9. Pisah Sambut

3.5K 413 15
                                    

Lagu sampai jumpa terus mengalun dari ponsel Bina. Sejak minggu lalu Bina di sibukkan dengan laporan dan administrasi Persit.

Di ruang tamu ada tiga pengurus persit yang saling berpelukan. Esok lusa adalah hari terakhir kami, aku dan Bina menjabat sebagai komandan Batalyon Infantri Mekanis 412 ini.

Hari esok, Bina akan menyerahkan semua tanggung jawab dan wewenang kepada pejabat baru, bahkan tadi di kantor, tepatnya di ruang pertemuan. Sudah terpampang jelas. Serah Terima Jabatan dari Pengurus lama ke pengurus Baru.

Dari Ny. Angkasa Yudha kepada Ny. Prasetyo Wibowo. Aku bisa melihat pilunya Bina malam ini.

"Hari ini, saya nggak mau ada yang Ijin kalau ngomong sama saya." Ketiga ibu persit itu kini menangis memeluk ketuanya.

"Bu Aksa baik, Bu Aksa teladan bagi kami. Semoga Ibu selalu di limpahi sehat ya Bu. Terima kasih sudah mengajarkan saya cara merangkai bunga." Bina tersenyum, dan kembali memeluk sahabat perjuangan di dalam organisasi persit.

"Iya mbak, mbak teladan bagi kami untuk kuat. Mbak yang selalu menyemangati saya saat dulu di tinggal suami satgas. Mbak Aksa yang selalu mengajarkan saya untuk hidup sederhana." Aku melihat Bina mengusap air matanya kasar. Orang sekuat kamu tetap bisa rapuh Bin.

"Bu Aksa adalah panutan saya, saya masih begitu ingat ketika pengajuan nikah, Bu Aksa juga masih awal di batalyon, masih jelas di ingatan saya. Menjadi istri prajurit itu bukan hanya tentang  menjadi istri. Tapi menjadi pakaian suami. Dan Bu Aksa yang mengajarkan saya arti sederhana. Arti kebersamaan. Saya pikir, dulu hidup saya akan terbatasi ketika bergabung di persit. Tapi ternyata tidak Bu, Ijin Bu, Bu Aksa baik sekali. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan untuk belajar di sini bersama Ibu." Tangis Bina kini pecah, memeluk ketiga teman perjuangannya.

"Jangan membuat saya semakin berat berpisah bersama kalian ya Adek-Adek. Pasti ada banyak hal yang akan saya rindukan di sini. Tawa canda, mungkin jalan-jalan kemarin menjadi jalan-jalan yang indah dan menyenangkan. Semoga kita bisa bertemu lagi ya di manapun tempatnya." Beginilah hidup, ada perpisahan ada juga perkenalan.

Ada pisah, ada sambut, semua saling beriringan.

Malam semakin larut berganti dengan pagi yang cukup cerah. Aku melihat Bina memakai seragam persit. Matanya terlihat begitu sembab sisa tangis semalam.

Pagi ini ada acara pisah sambut yang tidak ingin kami lewati. "Sudah siap tidak menangis kan Bun." Tanyaku di depan kaca. Bina hanya menengok, tak bersemangat menanggapi candaan ku.

"Ya elah Bunda. Senyum dong, kan kita masih bisa kesini." Bina mengusap air matanya.

"Bun, jadilah pemimpin yang kuat ya. Ada hikmah di balik semua ini, jangan pernah menyesal ataupun sedih dengan semua garis hidup kita. Cukup di syukuri dan di jalani." Ucapku pada Bina yang masih melamun.

Kami keluar dari rumah, menuju tempat di mana kami berteduh selama ini.

Menapaki langkah demi langkah, dari Kolonel hingga kini aku akan menjadi seorang jendral pertama.

Langkahnya yang dulu kecil, kini semakin gesit. Dia dulu kecil dan mudah menangis, tapi kini. Dia adalah seorang yang luar biasa.

Bunda dari buah cintaku, dan bunda bagi ratusan prajurit yang sebentar lagi kami tinggalkan.

Sejauh apapun tugasku, ia berjanji untuk selalu berjalan di sampingku. Menggenggam tangaku erat seperti setiap tahunnya.

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang