27. Turbulence

380 98 5
                                    

Bandung, 1999

Malam sekitar jam 11, Pak Nata mendadak meminta Uge membawa barang-barang penting dan berangkat bersamanya ke Jakarta untuk tinggal di sana sementara.

Di jalan Setiabudi, Bandung, Pak Nata menunggu Uge sendirian tanpa sopir pribadinya, sehingga Uge menawarkan diri untuk menyetir mobil Pak Nata.

"Pak Deden supir bapak, lagi cuti?" tanya Uge sambil menjalankan mobil.

"Bapak pecat. Dia itu udah dibayar jadi mata-mata koruptor yang kasusnya lagi Bapak usut."

"Astaghfirullahaladzim. Mang Asep?" tanya Uge kuatir.

"Mang Asep udah ikut Bapak sejak lama, Insya Allah bisa dipercaya. Dia udah jalan duluan tadi pagi, bawa Ibu sama Widi ngungsi ke tempat yang tadi Bapak bilang."

"Ngungsi? Keluarga Bapak diteror?"

"Kalo sekedar ancaman dan lemparan batu, kami sekeluarga udah biasa ngadepinnya. Tapi kali ini pelakunya enggak main-main. Sekarang rumah Bapak lagi dibakar."

"Astaghfirullahaladzim."

"Alhamdulillah, untungnya saya seperti sudah dapat firasat. Soal harta bisa dicari, yang penting keluarga aman. Bapak teh manggil Angga mendadak karena mau minta tolong untuk bantu ngejaga. Kebetulan, Widi udah cerita, katanya ternyata kalian udah saling kenal, malah udah sampai merencanakan masa depan, betul?"

"Iya, Pak. Kalo Widi bersedia, insya Allah, Angga segera melamar Widi ke Bapak dan Ibu."

Pak Nata tertawa. "Bapak sama Ibu sebenarnya memang punya niat ngejodohin kalian. Tapi, anak-anak muda jaman sekarang teh, mana mau dijodoh-jodohin, ternyata kalian udah sama-sama serius, ya Bapak dan Ibu tentu merestui. Pesan Bapak buat Angga. Bapak ngerasa belum sempat ngasih bekal cukup ke Widi untuk urusan agama, tolong bantu bimbing Widi, ya."

Uge terlihat sangat senang. "Insya Allah, Pak."

Pak Nata merebahkan jok "Oh, iya. anak buah Angga yang sama-sama pernah tinggal di panti asuhan Ustad Yusuf, siapa namanya?"

"Mas Santoso?"

"Iya, Santoso. Dia itu anak yang jujur dan setia. Kelihatannya, dia yang akan menjaga kamu dan Widi saat kalian sedang kesulitan."

"Betul, Pak. Mas Santoso memang begitu."

"Alhamdulillah, sekarang Bapak sudah ngerasa tenang."

Pak Nata memejamkan mata, tetapi bibirnya bergerak melafazkan zikir. Tak lama kemudian terdengar dengkuran halus.

*****

Jalan tol Jagorawi, 1999

Uge menyetir dengan kecepatan sedang. Diam tanpa ada teman bicara membuatnya mengantuk. Ia berusaha fokus melihat jalan di depan dengan mata terbuka, sehingga tidak berpikir macam-macam pada mobil yang mengikutinya. Ia pikir mobil itu hanya sedang mencari teman seperjalanan agar aman, karena kondisi jalan tol sangat sepi, padahal orang-orang di dalamnya adalah orang suruhan yang ingin meneror Pak Nata.

Uge menambah kecepatan mobilnya agar lebih cepat sampai. Pengemudi mobil belakang mengira sasarannya ingin kabur, sehingga memutuskan bertindak cepat sebelum tertinggal.

Uge melihat dari spion ada mobil yang melaju lebih cepat di belakangnya. Tiba-tiba mobil itu menyalip dan mengerem mendadak. Uge berusaha menghindar agar tidak terjadi benturan, mobilnya malah oleng menuju beton. Bagian depan kiri mobilnya langsung menghantam keras beton itu. Pandangan Uge seketika menjadi gelap.

*****

Uge mulai siuman dari pingsan, tetapi badannya belum bisa bergerak, telinganya menangkap ramai suara, matanya menyipit karena silau oleh kelap-kelip lampu sirene mobil ambulan dan polisi. Para polisi masih berusaha membuka paksa pintu mobil. Uge mencoba mengingat apa yang telah terjadi sambil melihat kondisi dirinya sudah berlumuran darah.

Al Kahfi  Land 1 - Menyusuri WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang