24. Menemukan Jejakmu

376 96 7
                                    

KKosan Bodas, Bandung, 2004

Pagi sekitar jam sepuluh, Widi telah tiba di Kota Bandung dengan menggunakan mobil kantor yang ia setir sendiri. 5 tahun tak berjumpa, Widi masih hafal lika-liku jalan, walau beberapa perubahan arus jalan dan bangunan-bangunan baru sempat membuatnya bingung.

Toko-toko pakaian yang kini bernama Factory Outlet bermunculan dimana-mana mengancam kejayaan Cihampelas, sehingga patung-patung besar dan lucu di depan toko di situ yang dulu memukau pelancong, kini telah tampak tua dan sepi dari perhatian.

Saat memasuki daerah Cipaganti, Widi memandangi trotoar tempat ia berjalan bersama Angga. Ia pun tersenyum melihat papan Slow Down Radio Ardan masih terpampang. Rumahnya yang dulu tidak jauh dari sini, hanya melewati beberapa kelokan. Widi juga sengaja melewati bekas rumahnya yang telah diganti dengan bangunan baru.

Jalan Setia Budi tampak semakin padat oleh angkot dan mobil berpelat B. Di pertigaan dekat NHI, Widi teringat ada jajanan serabi yang pembelinya rela mengantri berjam-jam, tetapi ia tidak melihat jejak keberadaannya sama sekali di situ.

Setelah melewati terminal Ledeng, mobil Widi belok memasuki Jalan Sersan Bajuri. Di kedua sisi jalan yang menanjak, tampak rumah-rumah semakin menjamur. Widi ingat, jika mobilnya terus lurus, ia akan menuju rumah Angga, tetapi ia harus belok menuju alamat yang dicarinya.

Widi memasuki jalan kecil yang membelah kebun tanaman hias, hingga akhirnya sampai di ujung jalan buntu yang terdapat sebuah rumah besar berwarna putih.

Widi mencocokkan nomor alamat di tangannya dengan nomor di dinding rumah, sama. Ia telah sampai di kosan Bodas.

Widi disambut Kang Ujang dan sepasang suami-istri yang telah menunggunya di teras rumah. Setelah saling berkenalan, mereka masuk ke dalam.

Di dalam, Widi memperhatikan isi rumah, ia mengagumi keasrian dan kebersihan rumah tua berarsitektur gaya kolonial ini. Jendela-jendela tingi krapyaknya dibuka lebar-lebar agar udara segar dari luar leluasa masuk, sebuah kipas angin gantung yang antik dan besar masih mampu berputar kencang agar lantai basah yang baru dipel cepat kering.

Kang Ujang menghilang entah kemana. Widi duduk ditemani laki-laki tambun yang ramah, sementara istrinya yang cantik dan berhijab itu berjalan menuju dapur. Suasana tampak sepi, karena sebagian besar penghuni kos sedang beraktivitas di luar.

Sang istri muncul dari dapur membawa baki minuman. "Minum dulu Teh Widi," katanya sambil meletakkan cangkir ke meja.

"Terimakasih Teh Lala, maaf saya jadi ngerepotin," sahut Widi.

Rupanya itu Lala, perempuan yang pernah kos di sini.

"Masa gini aja ngerepotin? Maaf ya, cuma ada teh, soalnya saya sama Abang memang enggak tinggal di sini," ujar Lala.

"Kok maaf sih, Teh Lala? Saya sangat berterimakasih lho, Teh Lala sama Abang mau ke sini, jadinya ada yang bisa saya tanya-tanya," kata Widi.

"Justru kami yang penasaran kali sama Uge. Anak-anak kos jaman dia memang tak ada lagi yang tinggal di sini, tapi sesekali masih sukak kumpul di sini, cuma Uge aja yang tak nampak. Bah! Rindu kali abang sama dia," kata Bang Ucok.

Ternyata Bang Ucok telah menikah dengan Lala,

Bang Ucok mengambil cangkir tehnya, ia menyeruputnya. "Ah, sodap, mak! Eh, minumlah, Dek Widi," minta Bang Ucok,

Widi pun meminum tehnya.

"Abang ini hutang budi kali sama Uge. Abang pernah tanyak sama dia, bagaimana caranya supaya bisa berjodoh dengan mantan kawan satu kos di sebelah Abang ini? Uge bilang, berdoalah! Butuh keajaiban katanya, sehabis sholat lebih afdol. Sebetulnya menghina kali dia, tapi diam-diam Abang cobak pulak! Ternyata betul nasehat kawan kita itu! Bisa pulak meleleh hati singa betina di sebelah Abang ini!"

"Ih si papah mah buka kartu aja. Maaf ya Teh Widi, Bang Ucok memang suka becanda. Tapi, Uge emang alim pisan," puji Lala.

"Oh, soal alim jangan ditanyak! Dulu Kosan Bodas ini macam sarang mafia! Suatu malam berceritalah Uge tentang neraka. Bah! Ngeri kali ceritanya! Besoknya satu-satu kawan kita pun mulai nampak sholat, hahaha! Ah sedih kali Abang kalau ingat Uge. Abang bukannya apa, ngerinya tak nampak-nampak, karena memang sudah lewat dia," ujar Bang Ucok dengan wajah sedih..

Widi pun terkejut. "Astaghfirullah, saya sama sekali enggak memperhitungkan kemungkinan ini."

"Ih si papah mah suudzon aja. Maaf ya Teh Widi," kata Lala.

"Enggak apa-apa Teh Lala," sahut Widi.

"Cemana aku tak suudzon, Cinta? Sahabatnya aja si Jenggo pun tak tau," sahut Bang Ucok.

"Jenggo? Anak Kos?" tanya Widi.

"Bukan! Tapi sama-sama macam ustad, dia kawan dekat Uge di kampus. Ugee Ugee, kau pindah pun tak pamit! Manalah kami tau kau dimana? Kasihan kali dia! Tak sempat dia menengok Abangnya menikah dengan cewek paling cantik!"

"Ih, Si Papah ngaco aja! Maaf ya Teh Widi," kata Lala.

"Enggak apa-apa Teh Lala," sahut Widi lagi.

"Cemanalah, Cinta? Setiap kutengok foto-foto kami jaman dulu, moneeetes air mata ini! Sodih botul ah!" ujar Bang Ucok sambil menjentikkan telunjuk ke ujung matanya yang seolah basah.

"Bang Ucok, masih punya foto Uge?" tanya Widi.

Bang Ucok mengambil album foto di bawah meja, lalu memberikannya pada Widi. Widi terkejut melihat foto Angga bersama Bang Ucok.

Widi terkejut. "Ini bukannya Angga? Angga juga kos di sini?"

"Inilah Uge! Oh, mungkin Agi yang Dek Widi cari?" tanya Bang Ucok heran.

"Kalo Agi yang mana? Ada fotonya juga?"

"Ada!" Bang Ucok mencari foto Uge bersama Agi, lalu menunjukkan pada Widi. "Ha? Macam anak kembar, kan?"

Widi memperhatikan foto itu. Ada beberapa kesamaan tetapi tidak terlalu mirip. Kalo gitu, si Ucup jelas bukan Agi! Jadi? Hmm, sekarang semuanya jelas, chatting lintas waktu itu fiktif! Ternyata Angga sedang pura-pura jadi Uge sekaligus jadi si Ucup.

Widi merasa konyol, percaya dengan keajaiban sehingga mengabaikan petunjuk nyata yang lalu-lalang di depan mata.

"Eh lupa pulak Abang bertanya, apa sebetulnya hubungan Uge dengan Dek Widi ini?" tanya Bang Ucok.

"Maaf Bang Ucok, tadinya saya juga enggak tahu kalo Uge, Angga dan bos saya di kantor itu sebenarnya orang yang sama, ceritanya panjang. Alhamdulillah, bos saya masih sehat-sehat aja di kantor," ujar Widi.

"Oh, Mak, udah jadi bos dia? Pantaslah tak ingat kami lagi! Dasar si lontong, ustad gadungan! Sok kali dia! Nanti biar ku datangi, kalau purak-purak tak kenal, biar ku pijak-pijak meja kerjanya!" omel Bang Ucok, tetapi wajahnya berubah senang.

Tiba-tiba Kang Ujang datang membawa kardus.

"Tah, iyeu yang Kang Ujang bilang di telpon! Aya titipan Den Uge buat Neng Widi," ujar Kang Ujang sambil meletakkan kardus itu di dekat Widi.

"Pernah mampir rupanya, si Uge?" tanya Bang Ucok.

"Den Uge mah enggeus nitip barang iyeu lima taun nu kaliwat. Iyeu teh kudu dikasihkeun langsung ka Neng Widi atau Dewi dari Alkapih. Nteu boleh diambil yang lain, kaasup Den Uge. Kang Ujang dititah sumpah sagala. Nteu nyana lamun bertahun-taun." kata Kang Ujang.

Widi mengamati kardus itu. kalo benar barang ini telah dititipkan sejak 5 tahun yang lalu, berarti chatting lintas waktu itu tidak fiktif. Apa isi kardus ini memang ingin membuktikan itu?

*****

Bersambung

Vote dan comment anda sangat berarti bagi penulis, terimakasih telah membaca tulisan ini.

Penulis, Indra W

Al Kahfi  Land 1 - Menyusuri WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang