Hidup harus berlanjut walaupun segalanya terasa berat. Harus bangkit dari jatuh yang dalam. Harus bangun dari tidur yang panjang. Hidup harus kembali mengalir seperti sungai.
Kemarin kami menangis begitu keras. Bahkan masih begitu terasa sepinya hingga hari ini.
Senyuman belum ada di hidup kami. Masih ada luka yang besar, luka yang begitu dalam. Kami ada di kamar Daffa. Menemani mengemas barang yang akan di bawa ke Magelang.
Calla takut jika nanti aku harus pindah tugas lagi. Dan ia hanya bersama Eyangnya.
"Dek minyak-minyak jangan lupa." Bina mengingatkan Daffa.
"Iya Bun. Ini sudah." Satu koper sudah penuh dengan baju yang di butuhkan Daffa. Kaos olah raga dan celana-celana pendek yang ia bawa.
Calla diam menatap Daffa yang sedari tadi menunduk. Aku langsung berdiri memeluk Daffa.
"Nangis dek. Ayah di sini." Bahunya langsung berguncang.
"Daffa nggak usah di TN ya yah. Kasian mbak Calla sendiri." Aku menggeleng.
"Nggak nak. Harus lanjut, Mbak Calla pasti berani kok. Iya kan Mbak Calla?" Tanyaku pada Calla.
"Iya Dek. Mbak gapapa sendiri. Mbak sudah besar. Daffa sudah selalu jadi penolong untuk Mbak. Sekarang waktunya Daffa kejar mimpinya Daffa lagi. Magelang nggak jauh. Mbak sudah bisa naik motor, sudah punya SIM. Mbak bisa kesana sendiri. Bisa minta di antar Om Bima juga." Bahu Daffa masih berguncang.
"Daffa berat yah. Kemarin masih ada Oma Opa. Ada Yang kung yang ti. Tapi sekarang hanya ada yang kung yang ti. Rumah akan sepi." Daffa mengusap air matanya. Bina menatap iba ke arah dua anaknya.
"Ingat nggak Daff. Pas dulu mbak mau sekolah di Jogja. Mbak juga nangis. Mbak sedih. Tapi sejalannya waktu pasti biasa kok. Mbak yakin walaupun sudah nggak ada Oma dan Opa mereka akan selalu jagain Mbak Calla kok. Dan ada yang ti, yang kung dek. Jangan khawatir." Daffa masih menangis.
"Ini lama mbak. Tiga tahun, belum lagi kejar mimpi Daffa. Daffa takut ada yang menyakiti Mbak Calla." Calla tersenyum.
"Nggak akan ada lagi dek. Ada banyak kok yang jagain Mbak Calla." Daffa diam. Kembali memasukkan buku ke dalam ranselnya.
"Sudah malam, yuk tidur. Besok harus berangkat pagi ke Magelang kan." Ucapku memutus obrolan yang akan membuatku semakin berat melepas Daffa.
Tidak, tidak berat. Tapi sedih, dan waktu berjalan secepat ini.
"Mbak Calla tidur sama Daffa ya. Besok udah nggak lagi Lo. Tiga tahun." Calla mengangguk. Aku membantu menutup koper dan ransel Daffa.
"Ayah matikan lampu ya. Tidur jangan ngobrol." Bina terkekeh.
Bina masuk ke dalam kamar, aku memilih untuk duduk di halaman belakang. Malam sudah larut. Ini hari ke tujuh semenjak Papa dan Mama berpulang. Tadi selepas Maghrib ada doa bersama.
"Kok belum tidur yah. Besok ke Magelang pagi kan." Aku menoleh, Mama mertuaku duduk di sampingku.
"Eh Uti, iya. Sebentar lagi Ti." Uti mengusap bahuku.
"Berbagilah bersama istrimu. Dia bagian darimu. Jangan di simpan sendiri lukanya. Jangan di simpan sendiri sakitnya. Uti tahu beratnya jadi kamu. Nangislah sa, kalau itu buat kamu lega. Ini sudah hari ke tujuh kamu seperti orang asing di sini.
Rumah tampak nggak hidup Sa saat kamu diam. Kamu harus kembali menjadi Angkasa Yudha kebanggaan mama dan papamu. Mama yakin mereka sedih melihatmu seperti ini. Maksud Uti kemarin adalah menjadi kuat yang betul kuat. Bukan yang pura-pura kuat seperti ini." Aku menangis akhirnya.
"Ma Aksa salah apa. Hingga cobaan ini datang begitu cepat. Aksa harus apa Ma. Aksa bisa apa. Aksa juga manusia yang takut kehilangan. Aksa." Aku tak bisa melanjutkan pembicaraan ini. Mama terus mengusap bahu dan punggung ku. .
"Nak. Ada Allah tempatmu bersandar, semua orang harus siap dengan yang namanya kehilangan. Begitupun kemarin kamu juga harus siap dengan kehilangan mama dan papamu. Uti tahu beratnya. Uti tahu kamu bisa walaupun sulit. Sekarang peluklah istrimu. Berbagilah, pasti ia akan lebih bisa menenangkan kamu. Masuklah, biar Uti yang kunci pintu." Aku mengangguk.
"Makasih ya Ti." Aku masuk ke kamar. Melihat Bina sedang menatap jendela, aku langsung memeluknya.
"Mas." Aku menangis di bahunya.
"Boleh ya Bin untuk malam ini menangis." Bina membetulkan posisinya. Sehingga bisa memelukku.
"Menangislah mas." Aku terus mengeluarkan air mata. Hingga tidak tahu kapan. Yang jelas aku sudah masuk ke alam mimpi bersama Bina.
🌻🌻🌻
Bina POV
Aku membawa Mas Aksa ke dalam pelukanku. Hatiku Langsung hancur melihat tangisnya malam ini. Begitu tersedu hingga ia tertidur di pelukanku.
Aku membawanya rebahan, menyelimuti tubuh tegapnya yang beberapa hari terlihat begitu kuyu tidak hidup. Bagaimana bisa hidup, sakit dan luka kehilangan Masih tergambar jelas di balik Wajahnya yang tegar.
Suamiku masih dalam masa berkabung, ia belum bisa masuk ke kantor seperti biasa. Sudah tujuh hari setelah kepergian mama dan papa. Dan setiap malam laki-laki yang biasanya kuat ini selalu menangis.
Aku mengusap wajahnya. Mencium seluruh wajah suamiku. Aku tidak boleh menangis. Aku harus kuat dengan keadaan ini. Aku harus menguatkan dia, walaupun rasanya sesak seperti ini.
"Maa... Mamaa. Jangan tinggalin Abang Ma." Aku semakin memeluk Mas Aksa.
"Ssssstttttt. Istighfar mas." Bisikku.
Belum selesai duka kami, esok kami juga harus di hadapkan dengan perpisahan. Esok Mas Aksa harus melepas putranya yang selalu ia banggakan.
Begitupun aku yang tak bisa jauh dari Daffa. Aku harus melepaskannya untuk menempuh pendidikan di Magelang.
Aku tidak bisa terpejam sampai malam sudah benar-benar larut. Terus menatap wajah mas Aksa yang masih sendu. Sesekali menatap ke arah langit-langit kamar.
Pintu di ketuk. "Bunda." Aku kaget. Membetulkan letak rambut langsung turun dari ranjang dan membuka pintunya.
"Dek, mbak. Ada apa?" Mereka langsung memelukku."
"Ngga bisa bobok. Bobok berempat ya Bun." Aku mengangguk. Membuka pintu lebar. Calla dan Daffa masuk, menyusul ayahnya.
Memenuhi ranjang king size, mengusik ketenangan ayahnya yang sedang terlelap. Aku ikut bergabung. "Tidur, besok bunda bangunkan tahajud. Lalu siap-siap lebih awal. Sekarang tidurlah." Calla dan Daffa mengangguk. Aku mengusap rambut Daffa dan Calla.
Tidurlah permataku. Sampai bertemu pagi hari nanti. Dengan semangat dan senyuman.
Mas Aksa bergerak memeluk Calla dan Daffa dengan tangannya yang panjang.
Aku terus mengusap tangannya. Pasti bisa Mas menghadapi semua ini. Esok pasti akan ada tawa lagi di bibirmu. Akan ada senyum tulus lagi dari bibirmu.
Aku ikut menyusul mereka ke alam mimpi. Ma , Pa hadirlah di mimpi kami. Obatilah rindu yang sudah menyesak.
🌻🌻🌻
Selamat berbuka puasa
Lapaknya belum ramai ya ini. Semoga bisa terbawa ke ceritanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaradana
RomanceAsmaradana terdiri dari dua kata, asmara dan dahana (dana). Asmara adalah cinta, dahana adalah api. Bisa di artikan menjadi cinta yang menggelora. Atau rasa yang selalu berbunga-bunga. Seperti rasa ku terhadapnya, selalu mengobati di setiap nafas. A...