Cipaganti, Bandung, 1999
Malam ini Dewi jatuh cinta pada Uge. Hah?
Perasaan Dewi memang hanya dapat dimaklumi oleh orang yang mendalami teori Relativitas milik Einstein yang mengatakan bahwa, kecepatan dan waktu dari gerak suatu benda itu relatif atau bergantung pada tinjauan pengamat.
Pengamat pertama mengatakan, Dewi terlalu cepat jatuh cinta, baru kenal sebentar sudah terpincut.
Pengamat lain mengatakan, Dewi justru terlalu telat jatuh cinta. Pada usia yang biasanya orang telah berkali-kali jatuh cinta, ia malah baru kali ini merasakannya.
Terserah, anda lebih setuju pada pengamat yang mana, tetapi harap pertimbangkan juga hal ini. Uge merupakan satu-satunya laki-laki yang berhasil mengajak Dewi masuk ke dalam masjid, selain ayahnya sendiri dan itupun hanya pada saat lebaran. Uge juga merupakan satu-satunya laki-laki yang bicara tentang Tuhan, selain guru agamanya di sekolah dan kampus. Dua hal itu saja menyebabkan Uge punya diferensiasi kuat dibandingkan barisan kerumunan penggemar Dewi, sehingga ia layak untuk mendapat tempat khusus di hati Dewi.
Hujan membuat suhu udara bertambah dingin. Dewi mengambil baju hangat agar kebersamaannya dengan komputer tetap terjalin, ia butuh kegiatan pembunuh waktu karena Uge belum juga menghubunginya. Dewi teringat obrolan saat Uge mengantarnya pulang.
*****
Uge dan Dewi berjalan di trotoar.
"Udah punya pacar?" tanya Uge.
Dewi melirik Uge dengan alis sedikit terangkat, ia merasa aneh mendengar lompatan tema diskusinya dengan Uge.
Uge sadar, ia segera meralat. "Katanya mau ngebahas hal-hal enteng aja. Aku cuma mau tahu sudut pandang perempuan tentang sebuah hubungan aja sih."
Dewi mengangguk-anggukan kepala. "Aku berharap punya pasangan satu untuk seumur hidup, berarti harus bener-bener yang terbaik. Makanya aku susah dapet pasangan. Intinya, aku enggak pernah pacaran, kalo kamu?"
"Aku juga enggak pernah. Soalnya menurutku, konsep pacaran itu emang enggak cocok buat orang yang berharap punya pasangan satu untuk seumur hidup."
"Kenapa?"
"Pondasi pacaran itu rapuh. Cukup nembak, bilang cinta, diterima, selesai. Hubungan yang jelas enggak mungkin ngelibatin Tuhan, enggak butuh kesiapan mental dan materi, enggak punya kewajiban tanggung jawab. Makanya anak kecil jaman sekarang udah berani pacaran, padahal saat usia puber, libido manusia sedang tinggi-tingginya, sementara kemampuan menakar resiko masih sangat rendah."
"Betul juga sih. Terus kalo kamu ketemu sama orang yang menurut kamu tepat? Langsung kamu ajak nikah?"
"Aku ngerasa enggak tepat buat siapapun, sampai aku bener-bener siap. Alhamdulillah, sekarang aku udah ngerasa siap. Kalo ketemu pasangan yang tepat, Insya Allah akan langsung aku ajak nikah."
Dewi merenung. Entah kenapa, sejak pertama kali ngelihat kamu, setahun yang lalu, aku jadi berharap bisa kenalan dengan kamu. Ternyata kamu orang yang dipilih Tuhan untuk mengenalkan diriNya padaku. Ini bikin aku ngerasa kamu adalah laki-laki terbaik yang pernah kutemui.
"Udah pernah ketemu sama perempuan yang menurut kamu tepat?" tanya Dewi.
Uge melirik Dewi sebentar, lalu merenung. Wah, pertanyaan sulit! Di dunia maya ada Widi, di dunia nyata ada kamu. Mungkin sebaiknya gue jalanin hidup yang realistis.
Uge berhenti, begitu pula Dewi. Uge manatap Dewi dengan wajah serius. "Aku udah ketemu sama perempuan yang menurut aku tepat, baru aja, beberapa menit yang lalu."
"Oh, ketemu di mana?"
"Di kampus. Yang ngajak diskusi soal Tuhan."
Dewi terkejut, pipinya yang putih bersemu merah.
"Nah, tadi aku kan bilang, kalo ketemu pasangan yang tepat, Insya Allah akan langsung aku ajak nikah Kamu siap enggak untuk hubungan seperti itu?" tanya Uge.
Dewi tercengang. Dia terlihat senang sekaligus ragu, pacaran saja ia belum tentu berani, apalagi menjalin hubungan yang seserius ini. Keduanya diam dan saling berpandangan.
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Uge dan Dewi terkejut. Mobil itu mendekat dan berhenti di dekat mereka, orang di dalam mobil membuka kaca.
"Maap, Neng. Bapak nelpon. Katanya, Neng enggak boleh ditinggal sendiri. Kondisinya lagi bahaya!" ujar Mang Asep, supir Dewi.
Dewi memandang Uge, ia tampak masih ingin bersama Uge. "Angga, kamu ikut aja, yuk! Biar kenalan sama orang tua aku."
"Kayaknya situasinya lagi enggak tepat. Dari pada kenapa-napa, mending kita pulang masing-masing."
Dewi hanya diam. Uge pun membukakan pintu untuk Dewi, agar keberadaannya menyulitkan Mang Asep. "Assalamualaikum. Saya Angga, teman kampus Dewi."
"Waalaikumssalam. Waduh Mang Asep jadi enggak enak, ganggu acara anak muda," ujar Meng Asep.
"Enggak apa-apa atuh Mang Asep. Orang tua memang harus ngejaga anak dan kita juga enggak boleh bikin mereka kuatir. Dewi, kamu pulang ya sama Mang Asep, nanti aku lanjutin di telpon," bujuk Uge.
Akhirnya Dewi mau masuk ke dalam mobil. Ia membuka kaca setelah Uge menutup pintu mobil. "Tadi kamu serius?"
Uge tersenyum. "Banget!"
Mobil itu berlalu, Uge melihat Dewi dari kaca gelap mobil terus melambai tangan, Uge membalasnya.
*****
Kenyataannya hingga pukul sepuluh malam, Uge belum juga menelpon Dewi. Rasa letih memaksa Dewi menyudahi aktivitasnya bersama komputer..
Dewi telah merengkuh selimut tebalnya, tetapi pikirannya tetap berkelana. Tampaknya ia membutuhkan mesin waktu yang dapat menelan waktu agar bisa segera bertemu Uge.
Jika Dewi butuh mesin waktu, apalagi Widi. Ia telah melewati malam-malam sunyi tanpa Uge, padahal kehadiran Uge di dunia maya telah membuat hidupnya kembali bersemangat. Widi pun tidak sabar menanti Uge.
Ternyata yang paling butuh mesin waktu adalah Uge. Kali ini ia tidak ingin ke masa depan, justru ia ingin kembali memundurkan waktu untuk mencegah dirinya mendekati Dewi.
Uge merasa bersalah. Dia akhirnya sadar, apapun alasannya, ia sudah terlebih dahulu berjanji melamar Widi di tahun 2004, janji adalah hutang dan ia harus melunasi janjinya. Akhirnya Uge memutuskan untuk kembali hanya mencintai Widi.
Menurut Uge, Dewi adalah perempuan yang selalu dipuja-puji banyak orang, sehingga ia pasti mudah untuk mendapatkan cinta. Dewi akan tetap bahagia, walau tidak bersamanya.
Sementara, Widi adalah perempuan yang jauh dari perhatian banyak orang, sehingga dia rela menghabiskan malam di kantor hanya untuk chatting. Tampaknya cuma itu kebahagiaan kecil yang bisa Widi dapatkan.
Itulah sebabnya Uge tidak menelepon Dewi. Dia ingin bicara langsung untuk menyampaikan permintaan maaf atas harapan yang ternyata tidak bisa ia penuhi.
Uge juga telah terjebak relativitas. Pengamat pertama mengatakan, Uge seharusnya memilih perempuan yang punya kesamaan waktu. Pengamat lain mengatakan, Uge justru benar memilih perempuan yang sama-sama terlempar dari orbit dan pernah mencicipi keajaiban waktu.
Silakan untuk mendukung pengamat pertama, kedua atau menjadi pengamat yang ketiga. Yang jelas, kisah cinta Uge telah membentuk pola segitiga. Lalu apakah pola segi empat yang disusun Dewi itu juga akan menjadi pertanda?
*****
Bersambung
Vote dan comment anda sangat berarti bagi penulis, terimakasih telah membaca tulisan ini.
Penulis, Indra W
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu
RomanceUge, mahasiswa I TB, mengenal Widi, arsitek di Al Kahfi Land, melalui Chatting Lintas Waktu. Awalnya mereka tidak percaya berada di waktu berbeda, karena penasaran Uge mendatangi kantor Widi. Ternyata di sana tidak ada satu pun bangunan, Uge hanya...