19. Awal Perjuangan Daffa

3.1K 416 19
                                    

Denting sendok dan piring yang beradu menemani meja makan pagi ini. Masih pagi, jam masih menunjukkan pukul enam. Tapi semua sudah rapi dengan kesibukan masing-masing.

"Uti nggak ikut beneran?" Tanyaku. Mama hanya mengangguk.

"Iya, kan ini belum beres rumah Bun. Kasian orang yang bantu-bantu nanti kalau nggak ada yang masakin." Aku mengangguk.

"Maaf ya ti. Jadi ngrepotin." Ucapku tidak enak.

"Nggakpapa bun. Yang kung sama yang ti itu harus banyak banyak olahraga. Bener kan Ut?" Papa  meminta persetujuan mama.

"Iya. Yang penting doa Kakung sama Uti selalu buat dek Daffa. Dilancarkan semua pendidikannya sampai nanti Prasetya alumni. Ya Le." Daffa mengangguk.

"Makasih ti." Daffa hari ini memakai seragam SMP nya. Calla dengan baju santai. Sama seperti ayahnya yang menggunakan baju preman.

"Mbak panggil Om Bima sana. Itu udah di depan pasti." Calla keluar. Aku melihat Mas Aksa yang diam.

"Sarapan dulu Bim." Ucapku.

"Siap. Ijin Bu. Sudah sarapan tadi. Terima kasih sebelumnya." Jawabnya.

"Udah sini. Mbak Calla ambilkan om piring ya." Perintahku pada Calla. Kami melanjutkan makan. Semua selesai, Bima mulai menarik koper Daffa ke mobil.

Aku kembali bersiap sekali lagi dan menarik nafas panjang. "Ayo Bun." Aku mengangguk saat Mas Aksa masuk.

"Iya yah ini sudah kok." Aku menutup pintu kamar.

Di beranda sudah berkumpul, Daffa tengah memeluk utinya dengan erat.

"Baik-baik, selalu jaga kesehatan kebersihan ya dek. Uti sayang adek. Mbak Calla akan baik-baik aja. Ya nak." Aku tersenyum.

Semua masuk ke dalam mobil. Mas Aksa memilih duduk di samping Bima. Sepanjang jalan semua hanya diam. Daffa memegang erat tanganku dalam diamnya.

Aku mendongak, ternyata anakku sedang menatap bundanya. Aku mempererat pegangan tangannya. Daffa pasti berat meninggalkanku.

Sampai di Taruna Nusantara, di sana sudah ramai dengan mobil yang begitu banyak. Ada banyak tipe, Bima sudah berkoar, mirip dengan dealer mobil saja.

Orang tua di perbolehkan mengantar anaknya sampai Balairung Pancasila. Tempat nantinya Daffa akan membuka pendidikannya. Semua anak menyeret kopernya masing-masing.

Hingga mereka di persilahkan untuk berpamitan kepada orang tua masing-masing.

"Mbak, besok tiga tahun lagi. Jemput Daffa di sini ya. I Will Miss you so bad my sister. Jaga diri baik-baik. I know mbak Calla bisa jadi yang terbaik. Semangat kuliah, Daffa akan rajin pulang jika ada kesempatan. Daffa akan berusaha jadi yang terbaik di pembukaan pendidikan ini. Daffa akan jadi manusia kuat. Seperti nama Daffa. Satu kesatuan yang akan membawa nama baik bangsa ini. Baik-baik di Jogja mbak, Daffa akan merindukan Jogja, dan Mbak Calla." Calla memeluk adiknya.

"You too. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa sholat dan hafalannya. Mbak tahu Daffa akan tunjukan yang terbaik sama dunia. Kalau daffa anak yang gemilang. Makasih sudah selalu temenin dan Jaga Mbak Calla ya." Calla merogoh saku celananya. Mengambil satu jam sport yang baru saja kulihat. Mengambil tangan Daffa. Menggantikan jam yang Daffa pakai.

"Biar adek selalu tahu waktu dan tempat di mana akan pulang." Daffa memeluk kakaknya lagi.

"Makasih mbak. Aku akan ingat." Kini giliran Daffa membuka tasnya. Mengambil sebuah ketapel yang ia simpan sedari kecil. Membuat tangis Calla makin pecah.

"Jaga diri baik-baik. Daffa nggak akan bisa pulang cepat." Daffa mencium rambut Calla. Pasti berat ya nak melepas adikmu. Bagaimana dengan bunda. Rasanya bunda juga mau menangis. Tapi tak bisa.

"Yah. Pamit, doakan Daffa bisa menjalani semua rangkaian pembukaan pendidikan dengan baik. Dan sampai dengan nanti lulus semoga juga bisa jadi yang terbaik,membuat nama ayah di sebut. Membuat ayah bangga. Ayah, Daffa titip bunda ya. Jangan buat bunda sedih, begitupun Mbak Calla." Mas Aksa berkaca-kaca memeluk putranya.

Cukup lama ia hanya diam memeluk anaknya. "DUIT nak. Doa di segala rintangan dan kebahagiaan. Usaha dalam segala bidang. Ikhtiar dan bertawakal kepada Allah SWT yang maha pemberi. Maha segalanya. Allah suka dengan orang yang senantiasa berikhtiar untuk mencapai segala sesuatunya. Setelahnya kamu harus tawakal, berserah diri pada Allah. Apa yang sudah kamu upayakan semoga tetap uang terbaik. Selamat berjuang di gerbang baru kehidupan mu anakku. Tetaplah berjuang untuk menjadi yang terbaik." Daffa mengangguk. Dia beralih memelukku.

Anak ini malah tersenyum, tidak berbicara melainkan menatapku lama. Aku sudah tidak tahan untuk memeluk Daffa. "Rasanya Daffa ingin terus menatap bidadarinya Ayah. Bunda, Daffa pamit ya. Daffa akan merindukan masakan dan semuanya dari bunda. Senyum bunda, nasehat bunda, pelukan bunda. Daffa absen ya dari Calla. Maaf nggak bisa lagi bantuin antar pesanan sekarang. Bunda harus sehat ya. Dan selalu tersenyum, Bunda harus selalu sehat kuat. Biar bisa temani sampai nanti Daffa sukses. Ya Bun. Jadwal piket Daffa di ganti dengan hari pesiar Daffa nantinya." Aku mengangguk.

"Jaga diri baik-baik ya dek. Selalu berserah sama Allah dari segala kebaikan atau pun kejahatan. In syaa Allah akan melindungi umatnya. Semangat menjalani pendidikan dan selalu ingatlah kami menantimu pulang dengan sebuah prestasi gemilang. Walaupun nanti kamu tidak bisa jadi paskibraka Nasional, masih banyak cara lain untuk membuat kami bangga. Daffa harus tetap berprestasi, jaga hafalannya ya nak. Banyak pahalanya, banyak pula poing penting untuk nantinya masuk akademi impianmu. Doa bunda dan ayah tidak akan pernah putus untuk mendoakan mu. Ini bukan perpisahan. Ini awal daro perjuangan mu. Teruslah berlari menjadi yang terdepan." Memeluknya begitu erat, sampai kami benar berpisah. Daffa terlihat semakin menjauh.

Tiga tahun akan ku lalui berat tanpa Daffa di rumah. Tidak akan ada tangan terampilnya ikut menempel bunga di di dinding dekorasi. Tidak ada lagi yang bisa ku suruh membeli bumbu di warung dekat rumah.  Tidak akan lagi ada tangan yang dengan terampil mencuci piring di hari Senin Rabu dan Jumat. Tidak akan lagi ada yang memotong batang mawar yang kering di halaman. Kecuali memang ia bisa IB.

Nak. Teruslah berjuang mengejar cita-cita mu. Selamat berjuang di garis awal seorang Daffa Adnyana Yuddhaga. Putra kesayangan bunda dan Ayah yang akan selalu bunda rindukan senyumannya.

Jadilah kuat untuk Bunda ya nak di luar sana. Mas Aksa merangkul ku. Daffa benar-benar hilang dari pandangan.

"Daffa pasti bisa. Yuk bersiap pulang Bun. Nanti keburu sore." Aku mengangguk. Kami berjalan ke tempat parkir dengan diam. Daffa sudah mulai perjuangannya.

Tak lama lagi Mbak Calla yang akan berjuang. Menapaki hari awalnya sebagai mahasiswi kedokteran yang ia impikan. Aku bersyukur pada Allah SWT dzat yang maha pemberi segalanya.

Allah terus memberikan jalan bagi anak anakku untuk mencapai asa dan cita-citanya

🌻🌻🌻

Sudah bersyukur belum hari ini

Next part apa nih?  Hehe

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang