Bina POV
Udara yang begitu ku rindukan saat ini benar-benar ku hirup. Melupakan rasa kesedihan yang kemarin, menyambut hari baru yang begitu ku tunggu.
Saat membuka mata, masih sama pemandangannya. Wajah tampan suamiku yang menjadi dominasi, kini bukan lagi kamar berwarna hijau, melainkan warna abu-abu sejak ia masih di bangku SMA. Kak Aksa masih tertidur pulas, aku sengaja bangun pagi. Menyiapkan sarapan untuk sekolah Daffa dan Calla.
"Sudah bangun Bin." Suara yang membuatku kaget. Mama mertua yang masih mengenakan dasternya sudah merebus air.
"Sudah Ma, hari ini saya ya yang masak." Ucapku. Beliau mengangguk dan duduk di meja makan. Rumah yang dulu sempat ku tinggali sebentar saat menjalani hubungan jarak jauh dengan Kak Aksa. Dan di rumah ini juga, perjuangan itu benar di mulai.
Memotong wortel perlahan di bantu mama, sesekali bercerita. Aku jadi rindu dengan mama Kanya dan Papa. Kedua orang tuaku masih tinggal di Bandung. Menemani masa tua Uti yang kini semakin renta.
"Mama seneng deh Bin, Aksa bisa kembali dinas di jogja. Walaupun mama yakin itu nggak lama. Tapi setidaknya kita bisa sama-sama barang setahun." Aku terkekeh, benar kata mama. Setidaknya aku bisa lebih lama mempunyai waktu untuk Daffa dan Calla.
"Iya Ma, Bina juga seneng. Bisa kumpul lagi. Cari suasana baru. Jangan kok warna temboknya hijau terus." Kami tertawa bersama. Subuh belum juga menyapa. Tapi semuanya hampir siap. Sarapan paginya tidaklah mewah,tapi rasanya jangan di tanya.
"Kamu kalau berdua juga bangun sepagi ini?" Aku mengangguk.
"Sesibuk apapun Bina, pekerjaan rumah yang utama Ma. Bina tidak ingin seragam Kak Aksa di sentuh orang lain. Bina harus yang mencuci dan setrika Ma. Sesibuk apapun Bina, setidaknya ada roti selai kacang di tasnya Ma." Mama mengusap pipiku.
"Mama tidak takut lagi sekarang Bin." Aku tersenyum, memeluk mama.
"Jangan takut lagi Ma. Ada kami yang selalu ada untuk mama." Pelukan kami terurai. Adzan subuh sudah berkumandang dari masjid selatan rumah.
Suara riuh juga sudah terdengar dari balik kamar mandi. Suara opa yang membangunkan cucunya menghiasi pagiku.
"Daffa ayo ke masjid. Mbak Calla bangun." Aku Ijin pamit ke kamar, melihat Kak Aksa masih begitu pulas tertidur. "Yah sudah adzan, ke masjid gih. Opa sudah nunggu." Tidak ada gerakan. Aku kembali menggoyangkan tubuh kekarnya.
Sesekali mencubit pipinya. "Sayang bangun dong. Sudah subuh." Senyumnya mulai terlihat, Kak Aksa duduk. Menatapku dengan mata setengah tertutup. Mengambil air putih hangat yang sudah ku bawakan.
"Makasih ya Bunda Bina." Aku tertawa gemas dengan Aksaku. Laki-laki idaman wanita di penjuru manapun. Bahkan mungkin seorang siswa menengah pertama akan jatuh cinta dengan laki-laki ini.
"Berangkat ya Bun." Aku terkaget-kaget oleh suara Kak Aksa. Aku banyak melamun, hingga tidak sadar Kak Aksa sudah mandi dan berganti baju koko.
"Iya, hati-hati Yah." Ucapku. Aku berjalan ke kamar Calla, pasti anak itu masih bergelung dengan selimut.
Sampai di kamar. Aku melihat kamar Calla yang kosong. Kemana perginya anak itu.
"Ma, Calla kemana ya?" Tanyaku.
"Di ruang baca mungkin, biasanya Calla belajar di sana." Aku terdiam, berfikir. Anak itu mirip dengan utinya. Selalu belajar dan belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaradana
RomanceAsmaradana terdiri dari dua kata, asmara dan dahana (dana). Asmara adalah cinta, dahana adalah api. Bisa di artikan menjadi cinta yang menggelora. Atau rasa yang selalu berbunga-bunga. Seperti rasa ku terhadapnya, selalu mengobati di setiap nafas. A...