23. Sebuah Keputusan

2.9K 269 16
                                    

Luka seorang ayah adalah saat melihat putri kesayangannya menangis. Begitupun yang di rasakan oleh Mas Aksa saat ini. Aku bisa melihat kesedihan di matanya yang mencoba kuat untuk menguatkan Calla.

Luka, luka dan luka yang di derita Calla selalu hadir. Melihat pujaan hati Calla menikah adalah hal yang paling menyakitkan. Calla terlihat begitu tegar awalnya. Tapi aku bisa  melihat kerapuhannya. Ke peluk tubuhnya yang makin tinggi, keberikan dia cinta. Cinta yang tak ia dapat dari manapun. Hingga ia terlelap dalam dekap.

"Kita nikahin Calla aja yuk Bun. Nggak bisa hati ayah terus melihat Calla terluka." Aku yang sedang memotong wortel berhenti sejenak. Mentap mas Aksa  lama.

"Ayah yakin dia orang yang tepat. Ayah yakin dia bisa membuat Calla bahagia." Aku benar berhenti. Menyimpan wortel ke dalam wadah lalu memasukannya ke kulkas. Kembali ke meja makan mengambil mas Aksa lalu kepegang erat.

"Mas, pernikahan bukan sebuah lelucon."

"Belum tentu saat kamu memilihkan jodoh untuk Calla ia bisa bahagia. Belum tentu Calla suka Mas. Bisa saja Calla nggak mau."

"Kita coba ya Bin. Aku nggak mau lihat Calla nangis lagi. Hatiku nggak sanggup lihat dia nangis. Coba kamu sekarang ke atas, kamu lihat pasti dia lagi nangis. Aku nggak tahan, nggak bisa Bin." Ucapnya

"Tapi mas." Aku diam menatapnya lama.

"Kamu kenal baik dengan orang itu. Kamu pasti juga sama percayanya sama aku Bin." Ide gila mas Aksa yang membuatku berfikir ulang.

"Mas, ini tentang kebahagiaan dan pernikahan mas. Nggak main-main lho. Masalah hati dan dua keluarga." Ucapku memastikan Mas Aksa lagi.

"Iya bunda. Ayah berbicara sebagai seorang ayah. Yang nggak mau lagi hati putrinya di sakiti. Ya bunda ya, coba kenal dulu. Pasti bunda juga setuju. Pilihan ayah ini sudah paling jos. Husband material banget untuk Mbak Calla." Aku menatap mas Aksa.

"Apa yang jadi alasan untuk bunda harus menerima perjodohan ayah itu?" Tantangku.

"Kebahagiaan dan senyum dari anak kita Bun." Aku diam mencerna kata kata mas Aksa.

Aku memilih diam saja, melanjutkan acara memasak untuk makan malam.

"Keputusan ayah sudah bulat. Mumpung kita libur dan dia libur besok ayah undang dia kesini untuk diskusi."

"Ayah jangan gegabah lho ya. Bunda nggak mau kalau Calla sampai menangis lagi. Nggak sampai hatiku Yah." Tanganku di pegang mas Aksa.

"Percaya, ini yang terbaik. Besok masak ya." Aku mendengus.

"Emang bunda nggak pernah masak ya?" Protesku.

"Ya masak. Maksud ayah ya yang mewah sedikit bun. Jangan tempe terus. Nih nggak lihat muka ayah udah kaya kacang kedelai." Aku langsung melempar tempe ke arah mas Aksa yang di balas tawa olehnya.

✨✨✨

Aku  menatap Calla yang tengah terlelap  memeluk bundanya. Keputusan ku sudah mantap, aku kembali menutup pintu kamar lalu keluar ke garasi. Garasi yang kini sudah berhimpit dengan ber ember ember bunga. Siap di rangkai menjadi bunga papan ataupun buket yang indah.

Aku mengambil sepeda milik Calla mengayuhnya ke tempat yang sudah ku janjikan bersama seseorang. Beberapa tahun yang lalu aku melihat anak kecil menangis di tempat ini.

"Udah lama Dip nunggunya?"

"Belum Yah. Baru aja kok." Aku ikut duduk di trotoar.

"Ada apa yah?" Aku melirik ke arah Dipta yang begitu terlihat bingung.

"Ayah ingin berbicara sebagai seorang ayah di sini."

"Hati ayah begitu hancur saat melihat Calla yang akhir-akhir ini selalu menangis.  Apalagi di tambah kemarin saat kalian berdua jauh. Calla semakin hancur. Ayah nggak ingin lagi lihat air mata Calla Dip!"

"Lalu apa yang bisa Dipta lalukan Yah. Agar Dipta lagi mengukir senyum di wajah Calla. Melukiskan kembali senja di bibirnya." Aku memegang tangan Dipta. Menatapnya dalam khas laki-laki.

"Ayah ingin kamu menemani Calla. Selamanya, membahagiakan calla dalam hidup rumah tangga. Apa kamu mau?" Wajah kaget Dipta jelas terlihat.

"Bagaimana bisa dan saya mampu Yah. Bahkan Calla tidak mencintai saya. Saya juga belum mencintai Calla."

"Berarti akan mencintai to suatu saat."

"Tapi Yah."

"Kalau ayah meminta hal yang sama tetapi sebagai seorang komandan dan ini perintah apa kamu sanggup?" Dipta diam.

"Calla segalanya Yah untuk saya. Begitupun dek Daffa. Mereka hal yang penting di hidup saya. Saya tidak ingin suatu saat menyakiti hatinya lagi Yah. Sudah cukup kemarin."

"Kalau memang itu yang ayah minta. Beri waktu saya hingga besok siang. Sebelum saya kembali ke Semarang." Aku tersenyum lega.

"Kamu selalu jadi yang terbaik untuk ayah. Terima kasih ya. Hanya kamu yang ayah percaya untuk menjaga permata ayah yang paling berharga." Ucapku sambil mengusap air mata. Tapi dengan cepat tangan Dipta menghalau air mata untuk jatuh.

"Dulu di tempat ini, ayah hapus air mata Dipta. Dan hari ini malam ini, Dipta yang akan hapus air mata ayah. Ayah Aksa kesayangan kami." Air mataku semakin deras. Semoga ini pertanda baik.

"Ayah akan selalu ada buat kamu Dip. Jangan takut dengan dunia ini. Karena ada ayah, bunda Calla dan Daffa yang akan selalu ada buatmu." Dipta tersenyum. Aku merangkul pundaknya.

"Besok siang datanglah Dip. Memberikan jawaban yang ayah harap yang terbaik. Untukmu juga untuk Calla." Dipta mengangguk.

"Pulang sana, ayah mau ronda. Sholat lah minta petunjuk dari Allah." Aku menepuk bahu Dipta. Lalu beranjak mengayuh sepedaku. Berkeliling menggunakan sepeda menikmati udara malam.

Apapun yang terjadi pada dunia ini. Cinta ayah selalu untuk kalian Calla dan Daffa. Juga Dipta yang sudah ku anggap seperti anakku sendiri.

Dan semoga Allah memberikan aku umur panjang. Aamiin...

✨✨✨

Hao hai hai halo

Lama nggak ketemu cerita Aksa Bina.

Cerita inipelan-pelan yaaaaa

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang