Extra Part 3

4.3K 112 4
                                    

Awan tidak menjanjikan akan selalu biru. Mungkin suatu saat ia akan berubah mendung. Sama halnya dengan kehidupan. Setelah bahagia mungkin selepasnya akan ada luka dan duka

********************************

DUA tahun usia pernikahanku dengannya. Aku berjanji untuk selalu menjaganya. Berjanji pada Allah menjadi imam yang terbaik untuknya. Aku terpaku dalam lamunan. Senja sore ini terasa begitu getir. Tidak ada lagi perbendaharaan kata yang tersisa untuk mengungkapkan rasa kekaguman pada ciptaan-Nya yang tiada cela. Aku sudah kehabisan kata-kata. Dadaku sesak semejak satu bulan yang lalu. Rasanya semakin bertambah sesaknya setiap hari. Pergantian malam menuju pagi hanya akan selalu memberiku luka baru. Menunggu. Aku mungkin telah salah memaksakan egoku untuk terlalu jatuh hati pada wanita itu. Senyuman yang selalu terukir manis. Tuturnya yang selalu damai memberiku kekuatan dikala kegetiran. Namun, kini hanya tersisa bayangan sekelebatan raganya yang selalu mengusikku.

"Riz, sudah makan?"

"Emm..sudah umi,"jawabku terkejut ketika suara umi tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku duduk ditempat biasa mengamati kepergian senja hingga berakhir bersapaan dengan malam yang gulita.

"Riz, jangan bohong sama umi"

Umi duduk disampingku dan memberikan satu nasi bungkus padaku. Aku menerimanya.

"Makan dulu. Kamu juga harus tetap menjaga kondisimu, Riz"

"Iya, umi terima kasih"

"Umi duluan ya. Kamu makan dulu habis itu sekalian sholat Maghrib. Biar umi yang jagain Fasya"

Aku mengangguk. Umi mulai menjauh dari tempatku. Rasanya aku sudah tidak lagi nafsu makan semenjak satu bulan lalu. Perasaan bersalah selalu mengiangi diriku. Andaikan waktu itu aku tidak jadi pergi. Andaikan aku tidak menurutinya sekali itu saja. Hanya andai andai dan andai. Bahkan sedetikpun waktu tidak bisa kembali kuulangi. Tapi, semua sudah berlalu. Aku menyesal seorang diri. Aku seakan sudah frustasi dengan hidup ini. Astaghfirullah.

Kumandang adzan Maghrib sudah terdengar begitu merdu dari menara masjid rumah sakit yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatku duduk.

Senja sudah berlalu. Hanya tersisa gulita yang mulai singgah dilangit yang awalnya berhiaskan temaram jingga. Aku beranjak sambil membawa nasi bungkus bawaan umi. Rasanya tidak sopan jika aku tidak memakannya. Tapi sungguh aku tidak sedang nafsu makan.

"Dek, ini untukmu"

Kulihat dua anak kecil dengan wajah kumal didekat pelataran masjid. Aku tidak tega dan kuberikan saja nasi bungkus bawaan umi kepadanya.

"Terima kasih om"

"Sehat-sehat ya, Dek"

Hatiku mencelos melihat senyumannya yang begitu tulus. Rasanya aku bahagia dapat menjadi alasan seseorang tersenyum. Tapi adakah alasan untukku kembali tersenyum? Aku segera berlalu. Melepas sepatu dan kaos kaki. Segera kuambil wudhu dan berharap masih mendapat shaf terdepan.

"Assalamu'alaikum warohmatullah"

Imam mengucapkan salam terakhir. Kuikuti gerakan dan ucapannya. Hatiku kembali tertusuk. Ya akulah Imam masa depan seorang wanita yang kini tengah terbaring lemah. Aku hanya bisa bermunajat kepada-Nya. Akankah aku harus kehilangan seorang yang begitu amat berarti. Tapi, aku sadar siapalah aku. Hanyalah sebatas hamba yang tanpa daya dan banyak celanya. Semua kepunyaan-Nya tiada kuasa yang melebihi kekuasaan-Nya. Namun, aku belum siap melepasnya setelah banyak luka dimasa lalu. Perihal kehilangan umi dan abi. Dan hanya tersisa pria tua yang sangat menyayangi aku. Kini Allah hadirkan dia dalam kehidupanku. Namun, teramat begitu singkat rasanya. Aku menyesal terlalu egois memaknai. Hingga lagi-lagi luka itu tumbuh subur di hati. Setelah selesai bermunajat kepada-Nya. Aku langkahkan kembali kakiku ke ruangan yang selalu menjadi tempat keduaku kini setelah kampus. Menunggunya kembali tersenyum itu saja.

Mendekati ruangan Fasya, ada beberapa dokter berlarian menuju ruangan Fasya. Hatiku bergemuruh hebat. Mataku terbelalak. Kakiku seakan mengambang. Aku segera tersadar dan langsung bergegas menuju ruangan Fasya. Kudapati umi cemas didepan pintu.

Fasya kumohon bertahanlah

"Fariz, Fasya, Riz,"ujar umi sudah berlinangan air mata menatap kearahku

"Fasya kenapa, Mi?"

Umi tidak menjawab beliau duduk dipapah abi yang baru saja datang. Tubuhku melemas.

"Sya kumohon jangan tinggalkan aku. Kumohon. Ya Allah kumohon jangan ambil Fasya dulu"rintihku dalam diam didepan pintu ruangannya sambil bersandar dan memukulkan kepalaku disana

.................................................................

Nantikan kisah mereka selanjutnya dilapak sebelah. Wa'alaikumsalam My Future Makmum

The next part sudah up lo yakin nggak mau baca di lapak sebelah.

Happy reading

Assalamualaikum My Future Imam [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang