5. Untukmu Indonesia

3.7K 402 12
                                    

Masih ingatkah kalian cerita terakhirku tentang cinta Indonesia? Hari ini aku begitu terharu. Rasanya ingin menangis dan berteriak.

Beberapa bulan yang lalu aku langsung sujud syukur atas segala nikmat Allah. Kala denting ponsel berbunyi. Muncul satu pesan dari Cinta Calla Senjaku.

Pesan itu datang bersama gambar diri seorang gadis putih abu-abu. "Ayah, bunda Alhamdulillah. Calla lolos, mewakili DIY untuk mengibarkan merah putih di istana. Terimakasih atas doa ayah dan bunda. Dukungan yang tiada henti. Semua Calla persembahkan untuk Ayah dan Bunda." Tak lama setelah pesan itu kuterima. Panggilan dari Bundanya muncul. Ia menangis haru, berteriak.

Dan hari ini, semuanya terbukti. Calla menepati janjinya. Menunjukkan salah satu bakti cintanya pada Indonesia. Dengan senyum merekah, rambutnya di potong sebatas leher. Memakai baju putih.

Aku bisa melihat senyum itu walaupun dari jauh. Aku bisa melihat ia berdiri tegap bersama pasukan yang lain. Membawa baki emas yang akan ia gunakan untuk membawa merah putih.

Suatu kebanggan menjadi orang tua dari Cinta Calla Senja, pembawa baki saat upacara hari kemerdekaan Indonesia. Bisa duduk di tribun kehormatan. Mungkin rasanya sama ketika dulu papa dan mama berdiri di sini. Melihatku mengibarkan merah putih.

Kini Calla tengah melangkah tegap, menampakan senyumnya yang tak pudar sedikitpun. Dengan penuh percaya diri, melangkah menuju mimbar kehormatan. Berdiri di depan orang nomor satu di negeri ini.

Menerima amanah merah putih untuk di kibarkan. 74 tahun sudah Indonesia ini merdeka. Dan hari ini Callaku, senjaku menjadi bagian dari perayaannya.

"Bunda tidak menyangka, Calla membuktikan semuanya Yah." Aku mengangguk, setuju dengan Bundanya.

"Begitupun ayah Bun, bangga memilikinya."

"Semoga Daffa kelak bisa juga berdiri di depan orang nomor satu di negeri ini seperti ayah dan kakaknya." Aku tersenyum. Sedikit melirik ke arah wanita cantik di sampingku ini.

Daffa yang kini sudah memasuki menjadi pelajar sekolah menengah pertama. Sedangkan Calla, ia kini duduk di kelas 11 sekolah menengah atas.

Sekolah yang menjadi saksi bisu kisah ayah dan bundanya di mulai. Bahkan anak itu masih sering kali meledek kami. "Pasti dulu ayah sama bunda pacaran di deket pohon beringin." Kalau membahas itu aku dan Bina hanya tersenyum.

Kumandang lagu Indonesia Raya mengalun merdu dan gagah di istana negara. "Hiduplah Indonesia Raya"

Mataku masih mengikuti gerak langkah Calla. Setelah Indonesia berhasil di kibarkan. Calla kembali berbaris dengan pasukan yang lain.

Sambutan dan acara silih berganti. Hingga kini aku bisa bergabung dengan Calla. Setelah sekian bulan ia dalam masa karantina.

Ia langsung bersujud di kaki bundanya. "Terimakasih Bun, untuk doa yang tiada henti untuk Calla." Ia bangkit di bantu bundanya.

"Bunda bangga sekali mbak, kamu benar-benar menepati janjimu malam itu. Semoga baktimu pada Indonesia tidak hanya sampai di sini." Calla mengangguk. Beralih menatapku. Lalu memelukku erat, ia menangis.

"Terimakasih untuk hari itu Yah, telah menyadarkan Calla arti Indonesia." Aku terharu memeluk putri ku ini. Bundanya juga menangis, bahkan Daffa juga ikut menitihkan air matanya.

"Ayah bangga dengan putri ayah. Tetap seperti ini mbak. Sampai esok cintailah Indonesia." Ia menganbgguk.

"Daffa bangga punya Mbak Calla, semoga nanti Daffa juga bisa menjadi seperti mbak." Calla senyum, memeluk adiknya.

"Jangan hanya seperti mbak Dek. Kamu harus bisa lebih baik lagi dari mbak. Indonesia membutuhkan baktimu nanti. Mbak tunggu ya dek." Daffa mengangguk mantap. Menyaksikan pemandangan yang jarang ku nikmati karena sebuah jarak.

"Iya mbak, kita sama-sama buat ayah dan bunda bangga." Calla mengacak rambut adiknya.

🌵🌵🌵

Aku terus bersenandung mengikuti alunan musik yang terdengar. Mengucap lirik kata demi kata. Menjadi kalimat yang satu padu.

Berkeliling berdua menikmati sore bersama Bina. Sebuah hal yang langka untuk bisa kulakukan. Sejenak berhenti dari hiruk pikuk pekerjaan yang menumpuk. Melupakan sejenak rasa khawatir akan anggota yang sedang dalam perjalanan pulang.

Menikmati udara segar kota Jogja yang tiada duanya. Aku bisa mendapatkan cuti keluar asrama selama satu minggu setelah menghadiri upacara hari kemerdekaan di istana.

Calla dan Daffa sudah masuk sekolah pagi tadi. Akhirnya dua anak itu sudah berkumpul menjadi satu. Dalam rumah yang sama.

Jadi kini tinggal aku dan Bina menikmati indahnya dunia asrama berdua. Akan berkumpul bersama anak-anak Sabtu dan minggu.

"Yah lihat jalan, jangan lihat bunda terus." Aku mengacak jilbabnya. Aku yakin dia tersipu di balik wajah cemberutnya.

"Kapan lagi bisa menatap bunda selekat dan selama ini." Ucapku masih menatapnya. Sesekali melihat ke arah depan yang terlihat sepi.

"Nanti ada waktunya Yah, bunda masih ingin tetap hidup dan menatap ayah. Belum mau mati." Candanya. Aku diam menatap jalan di depan yang terasa indah jika di lewati bersama Bina.

Kami hanya ingin napak tilas perjuangan cinta kami. Melewati jalanan Yos Sudarso yang kini semakin macet. Melihat SMA yang semakin megah, mungkin yang merasakan ini bukan hanya aku. Tapi kalian juga merasakannya.

"Mau makan di mana sih Yah kok muter terus dari tadi?" Bina kini bersuara. Aku tersenyum kikuk, sebenarnya aku belum menemukan tempat mana yang ku inginkan.

"Iya ya Bun, kok dari tadi muter terus, Bunda mau makan apa?" Aku melirik Bina.

Ia memutar bola matanya. Mungkin jengah dengan kelakuanku.

"Kita beli bakso yuk." Ucapnya. Bina menunjukkan arah bakso yang ia maksud. Hingga kita sampai ke salah satu Warung tenda di pinggir jalan. Bina tersenyum mengangguk pada sang penjual.

"Mbak e ya Allah, lama sekali mboten mampir." Aku yang mengikuti Bina di belakang ikut tersenyum dan menyalami bapak tua itu.

"Hehehe, iya Pak, gimana kabarnya baik kan." Aku memperhatikan interaksi Bina dengan penjual bakso di depanku.

"Baik, Alhamdulillah Mbak. Ini suaminya?" Aku mengangguk sekali lagi.

"O iya, ini suami saya Pak. Kenalkan, Mas Aksa namanya." Usut punya usut, ternyata ini adalah tempat Bina sering menikmati waktu pulang sekolah bersama dokter Araf dulunya. Aku mengusap pipi Bina.

"Nangis saja Bun, jangan di tahan." Bina menoleh, tersenyum lalu menggeleng.

"Jangan pernah tinggalin bunda ya Yah, bunda nggak ingin kehilangan untuk ke sekian kali." Aku mengacak jilbabnya. Bakso yang kami pesan sudah datang. Bersama dengan dua gelas jeruk tawar yang terlihat segar.

"Setelah ini, Ayah mau ajak bunda ke suatu tempat." Bina menoleh. "Ke tempat yang akan buat bunda senyum terus." Kami menikmati bakso dalam diam. Menyelam bersama Fikiran masing-masing.

Aku memarkirkan mobil di suatu tempat yang bersejarah untukku. Senyum Bina tak pudar sedikitpun, ia terus tersenyum melangkah masuk ke dalam tempat ini.

Aku mendekat, mengambil salah satu buku yang Bina pegang. "Untuk Bunda saja." Ucapku, kami tertawa bersama, bernostalgia puluhan tahun yang lalu. Terimakasih Binaku, sudah menjadi rembulan di setiap malam ku, menjadi matahari di setiap siang ku.

Hingga nanti kita akan melewati ribuan purnama, hidup selamanya bersama. Dan temani aku untuk tetap mencintai Indonesiaku.

Dariku, untukmu Indonesiaku.

🌵🌵🌵

Dirgahayu Indonesia ke 74

Terimakasih yang sudah SUPPORT, Anyway selamat ulang tahun buat annissaaaaaaaa merdekawati dan mas Rony. Semoga sukses selalu.

Asmaradana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang