8. Yogyakarta Tunggu Kami

3.6K 446 32
                                    

Aku bisa melihat Calla yang begitu antusias menyaksikan penampilan Drumband kebanggan Akademi Militer. Memperhatikan dengan seksama macan tidar yang begitu menjulang tinggi. Penatarama yang begitu gagah dan menarik untuk di perhatikan.

Dulu aku pernah seperti Calla, melihat Kak Aksa menjadi penatarama. Memimpin drumband paling bergengsi di kota Magelang itu.

Dan kini, aku berulang-ulang mengatakan ini seperti mimpi. Dulu yang hanya bisa melihat dari jauh, kini. Aku bisa dengan leluasa melihat. Nikmat Allah memang tiada tara.

"Anakmu nggak kedip itu loh Nda." Aku tersenyum. Lalu berdiri saat penatarama memberi hormat pada semua tamu undangan. Daffa membidik setiap atraksi yang mereka tampilkan.

"Bang Dipta" aku menoleh, mendengar jeritan Calla dan melihat Calla yang melambaikan tangan pada Abang yang bertemu besarnya.

Pertemuannya dengan Dipta cukup lucu. Karena sebuah batu yang membuat mereka menjadi dekat.

Calla kecil yang pendek dan giginya ompong menjadi bahan ejekan anak kecil di sekitar rumah Kak Aksa. Termasuk Dipta, Dipta kecil yang tinggi akan selalu mengejek Calla setiap kami singgah di Jogja.

Karena jengkel, Calla dengan kekuatan seribu melempar batu cukup besar, hingga mengenai pelipis Dipta. Sejak saat itu, Calla merasa bersalah dan Dipta menjadi diam, dan akhirnya mereka bersahabat hingga saat ini.

Persahabatan mereka benar-benar murni, tanpa cinta. Tidak seperti persahabatan antara lelaki dan perempuan lainnya.

Setelah penampilan yang sangat memukau, seluruh warga mendapat kesempatan untuk berfoto dengan semua personel Genderang Suling Canka Lokananta.

"Bun, ayo foto sama bang Dipta. Nanti kirim ke Budhe Galuh ya." Ucap Calla saat aku sudah berdiri menepi dari tribun kehormatan.

"Iya-iya nunggu ayah." Dari kejauhan Dipta sudah melambaikan tangan. Tak ku sangka. Anak yang dulu nakal kini bisa membanggakan.

Kami berempat menghampiri Dipta. Dengan sikap siap, Dipta hormat lebih dulu dengan Kak Aksa.

"Ih Bang, hormat terus sih sama ayah. Ayo foto bang. Pasti temen-temen Calla pada iri, bisa foto sama tentara keren." Aku terkekeh, anak jaman sekarang yang sangat mengidolakan yang berseragam.

"Iya-iya, jangan banyak-banyak fotonya." Ujar Dipta yang keringatnya mengucur deras. Dipta termasuk orang yang tidak suka dengan kamera. Itu menurut cerita mbak Galuh dulu, dan sampai sekarang masih terbukti.

"Izin tante, om. Saya minta foto ya. Untuk kenang-kenangan foto bersama Danyon." Aku terkekeh geli saat mendengar Dipta meminta foto bersama aku dan Kak Aksa. Calla wajahnya semakin di tekuk.

"Tuh kan Bang." Keluh Calla. Dengan senyum dan tawa lebar. Dipta menarik
Calla untuk berfoto bersama.

"Dedek Calla kalau ngambek jelek." Daffa yang mendengar kakaknya di ejek langsung tertawa keras.

Dari kejauhan aku melihat perempuan dengan celana jeans dan kaos membawa buket bunga menghampiri kami.

"Dipta" panggil perempuan mungil itu.

Senyum di wajah anak laki-laki ini terpancar. Seperti dulu ketika Kak Aksa bertemu denganku saat pesiar tiba.

Si anak perempuan itu mengangguk sopan, mungkin ini yang Calla ceritakan tempo hari tentang pacar abangnya. Kami berempat memberi ruang untuk Dipta.

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang