6. Bidadari Surgaku

3.8K 419 18
                                    

Bina masih terus menggenggam erat tanganku. Sepanjang perjalanan kembali ke Purworejo ia terus memegang tanganku. Sesekali ia memainkannya.

"Bunda kenapa sih?" Dia menoleh, lalu menggeleng.

"Nggakpapa, deg-degan aja Yah." Aku menahan tawa, pukul dua nanti aku harus mendampingi Pangdam beserta istri, kunjungan ke Kodim Purwodadi, tempat

"Ini tangan kok lembut banget sih bebeb." Aku mencoba mencairkan suasana. Bina nanti akan berhadapan dengan langsung dengan istri Pangadam. Ketua persit regional IV.

"Ayah, jangan ganggu dong. Deg-degan ini." Aku terikikik. Mengusap jilbab nya. Wajahnya terlihat begitu cantik.

"Bebeb loh, udah berapa tahun jadi istri. Kok masih tetap deg-degan ketemu ibu Pangdam?" Bina melirik ku tajam. Arya anggota baru ku tertawa di depan.

"Ayah sih laki-laki. Nggak tahu perasaan bunda gimana." Aku tersenyum. Lima tahun menjabat di batalyon ini sangat banyak pelajaran dan cerita hidup yang ku dapat. Dari seorang penghujung letnan Kolonel, dan sekarang sudah penghujung Kolonel. Bina dan aku berkembang di sini

"Ya masa ayah mau jadi perempuan. Bunda gimana sih, jeruk makan jeruk?" Cubitan keras mendarat mulus di lenganku.

"Tauk lah Yah. Bunda marah sama ayah. Tiga detik." Aku terkekeh. Lalu bersandar di bahu Bina.

"Ayahhhhhh" teriak bina keras. Bina tidak akan bisa lama marah terhadapku.

"Nanti baju bunda lecek." Aku terkekeh geli. Lagi-lagi aku tertawa karena ucapannya.

"Maaf-maaf. Bunda kenapa sih kok gelisah." Aku melihat wajahnya.

"Bunda khawatir Yah. Bunda ngerasa nggak enak sama pengurus yang lain. Mereka lari kesana kemari, sedangkan bunda. Duduk di sini, diam nggak bisa bantu." Aku mengusap air matanya yang mulai menetes.

"Ini kan mendadak Bun, bukan salah Bunda. Ayah yakin yang lain juga paham, kan sebenarnya kita masih dapat cuti sampai tiga hari ke depan. Ini yang terbaik, sudah jangan nangis. Ayah percaya dengan pengurus." Bina memejamkan mata dalam rangkulanku. Menunggu tiga puluh kilo meter lagi. Dan aku akan sampai di batalyon tercinta.

Melihat wajah Bina yang tenang, ia begitu bahagia hidup di lingkungan ini. Banyak yang bilang ini karena efek Bina menjadi ketua Persit, tapi menurutnya. Ini lebih, lebih dari sekedar ketua dan pengurus dan keseganan seseorang.

Kami sampai di gerbang, masih banyak waktu untuk persiapan. Aku melihat Bina langsung turun dan meminta maaf dengan seluruh pengurus. Karena kami tidak di tempat saat persiapan.

Seharusnya, aku mendapat cuti satu minggu, tapi ternyata. Ada kunjungan mendadak yang membuat kami langsung pulang pagi tadi.

Di Jogja, Calla dan Daffa pasti tengah melamun, memikirkan liburan mereka yang hancur. Sore ini rencana kami akan ke Surabaya. Menengok Simbah dokternya yang sedang kurang enak badan. Sekalian kita akan pergi ke makam dokter Araf.

Pukul dua tepat, rombongan datang, aku dan Bina sudah siap menerima tamu Agung ini.

Aku bersalaman ala laki-laki. Menyambut bapak nomor satu di regional IV ini. Sedangkan Bina, ia ber cipika cipiki dengan istri dari Pangdam. Kami semua berjalan menuju gedung pertemuan. Akan ada arahan yang di sampaikan oleh Pangdam beserta ibu.

Saat acara jamuan dan ramah tamah, sesekali aku memperhatikan Bina yang tengah tersenyum dengan ibu Pangdam.

"Ternyata dek Bina itu adik tingkat aku pas kuliah lo Pah." Bu Irwan yang tengah mengobrol dengan Bina berujar pada suaminya.

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang