga dalam hidupku sebagai seorang ayah.
✨✨✨
Kebut gaes semoga sukaaa. Ternyata minus di mataku bertambah. Tapi apalah daya tidak suka memakai kaca mata Huhu
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaradana
RomanceAsmaradana terdiri dari dua kata, asmara dan dahana (dana). Asmara adalah cinta, dahana adalah api. Bisa di artikan menjadi cinta yang menggelora. Atau rasa yang selalu berbunga-bunga. Seperti rasa ku terhadapnya, selalu mengobati di setiap nafas. A...