16. Kebahagiaan dan Kehilangan

3K 458 71
                                    

Mendebarkan untukku dan Bina hari ini. Hari ini adalah sidang pantukhir yang di jalani Daffa. Alhamdulillah, masuk terakhir parade.

Aku dan Bina menunggu di halaman bersama orang tua yang lain. Calla juga ikut datang bersama kami. Tidak ingin Calla melewatkan kesempatan ini.

"Bun kok Mbak yang deg-degan. Adek bisa nggak ya jawab pertanyaan pamongnya." Bina tersenyum. Mengusap rambut Calla, aku yakin Daffa pasti bisa menjawab pertanyaan maut para penguji.

"Mbak Calla harus yakin sama adek kalau adek bisa." Calla mengangguk. Iya kami bertiga sekarang ada di SMA TARUNA NUSANTARA. Sekolah impian jiwa muda, sekolah semi militer ini begitu favorit dan berbiaya fantastis.

Apapun untuk anakku, semua akan kulakukan dengan ikhlas.

Setengah jam menunggu. Satu persatu casis mulai keluar. Kami mendekat ke pintu keluar casis. Menunggu Daffa yang keluar cukup lama. Sudah tiga teman Daffa dari panda yang sama keluar. Mereka lolos dengan senyuman bangga.

"Itu adek Bun." Calla menunjuk Daffa yang keluar dengan air mata. Wajahnya menunduk mengusap air mata. Ia memakai baju putih hitam khas orang mendaftar tentara.

Semoga ini kabar baik untuk kami. Semoga ini tangis itu adalah bahagia bagi kami.

Begitu melihat kami Daffa langsung berlari memeluk bundanya. "Lolos Bun." Calla melompat bahagia. Aku pun tak kalah tersenyum.

"Alhamdulillah, selamat adek berhasil berjuang masuk SMA impiannya. Semangat dan selamat ya dek. Bunda bangga." Bina mengecupi kepala Daffa.

"Yah. Satu langkah lagi untuk impian Daffa." Aku mengangguk. Merentangkan tangan lebar, menyambut Daffa dengan pelukanku.

"DUIT dek. Doa usaha ikhtiar tawakal. Selalu berusahalah jadi yang terbaik nak. In syaa Allah. Allah akan selalu ada di sisimu. Ayah dan bunda hanya mendoakan untuk kebahagiaan dan kesuksesan kamu. Jangan sombong, tetaplah jadi sederhana. Tetaplah belajar dan ingin belajar ya dek. Ayah dan Bunda ada di belakang kamu." Daffa malah menangis semakin kencang. Anak kecil yang dulu selalu menjadi ketua kelas ini sekarang sudah beranjak tumbuh.

Tingginya hampir menyamai ku. Kakaknya saja kalah dengan Daffa. "Selamat ya Dek. Walaupun kita bakalan jauh, mbak akan selalu kangen adek." Bunda mengelus puncak Bina dan Daffa.

Kebahagiaan ini kami bawa pulang ke Jogja. Minggu depan Daffa sudah harus menjalani kehidupan SMA barunya. Tinggal di asrama, orientasi pertama.

Bina menatapku lama. "Ada apa Bun?" Ia hanya menggeleng.

"Om Bima. Di buka hpnya, ibu di wa Om Reza." Aku menatap aneh ke arah Bina dan   Bima.

"Siap ibu." Aku diam menatap ke depan. Rasanya tubuhku begitu lesu.

"Kenapa Om?" Tanyaku curiga.

"Siap. Reza meminta cepat sampai Ndan. Ada masalah sedikit di barak. Tapi saya hati-hati. Ijin petunjuk."

"Oh. Ya sudah hati-hati." Aku diam sepanjang perjalanan. Begitupun dengan Bina di sampingku.  Bina terlihat gusar.

"Lo om. Kok ada pengawalan. Ada apa?" Aku semakin curiga dengan keadaan. Di depanku ada dua mobil polisi. Kami menerabas setiap lampu merah sepanjang masuk ke perbatasan Jogja.

"Om jawab." Bima hanya diam. Aku menoleh ke arah Bina. Matanya sudah penuh dengan air mata.

"Bun." Bina memelukku.

"Ada apa Bun. Jawab ayah." Bina menggeleng lantas mengeratkan pelukannya.

"Yang sabar. Sudah rencana Allah seperti ini mas " aku diam. Seperti di sambar petir.

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang